
Oleh: Masrul Purba Dasuha, S.Pd
Pendahuluan
Babi
 adalah binatang yang paling diminati oleh suku Batak saat ini bahkan 
dianggap sebagai binatang pujaan, bila ditinjau dari aspek historisnya 
tradisi mengkonsumsi babi ternyata baru mulai membudaya pasca masuknya 
kolonial Belanda. Babi awalnya adalah makanan favorit pihak kolonial 
Belanda, kegemaran mereka dalam mengkonsumi babi kemudian mereka bawa ke
 tanah Batak. Pada zaman dahulu dalam budaya Batak, babi tidak pernah 
menjadi binatang piaraan, karena binatang ini hidup secara liar di 
hutan. Binatang yang sering dipelihara oleh masyarakat Batak pada zaman 
dahulu adalah kerbau, lembu, kuda, kambing, dan ayam. Pada saat menjajah
 Tapanuli Utara, Belanda menjadikan babi sebagai santapan mereka, karena
 mereka hidup di tengah masyarakat Batak lantas mereka ikuti terbiasa 
mengkonsumsi binatang ini tersebut sehingga belakangan menjadi 
kebutuhan. Posisi daging kerbau, ayam, dan kambing serta ikan dari Danau
 Toba perlahan kurang diminati. Dalam upacara adat dan kegiatan ritual 
Batak, terbukti babi sebagai sajian dan itu diterapkan dalam kehidupan 
komunitas Parbaringin, Parmalim, dan juga Parhabonaron di Simalungun. Di
 komplek ritual seperti Parsaktian Pusuk Buhit dan cagar alam Dolog 
Tinggi Raja sangat dipantangkan untuk membawa babi sebagai bekal makanan
 bagi para pengunjung.
Selama
 ini penulis sering bertanya dalam hati mengapa babi tidak pernah 
populer dalam cerita rakyat Batak, binatang yang umum dikisahkan dalam 
cerita rakyat Batak adalah kerbau, kambing, kuda, harimau, burung, ayam,
 kucing, lembu, rusa, ular, gajah, anjing, dan ikan emas. Makanan 
tradisional suku Simalungun, Pakpak, dan Karo adalah ayam, sedang pada 
suku Toba yaitu ikan emas. Dalam cerita rakyat Simalungun dikisahkan 
bahwa leluhur Purba Pakpak dari Tuntung Batu, Dairi sampai ke tanah 
ulayat Purba Dasuha karena berburu seekor burung, demikian juga leluhur 
Purba Girsang yang datang dari Lehu Dairi, demi mengejar seekor rusa 
juga membawanya sampai ke tanah ulayat marga Sinaga di Naga Mariah 
Silimakuta. Fenomena yang sama juga dialami Tuan Sindar Lela, leluhur 
Purba Tambak, karena mengejar seekor burung menjadi jalan baginya 
bertemu dengan saudarinya Puteri Hijau di tepi sungai Petani dekat Deli 
Tua.
Demikian
 juga, Tuan Pining Sori yang menjadi leluhur Saragih Garingging memiliki
 seekor kerbau bernama Si Nangga Lutu, bersama kerbaunya ia pergi 
melanglangbuana dari Ajinembah menuju tanah Simalungun hingga sampai ke 
Raya Simbolon. Di antara keturunan marga Saragih yang disebut dengan 
Simaronggang, ada yang menjadikan burung enggang sebagai binatang 
peliharaannya. Leluhur Saragih Sumbayak pada zaman dahulu konon memiliki
 seekor anjing kesayangan bernama Huring Parburu. Di antara keturunan 
marga Damanik pada zaman dahulu ada yang bersahabat dengan seekor 
harimau. Nyaris seluruh nenek moyang suku Batak khususnya Simalungun, 
mereka hidup bergaul secara akrab dengan sejumlah binatang, bahkan tidak
 jarang di antara binatang tersebut menjadi juru penyelamat di kala 
tuannya mengalami ancaman dan kesulitan. Di kalangan etnis Toba 
khususnya marga Simanjuntak melegenda kisah seekor kerbau yang 
mengakibatkan perpecahan di kalangan mereka, sejak itulah awal munculnya
 Simanjuntak Horbou Jolo dan Simanjuntak Horbou Pudi.
Dari
 uraian singkat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa sejak zaman dulu babi
 tidak pernah dijadikan sebagai binatang peliharaan apalagi binatang 
kesayangan. Meski babi sudah sejak lama hidup dan berkembang di tanah 
Batak, namun dia tidak pernah menjadi konsumsi pokok nenek moyang suku 
Batak seperti yang terjadi saat ini. Dia hanya dikonsumsi pada kondisi 
mendesak di tengah minimnya bahan makanan. Hal inilah yang mendasari 
sehingga babi tidak pernah melegenda dalam kearifan lokal suku Batak.
Kita
 tidak pernah berpikir, menyadari, dan juga merenung bahwa banyak hal 
dalam kehidupan budaya kita adalah hasil rancangan atau design dari 
pihak kolonial untuk memecah persatuan dan kesatuan di antara suku Batak
 di Sumatera Utara ini, merekalah yang membuat garis-garis batas wilayah
 suku Batak dan juga melegitimasi penamaan etnis Batak berdasarkan 
budaya dan bahasanya. Untuk memuluskan politik adu domba mereka, antara 
etnis Minang, Melayu, dan Aceh didesign agar terpisah dengan Batak dan 
dibangun sebuah opini agar mereka saling membenci. Karena urusan lambung
 hubungan antara sesama etnis Batak yang berbeda keyakinan menjadi 
renggang dan saling menjauh dan fakta ini sudah berlangsung selama 
ratusan tahun.
KERBAU DAN BABI DALAM PERSPEKTIF ILMIAH
Sejarah Kerbau
Kerbau
 (bubalus bubalis) merupakan jenis hewan yang termasuk famili bovidae 
dan sudah dikenal sejak masa prasejarah, terbukti dari beberapa fragmen 
tulang dan giginya yang ditemukan pada ekskavasi beberapa situs di 
Indonesia. Di Sumatera situs-situs yang mengandung temuan tersebut 
antara lain situs Gua Togindrawa, Nias dan Situs Bukit Kerang Pangkalan,
 Aceh Tamiang. Di kedua situs yang merupakan situs mesolitik itu 
menunjukkan adanya pengkonsumsian jenis hewan famili bovidae. Kemudian 
di daerah lain yaitu pada situs megalitik juga ditemukan bagian gigi 
kerbau (bovidae) pada kubur batu (phandusa) di Bondowoso, pada dolmen di
 situs Telagamukmin, Lampung Utara, serta tulang-tulang hewan ini di 
bawah menhir di Wonogiri (Sukendar, 1990 : 215). Kerbau dewasa dapat 
memiliki berat sekitar 300 kg hingga 600 kg. Kerbau liar dapat memiliki 
berat yang lebih, kerbau liar betina dapat mencapai berat hingga 800 kg 
dan kerbau liar jantan dapat mencapai berat hingga 1200 kg. Berat 
rata-rata kerbau jantan adalah 900 kg dan tinggi rata-rata di bagian 
pundak kerbau adalah 1,7 m. Salah satu ciri yang membedakan kerbau liar 
dari kerbau peliharaan untuk ternak adalah bahwa kerbau peliharaan 
memiliki perut yang bulat. Dengan adanya percampuran keturunan antara 
kerbau-kerbau antara populasi yang berbeda, berat badan kerbau dapat 
bervariasi. Klasifikasi kerbau masih belum pasti, beberapa autoritas 
mengelompokkan kerbau sebagai suatu spesies Bubalus bubalis dengan tiga 
subspesies yaitu :
1. Kerbau liar (bubalus bubalis arnee) moyang bagi kerbau sungai.
2. Kerbau sungai (bubalus bubalis bubalis) yang berasal dari Asia Selatan.
3. Kerbau rawa (bubalus bubalis carabanesis) dari Asia Tenggara.
2. Kerbau sungai (bubalus bubalis bubalis) yang berasal dari Asia Selatan.
3. Kerbau rawa (bubalus bubalis carabanesis) dari Asia Tenggara.
Dapat
 dikatakan bahwa kerbau merupakan binatang yang mempunyai nilai penting 
dalam kehidupan masyarakat dari dulu hingga kini. Melalui data 
ekofaktual yang ditemukan di situs-situs mesolitik kemungkinan jenis 
hewan tersebut hidup liar di hutan Indonesia. Hewan tersebut diburu dan 
dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan makanan manusia pada masa itu. 
Kemudian pada masa yang lebih muda bersamaan dengan terjadinya migrasi 
manusia pada masa neolitik dan perundagian, ketika manusia sudah hidup 
menetap domestikasi hewan dan tumbuhan juga dikembangkan. Migrasi 
tersebut juga membawa religi yang dikenal dengan pendirian 
bangunan-bangunan megalitnya sekitar 2500 SM -- 1500 SM -- awal Masehi. 
Pendirian bangunan megalit tersebut juga disertai upacara-upacara 
berkaitan dengan pemujaan roh-roh leluhur, atau berkaitan dengan 
kematian dengan melaksanakan pemotongan hewan-hewan kurban diantaranya 
kerbau. Berbagai tinggalan arkeologis di situs-situs megalit Sumatera 
Selatan, Jawa Timur, dan Lampung menggambarkan pemanfaatan maupun 
pembudidayaan kerbau. Masa yang sama jika dibandingkan dengan 
pembudidayaan kerbau di luar Indonesia seperti di daratan Lembah Indus, 
India (4500 tahun yang lalu), Cina (3500 tahun yang lalu), dan Mesir 
(800 tahun yang lalu) (Aziz,1999:3).
Kerbau
 Sumatera tidak banyak berbeda dengan kerbau Benggala. Sekalipun 
termasuk famili bovidae anatomi hewan ini berbeda dengan sapi, kukunya 
lebih lebar, dan tanduknya berbentuk bujursangkar atau gepeng melengkung
 ke belakang. Umumnya tanduk sedatar dengan kening dan tidak membentuk 
sudut seperti terdapat pada sapi. Ekor kecil menggantung sampai ke bawah
 lutut, kecil, dan berjumbai di ujungnya. Lehernya besar dan berotot 
sehingga penampakan gelambir hanya sedikit terlihat atau tidak sama 
sekali (Marsden,1999:81). Kerbau merupakan hewan domestikasi yang sering
 dikaitkan dengan kehidupan masyarakat bermatapencaharian di bidang 
pertanian. Kerbau digunakan sebagai sarana transportasi (kendaraan), 
untuk membantu mengolah lahan pertanian, dan kotorannya dapat dijadikan 
pupuk (Gunadi,2000:60). Domestikasi kerbau dikaitkan dengan kebutuhan 
hewan itu dalam jumlah banyak untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya 
seperti tersebut di atas, juga dikonsumsi atau digunakan sebagai hewan 
kurban pada upacara adat.
Secara
 khusus domestikasi kerbau di Sumatera Utara belum diketahui, namun 
melalui tinggalan arkeologis dan menjadi karya seni jenis hewan ini 
sering dijumpai pada tinggalan-tinggalan budaya megalitik/tradisinya 
dalam bentuk patung, relief, maupun lukisan. Pada punden berundak di 
Situs Batu Gaja, Simalungun menunjukkan adanya domestikasi binatang 
tersebut. Menilik kondisi situs ini, maka diperkirakan bahwa pemanfaatan
 kerbau di Sumatera Utara sudah dikenal sejak budaya megalitik 
berkembang di wilayah ini. Letak bangunannya pada tempuran dua buah 
sungai mengingatkan pada konsep yang sering diterapkan dalam pembangunan
 bangunan suci Hindu - Buddha. Situs tersebut merupakan situs megalitik 
yang kemungkinan berkembang pada masa yang hampir sama ketika pengaruh 
Hindu - Buddha berkembang di Padang Lawas sekitar abad ke 11-14 Masehi.
Bagi
 masyarakat yang hidup dengan tradisi megalitik seperti Batak, kerbau 
menjadi salah satu binatang yang memiliki derajat tinggi dalam kehidupan
 sosial budaya Batak. Tidak hanya untuk dikonsumsi, organ tubuh binatang
 ini dijadikan ornamen seni pada rumah tradisional Batak. Ornamen kerbau
 pada masyarakat Batak merupakan lambang yang memiliki sifat sakral dan 
profan. Sifat sakralnya diketahui melalui ornamen kerbau pada tinggalan 
megalitik yang berkaitan dengan kubur batu, merupakan lambang kendaraan 
(wahana) bagi arwah menuju ke dunia arwah. Ornamen kerbau juga 
melambangkan kesuburan dikaitkan dengan kehidupan masyarakat pendukung 
megalitik bermatapencaharian di bidang pertanian. Selain itu ornamen 
kerbau sering digambarkan pada rumah-rumah adat masyarakat Batak di 
Sumatera Utara. Seperti pada rumah adat masyarakat Batak Simalungun 
terdapat ornamen yang disebut Pinar Uluni Horbou yaitu berupa kepala 
kerbau yang dibentuk dari ijuk dan tanduknya dari tanduk kerbau asli. 
Pada masyarakat Simalungun kerbau merupakan lambang kesabaran, 
keberanian, kebenaran, dan sebagai penangkal roh jahat 
(Sipayung,dkk.,1994:18). Demikian halnya dengan masyarakat Batak Karo 
juga mengenal ornamen sejenis berupa kepala kerbau berwarna putih yang 
terbuat dari ijuk dan tanduk kerbau asli. Ornamen tersebut diletakkan 
pada bagian ujung atapnya yang mengarah ke dua penjuru mata angin 
(timur--barat) jika memiliki 2 ayo-ayo (hiasan atap), atau empat penjuru
 mata angin (utara--timur—selatan--barat) jika memiliki 4 ayo-ayo. 
Ornamen itu melambangkan keperkasaan dan penjaga keselamatan dari 
serangan roh-roh jahat (Ginting & Sitepu,1994:18). Demikian halnya 
dengan masyarakat Batak Toba pada ujung puncak atap bagian depan rumah 
adat (sopo) dihiasi dengan motif Ulu palung (hiasan raksasa) yang 
menggunakan tanduk kerbau. Hiasan tersebut merupakan lambang penjaga 
keselamatan dari gangguan hantu. Khusus pada rumah raja, susunan tanduk 
kerbau ditempelkan pada dinding bagian dalam sopo yang menandai 
kekuasaan raja, sekaligus menggambarkan telah dilaksanakannya pesta 
besar (mangalahat horbo = memotong kerbau). Selain itu juga dikenal 
ornamen lain yang mirip kerbau yang disebut dengan Sijonggi (lembu 
jantan) yang merupakan lambang keperkasaan (Hasanuddin, dkk.,1997:5,12).
Konsep
 ornamen yang digunakan pada rumah adat terutama rumah adat Batak 
terdapat kesamaan pandangan, yaitu secara mistis dikaitkan dengan 
lambang penjaga keselamatan dari roh jahat dan lambang kepemimpinan 
seperti keperkasaan/keberanian. Sedangkan makna kerbau bersifat profan 
tergambar dari pandangan masyarakat bahwa kerbau merupakan hewan kurban 
yang memiliki nilai paling tinggi dibandingkan hewan lain seperti babi. 
Hal ini relevan dengan standar yang berlaku pada beberapa suku, di mana 
kuantitas tanduk kerbau yang disematkan pada rumah adat melambangkan 
tingginya kedudukan sosial (prestise) dan kekuasaan/kepemimpinan 
pemiliknya. Banyaknya kerbau yang disembelih pada suatu upacara adat, 
menggambarkan kemampuan keluarga atau tingginya status sosial seseorang 
di masyarakat. Hal itu tergambar secara simbolis pada banyaknya tanduk 
kerbau yang dipajang pada rumah adat. Kepemilikan kerbau menandakan 
prestise seseorang, semakin kaya dan tinggi status seseorang ditandai 
seberapa banyak jumlah kerbau yang dimilikinya. Dalam acara peminangan, 
kerbau biasa dijadikan sebagai mas kawin (sinamot). Pada masyarakat 
Batak dikenal upacara kematian seperti sayur matua dan mangongkal holi 
(menggali tulang)–memindahkan tulang dari kubur primer ke kubur 
sekunder. Bagian dari rangkaian upacara tersebut biasanya dilaksanakan 
pesta syukuran adat yang disertai dengan pemotongan kerbau. Sebelum 
disembelih, kerbau diikat pada tiang yang disebut borotan, 
serta diiringi dengan tarian tortor. Kemudian setelah kerbau disembelih 
dagingnya dibagikan pada kerabat yang mengikuti upacara, berupa jambar 
juhut (Simatupang, 2005:63–65).
Demikian
 halnya pada upacara perkawinan, horja bius (acara penghormatan terhadap
 leluhur), dan pendirian rumah adat. Kerbau juga disembelih; selain 
sebagai hewan korban, juga sebagai pelengkap adat dalam pembagian jambar
 (Wiradnyana & Somba, 2005:20). Pada pembagian pembagian jambar 
juhut (hewan kurban) terdapat aturan tertentu yang disebut ruhut 
papangan (Sihombing,1986 dalam Simatupang, 2005:88), yaitu:
a. Kepala (ulu) dan osang 3 untuk raja adat.
b. Leher (rungkung atau tanggalan ) untuk pihak boru.
c. Paha dan kaki (soit ) untuk pihak dongan sabutuha.
d. Punggung dan rusuk (panamboli ) & somba-somba untuk pihak hula-hula.
e. Bagian belakang (ihur-ihur) untuk pihak suhut.
Selain
 itu, kerbau memiliki banyak fungsi di antaranya sebagai binatang yang 
membantu untuk mengolah sawah, penghasil susu, penghasil daging, 
penghasil pupuk, sebagai tabungan jangka panjang, sebagai bahan tekstil 
(industri), dan terakhir kerbau berfungsi sebagai alat transportasi.
Peranan
 kerbau dalam kegiatan pertanian dapat dikaitkan dengan perkembangan 
sistem pertaniannya. Sistem pertanian yang dikenal semula pada masa 
prasejarah adalah pertanian lahan kering (perladangan), kemudian 
dkembangkan sistem pertanian lahan basah (persawahan). Menurut Brandes 
bahwa penanaman padi di sawah telah dikenal di Indonesia sejak sebelum 
pengaruh kebudayaan India menyebar di Indonesia (Brandes,1889 dalam 
Ferdinandus,1990:426). Penanaman padi dengan sistem perladangan 
diperkirakan dikenal di Indonesia jauh sebelumnya sekitar 2500 -- 1500 
SM, yaitu bersamaan masuknya kebudayaan megalitik tua di Indonesia 
(Geldern,1945:138--141). Pendapat lain menyebutkan bahwa penanaman padi 
dengan sistem pengairan dikenal di Indonesia diduga pada jaman logam 
(Marschall,1969 dalam Suryanto,1990:413). Bukti pendapat ini di beberapa
 situs tingkat perundagian ditemukan beberapa alat-alat besi yang 
diperkirakan digunakan pada kegiatan itu. Misalnya, dalam kubur peti 
batu di situs Kawengan, Kidangan, dan Gunungmas di Bojonegoro dan situs 
Gunungsigro di Tuban, Jawa Timur. Alat-alat yang ditemukan adalah kapak,
 beliung, ujung tombak, mata sabit dan mata pisau (Suryanto,1990:412). 
Ditambahkan bahwa sistem persawahan di Bali misalnya, pada tingkat 
perundagian telah dilaksanakan di kaki-kaki pegunungan yaitu pada tempat
 yang mudah diatur pengairannya (Soejono,1977:322). Dengan demikian pada
 jaman logam atau perundagian diperkirakan kerbau telah dimanfaatkan 
untuk membantu kegiatan pertaniannya.
Mengenai
 perkembangan pertanian, sebelum masuknya pengaruh Hindu-Buddha abad ke 
XI–XIV Masehi, kegiatan pertanian sudah dilaksanakan oleh masyarakatnya,
 kemudian bersamaan dengan teknologi yang masuk kegiatan itu semakin 
berkembang, terutama pada peralatan yang dimanfaatkannya. Kemungkinan 
adanya perkembangan teknologi pertaniannya dapat dikaitkan dengan adanya
 tradisi pengolahan lahan tanpa menggunakan bajak pada sebagian 
masyarakat Sumatera utara, serta pemanfaatan peralatan lebih sederhana 
yang digerakkan oleh manusia seperti tenggala roda dan sisir kayu 
(Susilowati,2003:49).
Tradisi pengolahan lahan tanpa menggunakan bajak diketahui masih dilakukan hingga kini oleh sebagian masyarakat di Barus dan Tapanuli Selatan, yaitu dengan menggiring kerbau (sekitar 8 -- 12 ekor) berkeliling pada lahan sawah secara berulang-ulang. Banyaknya kerbau yang digunakan menggambarkan banyaknya populasi kerbau yang diternakkan oleh satu keluarga inti di tempat tersebut. Sekalipun tidak banyak lahan sawah yang diusahakan di Samosir tempat komunitas subetnis Batak Toba misalnya, populasi kerbau sebagai hewan ternak juga cukup banyak. Hal ini disebabkan banyaknya kebutuhan kerbau sebagai hewan kurban yang menyertai upacara adat yang diselenggarakan masyarakatnya.
Sejarah Babi
Pendapat
 umum menyatakan bahwa bangsa babi merupakan hewan yang paling awal 
dijinakkan, bukan kucing ataupun anjing. Hal ini ditunjukkan dengan 
adanya penemuan lukisan dan ukiran babi yang berumur lebih dari 25.000 
tahun yang lalu. Asal-usul ternak babi yang dikenal sekarang adalah 
keturunan dari dua jenis babi liar; Sus Vittatus dari India timur, Asia 
Tenggara, China dan Sus Scrofa dari Eropa yang didomestikasi pada 4900 
tahum SM. Hingga kini masih ditemukan 2 (dua ) spesies  babi liar ini 
hidup bergerombol dan membentuk kelompok besar di hutan Eropa dan India 
Timur. Data terakhir menunjukkan bahwa sudah ada 25 sub spesies Sus 
Scrofa yang diketahui, dan perkembangannya telah beradaptasi dengan 
lingkungan lokal. Babi lokal (indigenous) diberbagai daerah tropis 
sekarang ini sulit dijumpai karena pada umumnya telah mengalami grading 
up dengan babi ras atau breed eksotik yang berasal dari Ingris, Amerika 
dan Skandinavia; karena babi ras ini ternyata lebih cocok untuk daerah 
tropis.
Adapun
 jenis babi yang ada di Indonesia sangat beragam, mulai dari babi lokal 
maupun babi yang didatangkan dari mancanegara (import). Babi asli 
Indonesia adalah babi hutan yang masih banyak berkeliaran di 
hutan-hutan. Babi yang sekarang ada di Indonesia adalah keturunan babi 
hutan dengan ciri khas umumnya; liar, warna hitam dan dipelihara secara 
ekstensif, bebas berkeliaran di sekitar perkampungan. Bangsa babi asli 
Indonesia adalah babi Bali, babi Karawang, babi Sumba dan babi Nias.
1. Babi Bali

Ciri-ciri:
 
- Warna hitam dan bulu agak kasar
- Bentuk tubuh dan kepala kecil
- Punggung lentik
- Perut hampir menyusur tanah
- Kaki pendek
- Cungurnya relative pendek
- Telinga kecil dan berdiri tegak
- Warna hitam dan bulu agak kasar
- Bentuk tubuh dan kepala kecil
- Punggung lentik
- Perut hampir menyusur tanah
- Kaki pendek
- Cungurnya relative pendek
- Telinga kecil dan berdiri tegak
2. Babi Karawang

Ciri-ciri:
 
- Kepala kecil
- Telinga kecil dan berdiri tegak
- Tulang belakang lemah dan agak panjang
- Perut hampir menyusur ke tanah
- Kaki pendek
- Warna belang, atas hitam dan bagian bawah putih
- Kepala kecil
- Telinga kecil dan berdiri tegak
- Tulang belakang lemah dan agak panjang
- Perut hampir menyusur ke tanah
- Kaki pendek
- Warna belang, atas hitam dan bagian bawah putih
3. Babi Sumba

Ciri-ciri:
 
- Warna hitam ( kadang berwarna merah kehitaman )
- Mempunyai bentuk fisik menyerupai babi hutan
- Badan sedang pendek namun dalam
- Bentuk kepala lonjong
- Moncong lancip
- Telinga kecil berdiri
- Warna hitam ( kadang berwarna merah kehitaman )
- Mempunyai bentuk fisik menyerupai babi hutan
- Badan sedang pendek namun dalam
- Bentuk kepala lonjong
- Moncong lancip
- Telinga kecil berdiri
4. Babi Nias

Ciri-ciri:
- Badan sedang
- Kepala lebih pendek dari babi sumba
- Telinga kecil dan berdiri tegak
- Mulut runcing
- Bulu agak tebal terutama pada leher dan bahu
- Warna putih atau belang hitam
- Kepala lebih pendek dari babi sumba
- Telinga kecil dan berdiri tegak
- Mulut runcing
- Bulu agak tebal terutama pada leher dan bahu
- Warna putih atau belang hitam
Babi Impor
Pada
 saat ini ada beberapa babi impor yang didatangkan dari Luar negeri dan 
telah berkembang di Indonesia yaitu Babi VDL (Veredeld Duits 
Landvarken), Babi Yorkshire dikenal dengan nama Large White, Babi 
Tamworth, Babi Saddle Back , Babi Landrace dan Babi Duroc.
1. VDL (Veredeld Duits Landvarken)

Ciri-ciri:
 
- Kepala besar agak panjang
- Telinga besar panjang, setengah bergantung ke muka sejajar dengan kepala
- Badan besar
- Daging banyak
- Kepala besar agak panjang
- Telinga besar panjang, setengah bergantung ke muka sejajar dengan kepala
- Badan besar
- Daging banyak
2. Babi Yorkshire (Large White)

Ciri-ciri:
 
- Warna putih, kadang-kadang terdapat bercak-bercak dengan pigmen warna hitam
- Telinga tegak
- Kepala/muka berbentuk seperti mangkuk
- Badan besar panjang dalam dan halus
- Efisiensi penggunaan pakan tinggi
- Pertumbuhan cepat
- Mampu menghasilkan karkas yang panjang (31,5 inchi)
- Warna putih, kadang-kadang terdapat bercak-bercak dengan pigmen warna hitam
- Telinga tegak
- Kepala/muka berbentuk seperti mangkuk
- Badan besar panjang dalam dan halus
- Efisiensi penggunaan pakan tinggi
- Pertumbuhan cepat
- Mampu menghasilkan karkas yang panjang (31,5 inchi)
3. Babi Tamworth

Babi Tamworth adalah babi penghasil daging bermutu tinggi yang berasal dari Inggris (kota Tamworth).
Ciri – ciri:
 
- Warna merah tua atau kecoklatan
- Kepala lebar yaitu jarak antara telinga lebar sedangkan bagian bawah runcing
- Moncong agak panjang lurus
- Telinga tegak dan sedang,
- Tulang belakang kuat
- Tubuh besar
- Kaki sedikit panjang
- Warna merah tua atau kecoklatan
- Kepala lebar yaitu jarak antara telinga lebar sedangkan bagian bawah runcing
- Moncong agak panjang lurus
- Telinga tegak dan sedang,
- Tulang belakang kuat
- Tubuh besar
- Kaki sedikit panjang
4. Babi Saddleback

Ciri – ciri:
 
- Warna hitam tetapi bagian bahunya berwarna putih sampai pada kaki
- Kepala sedang dan halus
- Telinga tegak
- Rahang rata
- Punggung berbentuk busur
- Warna hitam tetapi bagian bahunya berwarna putih sampai pada kaki
- Kepala sedang dan halus
- Telinga tegak
- Rahang rata
- Punggung berbentuk busur
5. Babi Landrace

Ciri – ciri:
 
- Warna putih dan bulu halus
- Tubuh panjang
- Telinganya terkulai rebah ke depan
- Induk mempunyai sifat keibuan yang tinggi dan dikenal memberikan anak yang banyak
- Warna putih dan bulu halus
- Tubuh panjang
- Telinganya terkulai rebah ke depan
- Induk mempunyai sifat keibuan yang tinggi dan dikenal memberikan anak yang banyak
6. Babi Duroc 

Ciri – ciri:
 
- Berwarna merah sampai kecoklatan dengan berbagai variasinya
- Daun telinga berukuran sedang, agak rebah ke depan dengan dua pertiganya tegak dan sepertiga telinga tegak
- Berwarna merah sampai kecoklatan dengan berbagai variasinya
- Daun telinga berukuran sedang, agak rebah ke depan dengan dua pertiganya tegak dan sepertiga telinga tegak
Tinjauan Medis
Penelitian
 medis banyak menggunakan babi, karena secara anatomi dan fisiologi 
(fungsi) mirip hingga 90 persen dengan manusia, walaupun sistemnya 
berbeda. Babi adalah pemakan segala (omnivora) seperti manusia di mana 
ukuran dan fungsi jantung, ginjal dan pankreas babi mirip manusia. Di 
alam liar, babi termasuk hewan pemakan bangkai. Mereka akan memakan apa 
saja termasuk juga kotoran, makanan busuk, bangkai, dan bahkan mereka 
memakan tumor atau daging lebih yang berasal dari babi lainnya. Sistem 
pencernaan babi memang agak mengesankan, tetapi tidak selalu dapat 
menyaring zat-zat beracun dari semua yang mereka makan. Sistem 
pencernaan babi mampu menyelesaikan proses mencerna makanan hanya dalam 
waktu 4 jam, sehingga racun yang mereka makan akan disimpan di dalam 
lemak. Racun tersebut mungkin tidak berbahaya bagi babi, tetapi bagi 
kami, itu hal yang berbeda. Berdasarkan penyelidikan sebuah Consumer 
Reports, dari 200 sampel daging babi mentah, 69 persen telah 
terkontaminasi, mengandung bakteri berbahaya seperti Yersinia 
Enteroclitica yang dapat menyebabkan penyakit serius. Ground pork bahkan
 lebih buruk, mengandung kontaminan lain seperti Ractopamine [1] yang 
merupakan obat terlarang yang dicekal di China dan Eropa. Menurut 
laporan tersebut, "Kami menemukan Salmonella, Staphylococcus Aureus, 
atau Listeria Amonocytogenes, yang merupakan penyebab utama dari 
penyakit bawaan makanan [2], dalam 3 sampai 7 persen sampel. Dan 11 
persen mengandung Enterococcus, yang menunjukkan adanya kontaminasi 
tinja dan dapat menyebabkan masalah seperti infeksi saluran kemih."
 
Babi juga merupakan sarangnya berbagai parasit yang dapat menular langsung ke tubuh manusia seperti Taenia Solium, yaitu parasit usus yang dapat menimbulkan infeksi dan menyebabkan hilangnya nafsu makan, serta terdapat juga virus seperti Hepatitis E dan Trichinella. Jika perutnya telah penuh atau makanannya telah habis, ia akan memuntahkan isi perutnya dan memakannya lagi, untuk memuaskan kerakusannya. Ia tidak akan berhenti makan. Memakan kotoran apa pun di depannya, entah kotoran manusia, hewan atau tumbuhan, bahkan memakan kotorannya sendiri, hingga tidak ada lagi yang bisa dimakan di hadapannya. Kadang ia mengencingi kotorannya dan memakannya kembali jika berada di hadapannya,. Ia memakan sampah busuk dan kotoran hewan. Babi adalah hewan mamalia satu-satunya yang memakan tanah, memakannya dalam jumlah besar dan dalam waktu lama jika dibiarkan.
Babi juga merupakan sarangnya berbagai parasit yang dapat menular langsung ke tubuh manusia seperti Taenia Solium, yaitu parasit usus yang dapat menimbulkan infeksi dan menyebabkan hilangnya nafsu makan, serta terdapat juga virus seperti Hepatitis E dan Trichinella. Jika perutnya telah penuh atau makanannya telah habis, ia akan memuntahkan isi perutnya dan memakannya lagi, untuk memuaskan kerakusannya. Ia tidak akan berhenti makan. Memakan kotoran apa pun di depannya, entah kotoran manusia, hewan atau tumbuhan, bahkan memakan kotorannya sendiri, hingga tidak ada lagi yang bisa dimakan di hadapannya. Kadang ia mengencingi kotorannya dan memakannya kembali jika berada di hadapannya,. Ia memakan sampah busuk dan kotoran hewan. Babi adalah hewan mamalia satu-satunya yang memakan tanah, memakannya dalam jumlah besar dan dalam waktu lama jika dibiarkan.
Lemak
 punggung babi tebal, babi memiliki back fat (lemak punggung) yang 
lumayan tebal. Konsumen babi sering memilih daging babi yang lemak 
punggungnya tipis, karena semakin tipis lemak punggungnya, dianggap 
semakin baik kualitasnya. Sifat lemak punggung babi adalah mudah 
mengalami oxidative rancidity, sehingga secara struktur kimia sudah 
tidak layak dikonsumsi. Daging babi karena banyak mengandung lemak, 
meskipun empuk dan terlihat begitu lezat, namun sangat sulit dicerna. 
Selain itu, daging babi menyebabkan banyak penyakit : pengerasan pada 
urat nadi, naiknya tekanan darah, nyeri dada yang mencekam (angina 
pectoris), dan radang pada sendi-sendi. Penelitian ilmiah modern di dua 
negara Timur & Barat, yaitu Cina dan Swedia. Cina, dan Swedia 
(mayoritas penduduknya sekuler) menyatakan: "Daging babi merupakan 
penyebab utama kanker anus dan kolon. Persentase penderita penyakit ini 
di negara yang penduduknya memakan babi, meningkat secara drastis, 
terutama di negara-negara Eropa, dan Amerika, serta di negara-negara 
Asia (seperti Cina dan India). Sementara di negara-negara Islam, 
persentasenya amat rendah, sekitar 1/1000. Hasil penelitian ini 
dipublikasikan pada 1986, dalam Konferensi Tahunan Sedunia tentang 
Penyakit Alat Pencernaan, yang diadakan di Sao Paulo.
 
Babi banyak mengandung parasit, bakteri, bahkan virus yang berbahaya, sehingga dikatakan sebagai Reservoir Penyakit. Gara-gara babi, virus Avian Influenza jadi ganas. Virus normal AI (Strain H1N1 dan H2N1) tidak akan menular secara langsung ke manusia. Virus AI mati dengan pemanasan 60oC lebih-lebih bila dimasak hingga mendidih. Bila ada babi, maka dalam tubuh babi, Virus AI dapat melakukan mutasi dan tingkat virulensinya bisa naik hingga menjadi H5N1. Virus AI Strain H5N1 dapat menular ke manusia. Virus H5N1 ini pada Tahun 1968 menyerang Hongkong dan membunuh 700.000 orang (diberi nama Flu Hongkong). Sekitar tahun 2001 pernah terjadi para dokter Amerika berhasil mengeluarkan cacing yang berkembang di otak seorang perempuan, setelah beberapa waktu mengalami gangguan kesehatan yang ia rasakan setelah mengkonsumsi makanan khas meksiko yang terkenal berupa daging babi. Sang perempuan menegaskan bahwa dirinya merasa capek-capek (letih) selama 3 pekan setelah makan daging babi. Telur cacing tersebut menempel di dinding usus pada tubuh sang perempuan tersebut, kemudian bergerak bersamaan dengan peredaran darah sampai ke ujungnya, yaitu otak.
Babi banyak mengandung parasit, bakteri, bahkan virus yang berbahaya, sehingga dikatakan sebagai Reservoir Penyakit. Gara-gara babi, virus Avian Influenza jadi ganas. Virus normal AI (Strain H1N1 dan H2N1) tidak akan menular secara langsung ke manusia. Virus AI mati dengan pemanasan 60oC lebih-lebih bila dimasak hingga mendidih. Bila ada babi, maka dalam tubuh babi, Virus AI dapat melakukan mutasi dan tingkat virulensinya bisa naik hingga menjadi H5N1. Virus AI Strain H5N1 dapat menular ke manusia. Virus H5N1 ini pada Tahun 1968 menyerang Hongkong dan membunuh 700.000 orang (diberi nama Flu Hongkong). Sekitar tahun 2001 pernah terjadi para dokter Amerika berhasil mengeluarkan cacing yang berkembang di otak seorang perempuan, setelah beberapa waktu mengalami gangguan kesehatan yang ia rasakan setelah mengkonsumsi makanan khas meksiko yang terkenal berupa daging babi. Sang perempuan menegaskan bahwa dirinya merasa capek-capek (letih) selama 3 pekan setelah makan daging babi. Telur cacing tersebut menempel di dinding usus pada tubuh sang perempuan tersebut, kemudian bergerak bersamaan dengan peredaran darah sampai ke ujungnya, yaitu otak.
Dan
 ketika cacing itu sampai di otak, maka ia menyebabkan sakit yang ringan
 pada awalnya, hingga akhirnya mati dan tidak bisa keluar darinya. Hal 
ini menyebabkan dis-fungsi yang sangat keras pada susunan organ di 
daerah yang mengelilingi cacing itu di otak. Penyakit-penyakit "cacing 
pita" merupakan penyakit yang sangat berbahaya yang terjadi melalui 
konsumsi daging babi. Ia berkembang di bagian usus 12 jari di tubuh 
manusia, dan beberapa bulan cacing itu akan menjadi dewasa.
Jumlah cacing pita bisa mencapai sekitar "1000 ekor dengan panjang antara 4 - 10 meter", dan terus hidup di tubuh manusia dan mengeluarkan telurnya melalui BAB (buang air besar). DR Murad Hoffman, Daniel S Shapiro, MD, seorang Pengarah Clinical Microbiology Laboratories, Boston Medical Center, Massachusetts, dan juga merupakan asisten Profesor di Pathology and Laboratory Medicine, Boston University School of Medicine, Massachusetts, Amerika menyatakan terdapat lebih dari 25 penyakit yang bisa dijangkiti dari babi, di antaranya:
-Anthrax
-Ascaris suum
-Botulism
-Brucella suis
-Cryptosporidiosis
-Entamoeba polecki
-Erysipelothrix shusiopathiae
-Flavobacterium group IIb-like bacteria
-Influenza
-Leptospirosis
-Pasteurella aerogenes
-Pasteurella multocida
-Pigbel
-Rabies
-Salmonella cholerae-suis
-Salmonellosis
-Sarcosporidiosis
-Scabies
-Streptococcus dysgalactiae (group L)
-Streptococcus milleri
-Streptococcus suis type 2 (group R)
-Swine vesicular disease
-Taenia solium
-Trichinella spiralis
-Yersinia enterocolitica
-Yersinia pseudotuberculosis
-Ascaris suum
-Botulism
-Brucella suis
-Cryptosporidiosis
-Entamoeba polecki
-Erysipelothrix shusiopathiae
-Flavobacterium group IIb-like bacteria
-Influenza
-Leptospirosis
-Pasteurella aerogenes
-Pasteurella multocida
-Pigbel
-Rabies
-Salmonella cholerae-suis
-Salmonellosis
-Sarcosporidiosis
-Scabies
-Streptococcus dysgalactiae (group L)
-Streptococcus milleri
-Streptococcus suis type 2 (group R)
-Swine vesicular disease
-Taenia solium
-Trichinella spiralis
-Yersinia enterocolitica
-Yersinia pseudotuberculosis
Daftar Pustaka:
Gunadi.
 Kerbau di Beberapa Suku Bangsa Indonesia: Suatu Tinjauan Antropologi 
Ekonomi. Ujung Pandang: Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Propinsi
 Sulawesi Selatan dan Tenggara. 2000
Hasanuddin,
 Samaria Ginting, dan Lisna Budi Setiati. Ornamen (Ragam Hias) Rumah 
Adat Batak Toba. Medan: Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Sumatera 
Utara. 1997
Marsden, William. Sejarah Sumatra, diterjemahkan oleh A.S Nasution dan Mahyuddin Mendim. Bandung: Remaja Rosdakarya. 1999
Sipayung,
 Hernauli dan Lingga, Andreas. Ragam Hias (Ornamen) Rumah Tradisional 
Simalungun. Medan: Museum Negeri Propinsi Sumatera Utara. 1994
Sukendar,
 Haris. Seni Lukis Prasejarah antara Estetika dan Religius, dalam: 
Kebudayaan No. 10. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1996
Wiradnyana,
 Somba, dan Nani. Fungsi dan Makna Kerbau dalam Tradisi Megalitik di 
Sebagian Wilayah Indonesia. Makassar: Balai Arkeologi Makassar. 2005
 
 






 
 
 
 
 
 Posts
Posts
 
 
2 komentar:
diateitupa bani share ni ham on Tulang
diateitupa bani tulisanmu on
Post a Comment