Totik Mansiathon Diri Marombou Bani Simbuei

My Blog

Wednesday, December 23, 2015

Afdeeling Simeloengoen En Karolanden

Oleh: Masrul Purba Dasuha, S.Pd 

Pada zaman dahulu suku Simalungun disebut dengan Batak Hataran dan di Asahan terdapat kelompok Batak Pardembanan yang pada awalnya bagian dari Batak Hataran. Simalungun pada awalnya merujuk nama suatu daerah bukan nama suku, pada waktu Kontrolir Toba P.A.L.E Van Dijk menjelajahi tanah Simalungun pada tahun 1890 mengatakan bahwa Siantar (Bandar dan Sidamanik), Tanah Jawa (Bosar Maligas dan Girsang Sipangan Bolon), dan Tanjung Kasou adalah daerah yang dikenal orang Toba dengan nama Simalungun. 
Lalu Tanjung Kasou dipisahkan Belanda dari Simalungun dan dimasukkan ke Batubara. Menurut Van Dijk kebijakan ini diambil karena Tanjung Kasou dianggap daerah Melayu, meskipun penduduknya adalah orang Simalungun namun budaya dan bahasa yang mereka gunakan lebih condong kepada Melayu daripada budaya Simalungun dan juga sudah menganut agama Islam. Sementara Dolog (Silou), Purba, Panei, dan Silima Huta, masing-masing berdiri sendiri, namun belakangan oleh pihak Belanda dinamakan dengan daerah Batak Timur. Ketika Controleur Deli, J.A.M van Cats Baron de Raet pada 28 Desember 1866 melakukan ekspedisi ke Simalungun, daerah ini masih disebut Timoerlanden (Tanah Timur) (Tideman, 1922:211-213). Di Simalungun terkenal sebuah peribahasa yang berbunyi: 

Sin Raya Sini Purba 

Sin Dolog Sini Panei 
Na ija Pe Lang Mubah 
Asal Marholongni Atei 

Daerah Siantar (Bandar dan Sidamanik), Tanoh Jawa, dan Tanjung Kasou tidak disebutkan dalam peribahasa tersebut. Namun demikian, semuanya baik Raya, Purba, Dolog, Panei, Siantar, Tanoh Jawa, dan Tanjung Kasou bahkan hingga Deli, Serdang, Batubara, dan Asahan penduduknya adalah orang Batak Hataran dan sebagian dari daerah di Asahan terkenal dengan pusat pengembangan budaya sirih (demban) dan juga praktik perdukunan melalui perantaraan sirih sehingga disebut dengan Batak Pardembanan. William Marsden dalam bukunya "History of Sumatera" yang diterbitkan tahun 1783 juga menyinggung nama Raya, ia menyebutnya "Riap". Ketika John Anderson utusan Gubernur Inggris W.E. Philips di Penang mengunjungi pesisir Sumatera Timur pada tahun 1823, ia menemukan komunitas Batak Hataran di daerah Batubara yang berasal dari Simalungun (Anderson menyebutnya Semilongan). Selain itu, Anderson juga melihat penduduk yang mendiami daerah Padang (Tebing Tinggi, Tebing Syahbandar, dan Bandar Khalifah sekarang) adalah orang Batak Hataran yang berjumlah sebanyak 3000 jiwa. Demikian juga ketika ia berada di daerah Bedagai (Teluk Mengkudu, Tanjung Beringin, dan Sei Rampah sekarang) juga terdapat orang Batak Hataran yang jumlahnya sebanyak 2000 jiwa. Pada misi yang sama, sewaktu Anderson menjelajahi daerah Serdang, ia bertemu dengan Raja Dolog (kemungkinan Tuan Taring Purba Tambak) yang berumur kira-kira 33 tahun yang berkulit putih dan bertubuh tegap yang sedang mengadakan percakapan dengan Sultan Serdang Tengku Thafsinar Basyarsah yang berumur kira-kira 32 tahun bersama dengan Ulubalang Raja Siantar dan Datuk Tanjung Marawa. Mereka bertemu di Kampung Besar ibukota Kesultanan Serdang, dari pengamatan Anderson di Kampung Besar sangat banyak orang Batak Hataran yang berasal dari Dolog (Silou). Dia mendeskripsikan ciri-ciri orang Batak Hataran bertubuh tegap, cakap, berkulit cerah, berwajah bulat dan bibirnya lebih tipis dari orang Melayu. Kisah perjalanan John Anderson ini dimuat dalam bukunya berjudul "Mission to the East Coast of Sumatera".


Pada tahun 1904, Belanda mencaplok tanah Simalungun dan Karo menjadi bagian dari "De Residentie van Ooskust van Sumatra" (Provinsi Pantai Timur Sumatra) yang beribukota di Medan. Melalui Staatsblad No. 531 tahun 1906, nama Simalungun dikukuhkan sebagai nama resmi untuk Afdeeling Simeloengoen en Karolanden dipimpin oleh controleur C.J Westenberg yang beribukota di Saribu Dolog kemudian berpindah ke Pematang Siantar. Sebelumnya, daerah Simalungun dan Karo ini disebut dalam laporan-laporan Belanda dengan istilah "Zelfstandige Bataklanden" (Batak Berdiri Sendiri/Batak Merdeka) karena dianggap bagian wilayah Bataklanden tapi tidak termasuk "De Residentie van Bataklanden" yang kemudian bernama "De Residentie van Tapanoeli". Adapun wilayah Afdeeling Simeloengoen en Karolanden sebenarnya terbatas pada Simalungun Atas dan Karo Gugung, kawasan Simalungun Bawah dan Karo Jahe telah telah terlebih dahulu menjadi bagian dari "De Residentie van Ooskust van Sumatra". Sebagian Simalungun Bawah dianggap bagian dari Sultan Asahan dan juga Sultan Serdang. Demikian juga dengan Karo Jahe dianggap bagian dari Sultan Langkat dan selebihnya bagian dari Sultan Deli dan Sultan Serdang. C.J. Westenberg sendiri menentang pemekaran ini karena menurutnya, Karo dan Simalungun secara tradisional tak mungkin dipisahkan karena sebagian marga Karo yaitu Tarigan memiliki tanah ulayat di Simalungun, bila Simalungun dipisah dari Karo, di mana lagi tanah marga Tarigan, katanya. 


Dia terus mengkritik pemerintahnya. Akhirnya, Westenberg dipromosikan menjadi Residen Tapanuli. Belum setahun menjadi gubernur, seperti Multatuli yang juga tak tahan atas perlakuan pemerintahnya, Westenberg mengundurkan diri dan kembali ke Den Haag membawa anak-anak dan istrinya. Afdeeling Simeloengoen en Karolanden kemudian dimekarkan lagi menjadi Onderafdeeling Simeloengoen meliputi Tanoh Jawa, Panei, Raya, dan Siantar yang berkedudukan di Saribu Dolog dan Onderafdeeling Karolanden mencakup Dolog Silou, Purba, Silimakuta, Lingga, Barus Jahe, Suka, Sarinembah, dan Kutabuluh yang berpusat di Kaban Jahe. Terbentuknya Onderafdeeling Simelongoen dan Onderafdeeling Karolanden merupakan buah dari penandatangan perjanjian pendek (korte verklaring) antara pihak kolonial dan para raja Simalungun dan sibayak Karo pada tahun 1907 yang secara sadar mengaku takluk dan tunduk pada kekuasan Belanda. Kesepakatan ini akhirnya memberikan otoritas penuh kepada pihak kolonial untuk membagi wilayah taklukannya secara politis tanpa pernah mempertimbangkan batas-batas kekuasaan dan hak-hak adat dari masing-masing kerajaan yang mereka taklukkan. Pasca penandatangan Korte Verklaring inilah Raja Maroppat dipecah oleh pihak kolonial menjadi Raja Marpitu dengan mengangkat status tiga partuanon yang dulunya di bawah kekuasaan Raja Dolog Silou, yaitu Raya, Purba, dan Silimakuta menjadi setara dengan kerajaan induknya. Terjadilah perubahan secara drastis dalam sistem pemerintahan, yang awalnya kerajaan berdaulat berubah menjadi swapraja (landschap) yang membawahi sejumlah distrik. Dengan adanya perubahan ini, maka peranan Harajaan (dewan kerajaan) di lingkungan kerajaan-kerajaan yang ada di Simalungun sudah tidak berfungsi lagi, karena semua kekuasaan telah dipusatkan pada Raja sebagai Kepala Landschap. 




Meski 3 kerajaan Simalungun dimasukkan ke dalam Onderafdeeling Karolanden yaitu Dolog Silou, Purba, dan Silimakuta (Nagasaribu & Siturituri) namun secara kultur ketiga kerajaan ini tetap mengusung kultur Simalungun karena dari awal mereka adalah lembaga yang berperan dalam menjaga dan melestarikan keutuhan budaya Simalungun kecuali di tingkat Perbapaan yang berada di sekitar perbatasan Simalungun-Karo khususnya di lingkungan Kerajaan Dolog Silou dan Silimakuta sudah sejak lama tergerus dengan budaya Karo seperti Partuanon Saribu Jandi, Rakut Besi, Panribuan, dan terakhir Urung Silou yang beribukota di Cingkes. Sementara Perbapaan lainnya seperti Siturituri, Dolog Panribuan, Mardingding (Silimakuta); Bandar Hanopan, Sinasih, Nagori Dolog, Sibakkudu, Marubun Lokkung, dan Dolog Mariring (Dolog Silou) tetap menggelorakan budaya Simalungun. Dalam interaksi sosial, ketiga kerajaan ini juga tetap lebih banyak bergantung dan berinteraksi dengan kerajaan Simalungun lainnya yang berada di bawah naungan Onderafdeeling Simeloengoen (Siantar, Panei, Raya, Tanoh Jawa) baik dalam acara adat, kegiatan musyawarah (harungguan/karapatan), dan pemilihan permaisuri (puang bolon) karena sejak semula mereka adalah satu kesatuan yang tak terpisahlkan dibalut dalam satu konsep budaya dan saling menguatkan satu sama lain mulai dari Nagur, Batangiou, Silou, hingga terpecah menjadi Raja Maroppat Hataran kemudian jadi Raja Marpitu. Faktanya, Raja Silimakuta tetap mengambil permaisuri dari Kerajaan Raya (Saragih Garingging) dan juga dari Tongging (Munthe), demikian juga Kerajaan Dolog Silou tetap menjadikan puteri Raja Raya sebagai permaisuri, meski pada awalnya leluhur Raja Dolog Silou yaitu Tuan Timbangan Raja (Tuan Silou Dunia) sempat menjadikan puteri Sibayak Pintu Banua bagian dari Barus Jahe sebagai permaisuri, namun keturunan selanjutnya mulai dari Tuan Bedar Maralam, Tuan Rajomin, Tuan Moraijou, Tuan Taring, Tuan Lurni, Tuan Tanjarmahei, Tuan Ragaim dan puteranya Tuan Bandar Alam Purba Tambak sudah menjalin kekerabatan yang lebih erat dengan pihak Raya. Sementara itu Raja Purba (Purba Pakpak) memilih puteri Tuan Sidamanik dan puteri Raja Siantar (Damanik Bariba) sebagai permaisuri, demikian juga Kerajaan Panei (Purba Sidasuha) sama-sama mengambil permaisuri dari Kerajaan Siantar dan juga puteri Tuan Marihat (Damanik Bariba). Selanjutnya Kerajaan Siantar malah lebih memilih mengambil puteri Tuan Silampuyang dan juga puteri Tuan Sipoldas (Saragih Sidauruk). Diteruskan oleh Raja Raya yang menjadikan puteri Raja Panei dan juga puteri seorang Guru Bolon (Purba Sidasuha) sebagai permaisuri. Sedangkan Raja Tanoh Jawa sendiri mengambil permaisuri yaitu puteri dari Kerajaan Siantar dan Bandar.
Share:

0 komentar:

Saya Masrul Purba Dasuha, S.Pd seorang pemerhati budaya Simalungun berasal dari Pamatang Bandar Kabupaten Simalungun Sumatera Utara. Simalungun adalah jati diriku, Purba adalah marga kebanggaanku. Saya hidup berbudaya dan akan mati secara berbudaya. Jangan pernah sesekali melupakan sejarah, leluhurmu menjadi sejarah bagimu dan dirimu juga kelak akan menjadi sejarah bagi penerusmu. Abdikanlah dirimu untuk senantiasa bermanfaat bagi sesama karena kita tercipta sejatinya memang sebagai pengabdi.

Video of Day

Blogroll

Flag Counter

Join Us Here

Blog Stats

Categories

Find Us On Facebook