Oleh: Masrul Purba Dasuha, S.Pd
Pengantar
Nagur merupakan suatu kerajaan kuno (ancient kingdom)
yang pernah berdiri di Sumatera Utara sebagai awal dimulainya periode
sejarah di kalangan masyarakat Batak Timur yang sering disebut
orang Hataran atau Simalungun. Menurut penuturan Tuan Subirman Damanik
tinggal di Durian Banggal Kecamatan Raya Kaheian (sesuai keterangan yang
diperolehnya dari naskah kuno Nagur, naskah ini terbakar tahun 1958
pada masa pemberontakan PRRI gelombang kedua). Terbentuknya kerajaan ini
diawali sejak kehadiran seorang tokoh kesatrya dari India bersama para
pengikutnya, mereka berasal dari golongan bangsa Munda yang datang dari
sekitar dataran tinggi Chota Nagpur sebelah timur India meliputi negara
bagian Jarkhand, Chhattisgarh, Benggala Barat, Bihar, dan Odisha (dulu
Orissa), hingga daerah Assam. Pustaha Nagur menyebut tokoh kesatrya
tersebut dengan Darayad Damadik, gelar lainnya adalah Narama. Dia adalah seorang penganut Hindu
Waisnawa pemuja Dewa Wisnu. Bahkan gelar yang disandangnya diambil dari
nama Dewa Narayan yang dalam mitologi Hindu adalah nama lain dari Dewa
Wisnu. Dalam bahasa Sanskerta "Naara" berarti air atau entitas hidup dan
"Ayana" adalah tempat istirahat, karena itu disebut "Naarayana" yang
berarti tempat istirahat bagi semua entitas hidup. Hubungan dekat
Narayana dengan air menjelaskan penggambaran Narayana dalam seni Hindu
sedang berdiri atau duduk di samudera. Pengejawantahan penting dari
Narayana adalah "Maha Menjadi yang merupakan dasar dari semua orang". Di
Simalungun, gelar Narayan ditambah dengan Namanik sehingga
penyebutannya menjadi Narayan Namanik yang bermakna "Naibata parsimada tondui pakon sipaulak tondui" (Dewa pemilik entitas hidup dan pengembali entitas hidup).
Rakyat Nagur meyakini bentuk kepala Narayan seperti kepala burung
enggang dan tubuhnya dibalut dengan jubah putih. Oleh rakyat Nagur,
burung enggang diyakini sebagai reinkarnasi dari Narayan Namanik. Pada
zaman dahulu, Narayan Namanik biasa dipanggil untuk menghidupkan orang
yang baru meninggal (siluk matei) agar hidup kembali, dengan membaca mantera (tabas) yang berbunyi: "Narayan Namanik, roh ma ham sipaulak tondui" sebanyak 1.200 kali. Setelah orang yang meninggal itu hidup kembali, sebagai tebusan ditanamlah pisang sitabar jantan di pinggir halaman dan pisang unsim
jantan di pinggir ladang. Usia kehidupannya tergantung dari usia pisang
yang ditanam tersebut, bila pisang itu mati, maka manusia itupun akan
ikut mati. Pada ujung lidah Darayad ditumbuhi sejumlah bulu sehingga dia
sulit untuk menyebut huruf "N", dia pun menyebut Narayan Namanik dengan
Darayad Damadik. Nama ini kemudian menjadi gelar baginya dan Damadik
perlahan mengalami perubahan bunyi menjadi Damanik.
Gambar
1: Peta negara India, dataran tinggi Chota Nagpur yang terletak di
sebelah timur India merupakan tempat kedudukan bangsa Munda yang menjadi
asal Darayad Damanik.
Tuan
Subirman Damanik menceritakan bahwa sang Darayad Damadik meninggalkan
India akibat terjadi rodi membangun sebuah istana dan
tempat pemujaan (parsinumbahan) yang mempekerjakan manusia dan juga kawanan hewan. Para hewan diperintah untuk mengangkut bebatuan dari
Mesir untuk diboyong ke India, proses pembangunan istana dan tempat pemujaan ini
akhirnya berujung konflik. Untuk menghindari pertikaian yang terjadi,
Darayad Damadik lantas memilih meninggalkan tanah kelahirannya, beserta
isteri tercintanya seorang puteri Mongol dan para pengikutnya, mereka
pun pergi meninggalkan India, dengan menaiki sebuah kapal besar mereka
mengarungi samudera luas. Kapal mereka kemudian terdampar di pesisir
Selat Malaka, mereka lalu mendaratkan kapal mereka di daerah Pagurawan (Pargurouan)
masuk Kabupaten Batubara sekarang. Dari tempat ini, dia beserta
rombongannya perlahan masuk ke pedalaman melalui sungai Suka - Laut
Tadur - Liang Tanggiripan (Parbatu/Tebing Tinggi) - Sorba Jahei terus ke
hulu melalui Bah Balandei - Mariah Nagur - Dolog Simbolon - Sorba Dolog
- Dolog Simarsolpah - Raya - Dolog Bah Rubei - Dolog Tinggi Raja -
Parti Malayu - Dolog Siandorasi - Partibi Ganjang - Saran Tolbak dan
akhirnya mereka sampai di Nagori Banua Sokkur. Tidak lama kemudian empat
orang puteranya dari India datang menyusul, namun salah seorang saudari
mereka tetap berada di India karena sudah menikah. Mereka berangkat
dari India disertai tiga orang teman mereka, yaitu Naraga (Sinaga),
Narasi (Purba), dan Narasag (Saragih). Setelah beberapa lama berdiam di
Sokkur, ketiganya kemudian menikah dengan cucu Darayad Damadik. Dari
sini diketahui bahwa Darayad Damadik merupakan perintis jalan (si rottos dalan)
bagi kehadiran leluhur marga Sinaga, Purba, dan Saragih ke tanah
Simalungun. Di samping sebagai pemimpin, Darayad Damadik juga memiliki
kemampuan di bidang pengobatan (partambaran), selain mengobati kaum manusia dia juga mampu mengobati penyakit yang diidap hewan. Dia memiliki sebuah alat tiup yang disebut Salohap
terbuat dari bambu yang berfungsi sebagai alat untuk mengundang hewan
yang hidup di darat maupun di air untuk datang kepadanya. Meskipun dia
bersahabat dengan sejumlah hewan, namun dia lebih serasi memelihara
ayam, sementara Naraga dan kedua temannya Narasi dan Narasag lebih cocok
memelihara gajah, kerbau, dan anjing.
Darayad
Damadik mengakhiri masa hidupnya didampingi isterinya ketika melakukan
pertapaan di Liang Sigundaba, sepeninggalnya sosoknya dipuja dan menjadi
tokoh yang dikeramatkan. Pengkultusan terhadap sosok Darayad Damadik
ini berkaitan dengan konsep Hindu-Buddha yang mengenal istilah
"dewaraja", di mana seorang raja dipuja dan dianggap memiliki sifat
kedewaan (keilahian) yang bersumber dari Dewa Siwa atau Dewa Wisnu.
Bentuk pemujaan ini kemudian berkembang luas di Asia Tenggara yang
diperkenalkan oleh para pengembara dari India. Konsep dewaraja dibentuk
melalui ritual keagamaan yang dilembagakan dalam pranata kerajaan
bercorak Hindu-Buddha di Asia Tenggara. Hal ini memungkinkan raja untuk
mengklaim dirinya memiliki wewenang ilahiah yang bisa digunakan untuk
memastikan legitimasi politik, mengelola tatanan sosial, menata aspek
ekonomi, dan agama. Hal ini juga digunakan untuk menjaga ketertiban
sosial, memuliakan raja sebagai dewa hidup yang pastinya menuntut
pelayanan dan pengabdian maksimal dari rakyatnya. Seiring dengan itu,
sistem kasta sebagaimana yang diterapkan di India turut diperkenalkan
untuk menata masyarakat berdasarkan kelas sosialnya. Konsep ini juga
terkait dengan Cakrawartin, istilah yang digunakan dalam agama Dharma
(Hindu-Buddha) untuk merujuk kepada seorang penguasa jagat yang ideal,
seorang maharaja yang bijaksana dan welas asih kepada seluruh makhluk di
dunia. Sepeninggal sang raja biasanya didirikan monumen maupun patung
yang bertujuan untuk menghormati dan memuliakan sang raja yang telah
wafat. Secara politik, gagasan ini merupakan suatu upaya pengesahan atau
justifikasi kekuasaan raja dengan memanfaatkan sistem keagamaan.
Catatan Tentang Nagur
Nama
Nagur berasal dari perpaduan kata "Na + Agur" yang berarti gelar bagi
seorang pemimpin yang gagah berani, benar, adil, dan bijaksana. Namun
sejumlah sejarawan ada juga yang mengkaitkan nama Nagur dengan Chota
Nagpur dan juga kota Nagore yang ada di India. Kerajaan ini berdiri
ratusan tahun kemudian sepeninggal Darayad Damadik, terbentuknya
kerajaan ini diawali oleh perpaduan sejumlah kampung yang pada suku
Simalungun dibagi ke dalam beberapa bagian meliputi huta, nagori, dan urung. Pasca berdirinya kerajaan, dipilihlah suatu lokasi sebagai pusat kerajaan yang disebut dengan pamatang. Nama Nagur pertama kali masuk dalam catatan sejarah yaitu pada almanak (annals)
Dinasti Sui (581-618 M) salah satu kekaisaran di Tiongkok penerus dari
Dinasti Jin dan peletak dasar bagi kejayaan Dinasti Tang sebagai
penggantinya. Almanak tersebut meriwayatkan tentang transaksi
perdagangan bilateral antara Nagur dengan Dinasti Sui di perairan sungai
Bah Bolon dekat Kota Perdagangan. Sebagaimana hasil penelitian Sutan
Martuaraja Siregar, guru sejarah di Normaal School Pematang Siantar, dia
melihat Nagur sebagai sebuah Kerajaan Batak yang didirikan orang
Simalungun dan menjadi pusat penyembahan berhala (Priests Kingdom of
Batak Pagan). Dengan adanya budidaya rambung merah (Sim: balata/Latin:
Ficus Elastica) yang dikembangkan masyarakat Nagur, sehingga mengundang
bangsa Tiongkok dari Dinasti Sui untuk membeli hasil sumber daya alam
Nagur yang dibutuhkan sebagai kedap air (water-tight) bagi kapal-kapal
dagang mereka. Pada waktu itulah pihak Tiongkok mendirikan kota
pelabuhan Sang Pang To di tepi Sungai Bah Bolon, sekitar 3 Kilometer
dari kota Perdagangan sekarang. Mereka banyak meninggalkan batu-batu
bersurat di pedalaman Simalungun yang kini telah lenyap akibat
penggusuran oleh pembukaan perkebunan dan pabrik-pabrik pada zaman
Belanda. Tidak jauh dari tempat ini, ada satu lokasi yang pada zaman
dahulu jadi tempat ritual pemujaan roh leluhur bernama Dolog Sinumbah,
sebelum kehadiran Belanda di tempat ini terdapat banyak kuil dan candi
Buddha, ada satu situs candi yang berhasil diselamatkan pada waktu
penggusuran oleh pihak Belanda sewaktu mendirikan pabrik dan perkebunan
(situs candi ini kini disimpan oleh keluarga marga Purba di Medan).
Gambar
2: Penulis saat berada di desa Nagur Kecamatan Tanjung Beringin Serdang Bedagai, letaknya tepat di bibir pantai timur Sumatera
Utara.
Seorang
nakhoda Persia, Buzurug bin Shahriyar Al-Ramhurmuzi saat lawatannya ke
pulau Sumatera pada tahun 955 M mencatat adanya suatu kerajaan bernama
Nakus yang mengacu pada Nagur. Keterangan lainnya juga datang dari Marco
Polo (1271-1295), seorang pengembara dari Venesia, Italia pada tahun
1292 pernah mengunjungi sejumlah pulau di pesisir Sumatera, di antaranya
adalah Dagroian yang tidak lain adalah Nagur, yang letaknya berada di
Pidie (Aceh) sekarang. Marco Polo menceritakan kebiasaan masyarakat
Dagroian yang kanibal dan larut dengan praktik genosida. Masyarakatnya
benar-benar primitif dan penyembah berhala. Kemudian pada awal abad ke
13 M, Zhao Rugua mencatat sebuah negeri bernama Pa-t’a di bawah kuasa
Sriwijaya. Antara Pa-t’a dan Bata sudah diterima umum ada kaitannya
dengan Batak. Batak yang dimaksud di sini merujuk pada Nagur, karena
pada masa itu Nagurlah satu-satunya kerajaan Batak. Sementara itu,
Niccolo de’ Conti seorang pedagang dan penjelajah dari Venesia, Italia
pada tahun 1430 berkunjung ke Sumatera dan tinggal selama setahun di
kota Sciamuthera (Samudera Pasai) dan pada tahun 1449 dia pertama
kalinya menemukan jejak masyarakat benama “Batech”. Dia mengatakan di
bagian tertentu di pulau Sumatera terdapat sebuah tempat bernama Batech,
penduduknya memangsa daging manusia. Mereka terus-menerus berperang
dengan tetangga mereka, tengkorak musuh mereka disimpan sebagai harta
kemudian menjualnya untuk memperoleh uang. Lain daripada itu, Tomé
Pires seorang apoteker dan kepala gudang rempah-rempah Portugis di
Malaka, dalam karya terbesarnya Suma Oriental (Dunia Timur) yang ditulis
pada tahun 1512-1515. Buku tersebut memberikan banyak informasi
berharga mengenai keadaan nusantara pada abad ke-16, dia menyebut
Sumatera dengan Camotora sebuah daerah yang luas dan makmur terdapat
banyak emas, kapur barus, lada, sutera, kemenyan, damar, madu, minyak
tanah, belerang, kapas, dan rotan. Selain itu, Sumatera juga memiliki
banyak padi, daging, ikan, dan bermacam-macam minyak, tuak termasuk
tampoy yang mirip anggur di Eropa. Dia mengatakan Sumatera adalah
ibukota dari Pasai. Pires mencatat tiga tempat yang menjadi pusat
aktivitas para pedagang asing di pesisir timur, yaitu Batta (di selatan
Pasai) yang memiliki komoditi utama rotan, lalu Aru yang memiliki cukup
banyak kamper dan kemenyan, dan terakhir Arcat (antara Aru dan Rokan).
Dia mencatat nama raja yang memerintah di Kerajaan Batak adalah Tomyam
yang identik dengan nama Tamiang, seperti pernah diberitakan Castanheda
juga seorang penjelajah dari Portugis bahwa Raja Tamiang adalah menantu
dari Raja Aru.
Gambar 3: Salah satu surat kabar pada zaman Belanda yang memberitakan tentang Nagur dan kerajaan Simalungun lainnya.
Selanjutnya
Duarte Barbosa seorang penulis dan penjelajah dari Portugis pada tahun
1516, mencatat adanya sebuah kerajaan di sebelah selatan pulau Sumatera
yang menjadi penghasil utama emas dan di pedalaman lain ada Aru yang
berdekatan dengan negara Batta, penduduknya kafir yang gemar makan
daging manusia terutama yang mereka bunuh dalam perang. Diteruskan oleh
Joao de Barros juga seorang berkebangsaan Portugis pada tahun 1563
kembali menyebut tentang Batak dalam misi penjelajahannya. Dia adalah
seorang sejarawan Portugis yang cukup terkemuka. Dalam laporannya dia
menyebutkan sebuah penduduk pribumi di bagian pulau yang berlawanan
dengan Malaka yang disebut Battas, mereka memakan daging manusia, sangat
buas dan merupakan masyarakat yang paling gemar berperang dari seluruh
negeri yang pernah dia jelajahi. Demikian juga pada saat Augustin de
Beaulieu seorang jenderal Perancis pada tahun 1619-1622 memimpin
ekspedisi bersenjata menuju India Timur, dia mengunjungi sejumlah daerah
sekitar Aceh dan semenanjung Malaya. Dia menyebut sebuah penduduk
pedalaman yang merdeka dan memiliki bahasa yamng berbeda dengan Melayu.
Mereka menyembah berhala dan memakan daging manusia, tidak pernah ada
tahanan yang ditebus tapi dimakan dengan menggunakan lada dan garam.
Namun, Beaulieu tidak secara spesifik menyebut nama penduduk yang dia
temui, dia melihat mereka tidak memiliki agama, tetapi sudah mampu
mengembangkan konsep pemerintahan dan menguasai beberapa negara. Dari
kriteria dan watak penduduk pedalaman yang digambarkan oleh Beaulieu ini
jelas mengacu pada suku Batak dan Batak yang dimaksud adalah Simalungun
yang pada masa itu dibawah kuasa Raja Marompat.
Informasi
tentang Nagur mengemuka kembali dari laporan 2 orang penerjemah
Laksamana Cheng Ho (Zheng He), yaitu Ma Huan dan Fei Xin. Armada Cheng
Ho yang memimpin sekitar 208 kapal datang mengunjungi Pasai
berturut-turut dalam tahun 1405, 1408, dan 1412, pada masa inilah kedua
orang penerjemah sekaligus pembantunya merekam keberadaan Nagur yang
berada di Aceh. Ma Huan dalam bukunya Yingya Shenglan diterbitkan tahun
1416 menceritakan bahwa Raja Nagur (那孤兒 = Na Ku Erh) dinamakan Raja Muka
Bertato, menduduki kawasan sebelah barat Sumentala (Samudera Pasai).
Sementara di sebelah barat Nagur berbatas dengan Litai (黎代) dan Lambri
(南渤利 = Lan Bo Li), jadi posisi Nagur berada di antara Lidai dan
Samudera. Wilayah yang mereka duduki hanya terdiri dari satu desa yang
berada di pegunungan, penduduknya merajah wajahnya dengan tiga panah
hijau, inilah yang melatarbelakangi munculnya sebutan Raja Muka Bertato.
Jumlah penduduknya hanya sekitar seribu keluarga, sistem pertanian yang
dikembangkan relatif kecil jika dibandingkan dengan jumlah penduduknya.
Jenis tanaman pertanian adalah padi gogo, binatang ternak yang mereka
usahakan adalah babi, kambing, unggas, dan bebek. Tidak ada produk yang
diekspor karena merupakan negeri yang relatif kecil. Bahasa dan busana
yang mereka gunakan sama dengan masyarakat di Samudera Pasai. Dari
pemetaan yang dilakukan oleh penulis letak dari Nagur ini berada di
sekitar Pirada (Peudada sekarang) masuk Kabupaten Bireuen Aceh sekarang
hingga Pidie. Litai, oleh pengelana lain sering juga disebut Lide,
barangkali yang dimaksud adalah Lingga yang berada di Aceh Tengah.
Sedangkan
menurut hasil dokumentasi Fei Xin yang dimuat dalam bukunya Xingcha
Shenglan yang diterbitkan tahun 1436. Nagur merupakan wilayah Negara
Muka Bertato (花面國 = Hua Mian Guo) berbatasan dengan Sumatera dan meluas
hingga ke Laut Lambri. Wilayah kedudukannya terletak di daerah
pegunungan. Di tengah cuaca yang bervariasi, masyarakat Nagur mampu
mengolah sawah mereka dengan baik sehingga mampu menghasilkan beras
dengan jumlah memadai. Tidak jauh berbeda dengan keterangan Ma Huan di
atas, Fei Xin juga mengatakan bahwa para kaum pria memiliki kebiasaan
merajah wajah mereka dengan gambar bunga beserta hewan. Rambut mereka
yang panjang dibiarkan terurai, bagian atas tubuh dibiarkan terbuka
hanya bagian bawah mengenakan sehelai kain. Sementara kaum wanita
mengenakan sehelai kain berwarna dan rambut bersanggul di belakang.
Binatang yang mereka ternakkan diantaranya sapi, kambing, unggas, dan
bebek. Kehidupan mereka berlangsung harmonis, tidak pernah ditemukan ada
upaya penindasan dari pihak yang kuat terhadap golongan yang lemah.
Antara kaum bangsawan dengan rakyatnya tidak dibatasi jurang pemisah,
mereka bersama-sama mengolah lahan demi kemajuan daerah mereka. Tidak
ada kesombongan dari golongan orang yang kaya terhadap mereka yang
miskin sehingga tindakan kriminal seperti pembunuhan dan pencurian
sangat jarang terjadi. Selain memproduksi bahan pangan, tanah subur yang
mereka duduki juga ditumbuhi sejumlah tanaman wewangian dan bunga
teratai (tunjung biru). Di kawasan pegunungan banyak terdapat belerang,
selain itu mereka juga mengembangkan budidaya ulat sutera dan industri
tembikar, dan lain sebagainya. Pada saat kunjungan ini, Laksmana Cheng
Ho menyerahkan hadiah dari Kaisar China kepada Raja Nagur dan sejak itu
pihak Nagur selalu mengirimkan upeti kepada Kaisar China yaitu Lonceng
Cakra Donya.
Dalam buku Yingya
Shenglan juga diriwayatkan bahwa Raja Samudera Pasai (蘇門答剌 = Su Men Ta
La) pernah diserang oleh Raja Nagur dan berhasil terbunuh dengan panah
beracun. Karena puteranya masih kecil dan belum sah untuk meneruskan
tahta, maka Ratu Su Men Ta La lantas bersumpah membalas dendam kematian
suaminya. Ia membuat sayembara yang isinya menyatakan bahwa ia bersedia
menikah dan memerintah bersama siapa saja yang sanggup membalaskan
dendamnya. Seorang nelayan tua bersedia mengemban tugas tersebut, dengan
berani ia memimpin pasukan guna menewaskan raja Nagur. Dengan dibantu
prajurit Su Men Ta La, nelayan tua ini berhasil membunuh Raja Nagur,
akibatnya pasukan Nagur mundur dan menyerah kalah. Nelayan ini kemudian
menikah dengan Ratu Su Men Ta La, keduanya memerintah bersama dengan
gelar Raja Tua. Pada tahun 1409, ia berangkat ke China untuk menyerahkan
upeti kepada kaisar China dan kembali ke negerinya pada tahun 1412.
Putera raja sebelumnya ternyata tidak setuju dengan pengangkatan Raja
Tua sebagai pengganti ayahnya, ia lantas bersekongkol dengan para
bangsawan guna menghabisi nyawa Raja Tua. Akibat kematian Raja Tua,
kemenakannya bernama Su Gan La (蘇幹剌 = Su Gan La) berniat membalas dendam
kematian pamannya, ia kemudian mengumpulkan para pengikut dan melarikan
diri ke pegunungan. Tidak lama kemudian pada tahun 1415, Cheng Ho pun
datang ke tempat ini dan menangkap Su Gan La. Atas bantuan yang
diberikan Cheng Ho, putera raja merasa sangat berterima kasih dan
sebagai balas jasa ia kemudian terus menerus mengirim upeti ke Tiongkok.
Gambar
4-7: Situs megalithik Batu Gajah, sebuah batu yang dibentuk menyerupai
gajah sebanyak 2 buah, peninggalan agama Buddha ini telah diteliti oleh
tim arkeologi Medan yang diperkirakan berasal dari abad 5 Masehi. Situs
ini berada di dusun Pamatang desa Nagori Dolog Kecamatan Dolog Panribuan
Kabupaten Simalungun.
Indikasi tentang eksistensi Nagur mencuat kembali dari catatan Ferdinand Mendez Pinto (1509-1583), barangkali ia orang Eropa pertama yang pernah pergi ke pedalaman utara Sumatra. Dalam karyanya berjudul Peregrination, ia mencatat kunjungan delegasi raja Batak tahun 1539 kepada kapten Melaka yang baru, Pedro de Faria. Ia melaporkan bahwa raja ini penganut paganisme dan ibukotanya bernama Panayu. Ia juga mengisahkan tentang peperangan sengit antara Aceh di masa pemerintahan Raja Ali alias Sultan Alauddin Riayat Shah Al-Qahhar (1537-1569) dengan seorang Raja Batak (Tuan Anggi Sri Timur Raja) dibantu oleh iparnya yang tampil sebagai panglima perang bernama Aquarem Dabolay (Anggaraim Nabolon Saragih Garingging) dari Partuanon Raya. Peperangan ini berlangsung selama dua babak, pada perang pertama dengan mengandalkan ketangguhan panah beracunnya, Nagur berhasil memukul mundur pasukan Aceh dan mengejarnya hingga sampai ke pegunungan yang dinamai Cagerrendan (Cagar Ardan, pen), di sanalah selama 23 hari pasukan Batak mengepung sisa pasukan Aceh yang masih bertahan. Singkat cerita kedua belah pihak sepakat mengadakan perjanjian damai. Namun tidak berselang 2 setengah bulan, Aceh melanggar perjanjian tersebut dan berniat melakukan pembalasan. Adanya bala bantuan 300 orang Turki menjadikan Aceh semakin bersemangat melawan Raja Batak. Pihak Aceh lalu mensiasati strategi bagaimana agar penyerangan mereka tidak menyebar luas dan diketahui Raja Batak. Lantas dibuatlah suatu dalih bahwa Raja Aceh akan berkunjung ke Pasai, tetapi ternyata tidak ke Pasai melainkan menyerang dua buah kampung Batak bernama Jacur dan Lingua. Dalam penyerangan itu, Aceh berhasil menewaskan 3 orang putra Raja Batak dan tujuh ratus orang hulubalang yang merupakan prajurit terbaik sekaligus orang yang dimuliakan di Kerajaan Batak.
Gambar
8: Situs Batu Hatak, sebuah patung yang dibentuk menyerupai katak.
Berada di lokasi yang sama dengan situs Batu Gajah di dusun Pamatang
desa Nagori Dolog Kecamatan Dolog Panribuan Kabupaten Simalungun.
Penulis
mengakui tidak banyak orang yang mengetahui kerajaan ini, hal ini
terjadi akibat kurangnya publikasi dan upaya penelusurannya tidak
komperehensif dan berlangsung secara berkesinambungan. Pada masa
kejayaannya, wilayah kekuasaannya terbentang luas mulai dari daerah
pedalaman Simalungun kemudian meluas ke pesisir Sumatera Timur, mulai
dari Aceh di utara dan Riau di selatan. Bukti luasnya wilayah Nagur
ditandai dengan adanya sejumlah tempat yang identik dengan bahasa
Simalungun dan nama Nagur sendiri juga turut diabadikan untuk meneguhkan
keberadaan daerah itu adalah bagian dari Nagur. Di tanah Karo, hingga
saat ini masih bisa ditemukan sebuah kampung bernama Perjuman Nagur yang
pada zaman dahulu dijadikan lokasi perladangan. Kampung kecil ini
sekarang masuk desa Bintang Meriah Kecamatan Kuta Buluh, tanah Karo.
Masih di kecamatan yang sama ada juga kampung bernama Bah Turak dan Bah
Gorih yang kini beralih menjadi Beturah dan Bagerih, juga Liang Dahar,
Liang Hajoran, dan Nagori Jahei. Di tanah Pakpak tepatnya di Kecamatan Si
Empat Nempu ada sebuah kampung bernama Buntu Raja, kampung yang senama
dengan itu juga terdapat di desa Sitanggor Kecamatan Muara Tapanuli
Utara. Di Kecamatan Tanjung Beringin Serdang Bedagai, tepat di bibir
pantai Bedagai ada sebuah kampung bernama Nagur. Barangkali pada zaman
dahulu tempat ini pernah menjadi dermaga dan pusat perdagangan Nagur. Di
tanah Simalungun sendiri masih bisa disaksikan ada kampung Nagur Usang,
Nagur Bayu, Nagur Panei, Nagur Raja (kini berubah jadi Naga Raja), Nagur Laksa, Nagur Panribuan, Mariah Nagur, Nagur Dolog, dan Nagur Bolag. Di Tiga Runggu dan Tiga Dolog juga terdapat sebuah kampung
bernama Parhutaan Nagur, di Tiga Dolok lokasinya agak jauh masuk ke
pedalaman. Ada yang menduga kedua tempat ini pernah menjadi pusat
pemerintahan Nagur. Di provinsi Riau ditemukan banyak nama tempat yang
berlatar "pamatang" yang berarti badan atau ibukota, ini menjadi salah
satu indikator yang membuktikan betapa luasnya pengaruh Nagur di zaman
dahulu. Ada Pematang Peranap, Pematang Pudu, Pematang Reba, Pematang
Tinggi, Pematang Tebih, dan Pematang Ibul.
Gambar
9-12: Makam Raja-Raja Nagur dan keturunannya yang diperlihatkan oleh
Tuan Subirman Damanik disaksikan tim Komunitas Jejak Simalungun.
Kemajuan dan Perkembangan Nagur
Sebagai
sebuah kerajaan yang besar dan kuat, Nagur sempat mengalami kejayaan
selama lebih dari seribu tahun, di masa keemasannya wilayah kekuasaannya
terbentang luas mulai dari Aceh di utara dan Riau di selatan hingga
masuk ke pedalaman Danau Toba di barat dan perairan Selat Melaka di
sebelah timur. Adapun lokasi yang menjadi pusat pemerintahan Nagur (pamatang),
para peneliti sejarah Simalungun umumnya menyepakati bahwa lokasi awal
yang menjadi ibukota Kerajaan Nagur berada di sekitar Pamatang Kerasaan
sekarang masuk Kecamatan Pamatang Bandar tidak jauh dari kota
Perdagangan, hal ini dibuktikan dengan adanya konstruksi tua bekas
Kerajaan Nagur dari hasil ekskavasi yang dilakukan oleh para arkeolog
(Holt 1967:26; Tideman, 1922:51). Sungai Bah Bolon yang berada di hilir
daerah ini menjadi pelabuhan Nagur, di mananya alirannya terus sampai ke
Selat Melaka. Lokasi lain yang diindikasikan pernah menjadi pusat
Kerajaan Nagur adalah Partimalayu, Nagur Usang, Tiga Dolog, Tiga Runggu,
dan Naga Raja. Tuan Subirman Damanik menjelaskan pada masa Raja Nagur
terakhir istananya dibangun di tiga tempat, pertama di Parti Malayu yang
didiami oleh permaisuri yang pertama, kedua di Raya, dan ketiga di
Mariah Nagur. Biasanya perkampungan Nagur berada tidak jauh dari
perairan, ada 3 tipikal pemukiman yang wajib didirikan oleh Raja Nagur,
pertama bernama Silaon yang menjadi lokasi pemujaan kepada para luluhur,
kedua Sigundaba menjadi tempat pemujaan bagi para panglima (puanglima) dan hulubalang (parsaholat),
dan ketiga dinamakan Sigintora, lokasi ini dijadikan tempat pemujaan
para panglima dan hulubalang untuk menghalangi datangnya penyakit dan
menghalau musuh. Lokasi untuk balai pertemuan dengan para raja
dipusatkan di Talun Parhuppuyan (Dolog Tinggi Raja).
Pada
seminar sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara
yang diadakan di Perlak Aceh Timur tahun 1980, sejarawan Anas Macmud
menyampaikan makalahnya di hadapan para tokoh ulama dan sejarawan
lainnya seperti Prof. Dr. Hamka, Prof. Ali Hasjmy, Dr. Ruslan Abdul
Gani, Tengku Luckman Sinar, SH (budayawan Melayu), Muhammad Said (pendiri Harian Waspada), Dr. Lance Castles, Prof. Dr. Ibrahim Hasan, MBA, Prof. Dr. K. Das Gupta, Prof. Dr. Wan Hussein Azmy, Prof. A.
Madjid Ibrahim, Abu Hassan Sham, MA, Drs. UU Hamidy, Drs. Zainuddin
Mard, Timur Jailani, MA, Tengku Abdullah Ujung Rimba, Zainal Arifin
Sregar, BSc, dan Prof. Ismail Hussein. Dia menceritakan secara singkat
tentang Nagur sebuah kerajaan pedalaman yang wilayahnya sangat luas dan
selalu bergandengan dengan Haru dan Pasai. Untuk membuktikan keberadaan
Nagur, dia menyebutkan nama-nama tempat di Simalungun seperti Nagur
Usang, Nagur Bayu, Parhutaan Nagur di Tiga Dolog dan Tiga Runggu. Dia
juga menyinggung tentang Panai, sebuah kerajaan tua yang tercatat dalam "Tanjore Inscription" yang dibuat pada masa Raja Rajendra Chola I dan
berangka tahun 1030 M. Dalam hubungannya dengan Panai, dia juga
menyebutkan tentang banyaknya nama Panai di Simalungun.
Pada
masa kejayaannya, selain dengan Tiongkok, Nagur juga pernah menjalin
interaksi perdagangan dengan Kerajaan Persia memperdagangkan komoditi
ular tikar (balun bigou/bidei) untuk dijadikan permadani yang
dilatih agar bisa terbang dan membawa dua orang di punggungnya. Ukuran
ular ini 7 meter dan lebarnya 1,5 x 3 meter. Bukti adanya pengaruh
budaya Persia ke tanah Simalungun, diantaranya banyaknya ditemukan
terminologi "bandar", terminologi Persia ini kemudian diabadikan menjadi
nama pemukiman di Simalungun seperti Mariah Bandar, Marihat Bandar,
Bandar Masilam, Pamatang Bandar, Nagori Bandar, Bandar Huluan, Bandar
Kaheian, Bandar Buntu, Bandar Silou, Bandar Jawa, Bandar Tongah, Bandar
Tinggi, Bandar Siantar, Bandar Hataran, Bandar Manik, Bandar Hinalang,
Bandar Tongging, Bandar Maruhur, Bandar Nagori, dan Bangun Bandar. Dalam
Pustaha Parpadanan Na Bolag, Kerajaan Nagur digambarkan sebagai suatu
kerajaan yang kaya dan jaya, di mana ibu negerinya (pamatang)
memiliki benteng yang kuat, berpagar besi, pintu gerbangnya disebut
"layar-layar" terbuat dari "Tumbaga Holing" dan gemboknya terbuat dari
perak. Sementara Pustaha Parmongmong Bandar Syahkuda seperti yang
dituturkan Tuan Alep Damanik menyatakan bahwa istana Raja Nagur berada
di Tolbak Pargambirian.
Pada
zamannya, daerah Nagur terkenal dengan kekayaan sumber daya alamnya dan
menjadi komoditi yang sering diperdagangkan kepada kerajaan dan bangsa
lain dari luar Sumatera, seperti rotan, damar, sena, gaharu, nibung,
jelutung, merbau, rambung merah (balata), dan juga produsen madu yang berlimpah yang dibudidayakan dengan memanfaatkan pohon rambung merah dan kayu raja (tualang) sebagai sarang lebah madu (huramah). Madu yang diperdagangkan Nagur terbagi dua, ada madu lebah yang terasa manis dan ada juga madu lalat (bonbon) yang terasa asam manis. Sarang madu yang disebut hotihoti juga turut diperdagangkan, sarang madu ini digunakan untuk pembungkus
obat, logam berharga, dan untuk bahan baku lilin. Tempat penyimpanan
obat dan barang berharga biasanya ditaruh dalam lubang tanduk atau
lubang tulang hewan dan bambu (abalabal), setelah di tutup
rapat bagian luar ditempeli sarang madu. Adapun getah rambung merah
biasanya digunakan untuk merekatkan kulit kayu gaharu untuk membuat
kain, getah yang akan diperdagangkan diolah dengan cara batang-batang
rambung merah dibelah berkeping-keping getahnya dibiarkan mengalir. Tiga
minggu kemudian karet tersebut dikelupas lalu ditaruh dalam peti, di
atas getah tersebut diletakkan kayu besar untuk menekannya dan dibiarkan
selama tiga minggu agar semuanya merekat menjadi satu. Getah rambung
merah juga diolah untuk jadi minyak tanah dengan cara dicairkan, getah
damar dimasak dicampur dengan air perasan serai (sanggesangge) dan air perasan buah jarak (dulang)
yang sebelumnya ditumbuk halus. Setelah getah cair dapat digunakan
sebagai minyak tanah. Pihak Nagur juga menjual getah dari kayu damar
yang dibungkus dengan pelepah pinang dan juga sihat (lempengan
seperti damar yang berasal dari semut biasanya digunakan untuk perekat
gagang pisau dan obat muntaber). Komoditi alam ini kemudian diangkut
melalui sungai dan sering memanfaatkan goa yang ada di pinggir sungai
sebagai gudang dan transit sementara sebelum sampai ke laut. Setelah
sampai di laut, para saudagar Nagur juga memanfaatkan pulau-pulau kecil
seperti pulau Batu Beranak dan pulau Pandan sebagai gudang dan juga
pelabuhan.
Kerajaan Nagur pada zaman dahulu terkenal sebagai tempat mencari penghidupan (pangaldungan)
bagi para penduduk baik di lingkungan Nagur maupun dari luar Nagur.
Raja Nagur sangat peduli terhadap kesejahteraan rakyatnya, tidak ada
penindasan dan kesewenangan dari keluarga bangsawan terhadap golongan
yang lemah, meski sistem pemerintahan yang dijalankan bersifat feodal,
namun kebenaran sebagai falsafah hidup tetap menjadi pedoman dalam
menjalankan pemerintahan. Falsafah hidup "Habonaron Do Bona Hajungkaton
Sapata" sudah mengejewantah dalam kehidupan orang Simalungun sejak lama.
Keselarasan hubungan yang diwujudkan dalam penerapan falsafah adat
"Tolu Sahundulan Lima Saodoran Waluh Sabanjaran" menjadi pilar perekat
antara rakyat dengan para pemimpinnya. Di bawah kekuasaan Raja Nagur,
rakyatnya hidup aman, damai, dan sentosa, keselamatan mereka terjamin,
kekayaan alam melimpah, dan ketersediaan bahan pangan memadai, semua
inilah yang mendasari rakyat Nagur hidup sejahtera. Raja Nagur juga
menjalin persahabatan dengan kerajaan-kerajaan tetangga seperti
Sriwijaya dan Panai, ketika Panglima Indrawarman bersama pasukannya datang ke Simalungun dalam rangka misi ekspedisi Pamalayu, Raja Nagur memanfaatkan jasa para pasukannya dari kalangan suku Jawa
berjumlah 1.000 orang
untuk ditugaskan memindahkan bagian hulu sungai Bah Humpawan ke sungai Bah
Ambalotu. Sebelum melakukan pengerjaan, mereka mengadakan perundingan di Talun Parhuppuyan (Dolog
Tinggi Raja). Sungai Bah Ambalotu diperbesar bertujuan
agar dapat mengairi persawahan di sekitar aliran sungai tersebut sampai ke Dolog Masihol.
Mereka menamakan sungai tersebut dengan Ambalotu mengikuti nama sungai
Ambalotu di Asahan, anak sungai Silou yang menjadi basis seluruh bala
tentara Jawa. Peristiwa ini juga mengawali munculnya nama kampung Saribu
Jawa di Simanabun, Silou Kahean.
Dalam pustaha
Nagur tercatat sejumlah nama tokoh yang menjadi ingatan di kalangan
keturunan Nagur, seperti Sang Majadi Damanik, Saduk Dihataran Damanik,
Sang Mahiou Damanik, Jigou Dihataran Damanik, Sangma Doriangin Damanik,
dan puteri Anggaraini boru Damanik. Dalam Pustaha Parmongmong Bandar
Sahkuda dikisahkan bahwa Sang Ni Alam disebut Raja Pasir Samidora
(Samudera Pasai) menikah dengan puteri Raja Nagur, Sang Majadi Damanik
yang bernama Sang Mainim, karena isterinya enggan memeluk Islam lalu
memutuskan pergi meninggalkan Pasai dan kembali ke Kerajaan Nagur.
Akibatnya meletus perang tanding antara Raja Pasir Samidora dengan Raja
Nagur. Adapun cabang-cabang marga Damanik yang hidup di zaman Nagur
adalah Damanik Nagur, Rampogos, Sola, Malayu, Sarasan, Rih, Hajangan,
Simaringga, Usang, dan Bayu. Kemudian keturunan Damanik yang mendiami
pulau Samosir kembali hijrah ke tanah Simalungun, seperti Limbong,
Sagala, Malau, Manik, Ambarita, dan Gurning. Pada masa terjadinya
pergolakan di lingkungan Kerajaan Nagur, rakyatnya banyak mengungsi ke
Pulau Samosir untuk menyelamatkan diri, proses migrasi ini terjadi
sekitar tahun 1200 Masehi. Pendapat ini didukung oleh hasil penggalian
arkeologi yang diadakan oleh Badan Arkeologi Medan beberapa tahun lalu
di Sianjur Mulamula, tempat ini oleh orang Toba diyakini sebagai asal
mula leluhur mereka Si Raja Batak. Dari hasil ekskavasi dan penggalian
tersebut diketahui ternyata Sianjur Mulamula baru dihuni manusia sekitar
600 (/+-200) tahun yang lalu. Kepala Balai Arkeologi Medan Ir. Ketut
Wiradyana, M.Si menegaskan bahwa Pusuk Buhit tidak pernah menjadi tempat
hunian karena wilayah tersebut dianggap sakral. Hasil temuan ini sudah
diseminarkan di Universitas Negeri Medan (UNIMED) tanggal 9 Januari 2015
lalu dengan tema "Telaah Mitos dan Sejarah Asal Usul Orang Batak",
tampil sebagai pembicara Prof. Dr. Uli Kozok dari University of Hawai,
Kepala Balai Arkeologi Medan Ir. Ketut Wiradyana, M.Si, dan Guru Besar Antropologi UNIMED Prof. Dr.
Bungaran Antonius Simanjuntak.
Bangun dan Runtuhnya Nagur
Pada
abad 13, kerajaan ini mulai mengalami kemunduran pasca berkembangnya
Kerajaan Haru, Perlak, dan Pasai, persaingan kekuasaan semakin sengit
dan peperangan juga kian marak. Para penguasa-penguasa baru ini sangat
berperan dalam merongrongkan Nagur, akibatnya Nagur semakin terpuruk.
Nagur yang sebelumnya sempat mengalami kelumpuhan akibat serbuan
Kerajaan Chola dari India Selatan yang datang menyerang ke pulau
Sumatera selama 2 kali yaitu tahun 1017 dan 1025 Masehi. Seperti yang
direkam oleh penjelajah asal Maroko, Abu Abdullah Muhammad bin Batuthah
(1304-1368) yang berkunjung ke Samudera Pasai tahun 1345 Masehi,
kemudian meneruskan perjalanannya ke Kanton Cina lewat jalur Malaysia
dan Kamboja. Dia mengisahkan akibat dari agresi Chola terhadap Nagur,
kerajaan ini menjadi porakporanda yang mengakibatkan daerah taklukannya
banyak yang memerdekakan diri. Pihak Chola mengetahui bahwa Kerajaan
Panai yang berpusat di Padang Lawas dan Nagur di Simalungun merupakan
kerajaan yang kuat dan cukup berpengaruh di pulau Sumatera dan menjadi
sekutu dari Sriwijaya yang sama-sama penganut agama Buddha. Pada
prasasti Tanjore, Nagur disebut dengan Nakkawaram, kerajaan yang
memiliki kebun madu berlimpah. Keturunan Damanik Sola yang berdiam di
Pulau Batu Beranak saat diserang pasukan Chola, Raja Nagur lalu
memerintahkan agar membalas serangan itu dengan senjata panah beracun (sior ipuh).
Pasukan Nagur mengejar bala tentara Chola sampai ke Pulau Pandan,
mereka yang terjebak di pulau itu tiada seorang pun yang selamat,
seluruhnya gugur akibat keganasan panah beracun dari pasukan Nagur.
Keturunan Damanik yang selamat dari serangan Chola ini kemudian dikenal
dengan Damanik Sola. Pulau Batu Beranak yang menjadi kediaman golongan
Damanik Sola ini berada di seberang Pagurawan Kabupaten Batubara, dapat
ditempuh dengan menggunakan kapal ferry. Sekarang pulau ini sudah tidak
lagi berpenghuni hanya sejumlah pekuburan tua yang bisa kita saksikan di
tempat ini. Pada masa itu wilayah penyebaran keturunan Nagur sampai ke
Pulau Berhala yang kini masuk Kabupaten Serdang Bedagai dan juga Pulau
Pandan yang berada di sebelah utara Kecamatan Tanjung Tiram Kabupaten
Batubara, kurang lebih 3 jam dari dermaga Tanjung Tiram. Demikian juga
Pulau Sembilan yang kini masuk daerah Perak Malaysia (Pulau Sembilan
terdiri dari Pulau Rumbia, Lalang, Saga, Buluh, Samak, Nipis, Agas,
Miskin dan Nyamuk), hingga Pulau Sarasan dekat Kalimantan yang kini
masuk Kecamatan Natuna Kepulauan Riau. Pulau Sarasan inilah menjadi
tempat pelarian golongan Damanik Sarasan sewaktu mereka diburu oleh para
musuh Nagur.
Untuk menstabilkan
kedudukannya, wilayah kekuasaan Nagur di sebelah hilir hingga Asahan
diserahkan kepada panglimanya marga Saragih yang kemudian mendirikan
Kerajaan Batangiou, peristiwa ini terjadi sekitar abad 12. Raja
Batangiou ini menikah dengan puteri Nagur dari keturunan Damanik
Simargolang yang berkuasa di Tanjung Balai (Urung Balei) hingga Pulau
Raja Asahan. Wilayah kekuasaan Batangiou ke barat berbatasan dengan
Nagur, ke utara mulai dari Pamatang Tanoh Jawa sampai daerah Batu Bara
dan ke timur berbatasan dengan Kerajaan Simargolang hingga ke Pantai,
kerajaan ini memerintah selama sebelas generasi. (Tideman, 1922: 12).
Wilayah Nagur kian menyusut hanya mencakup Dolog Silou, Raya, Panei,
Purba, dan Silima Huta (Moolenburg, 1909: 555) terus ke tanah Karo,
sebagian tanah Pakpak, dan pesisir timur dari Tebing Tinggi sampai
Langkat. Brahma Putro dalam bukunya Karo Dari Jaman Ke Jaman
mengemukakan, pada zaman dahulu di tanah Karo terdapat Kerajaan Nagur
yang diperintah oleh marga Ginting Pase, yang berpusat di Kuta Pase
dekat Sari Nembah Kecamatan Munte sekarang. Kerajaan ini tunduk dibawah
kekuasaan Nagur yang berpusat di Tiga Runggu, wilayah kekuasaannya
meliputi sebelah selatan Lau Biang, dari Tongging sampai Kuta Bangun dan pegunungan Sampe Raya. Di daerah
pusatnya di Simalungun, muncul penguasa baru yang melepaskan diri dari
Nagur seperti Kerajaan Manik Hasian yang berpusat di Simanjoloi,
Kerajaan Jumorlang di Jorlang Huluan, dan Kerajaan Riou (Amin Damanik
& Jaramen Damanik, 1976 : 11).
Gambar
13: Situs Nagur berupa nisan, tampak pada foto Hendry Damanik dan
Franswell Fabo Saragih Sumbayak dari tim Komunitas Jejak Simalungun. Situs Nagur banyak yang
hilang dan hancur akibat penggusuran yang dilakukan oleh pihak perkebunan.
Pada tahun
1275-1295, ekspansi politik Kerajaan Singosari melalui gerakan ekspedisi
Pamalayu juga turut meluas ke kerajaan Nagur, namun tidak diketahui
dengan pasti apakah pada masa itu sempat terjadi konflik antara bala
tentara Singosari dengan rakyat Nagur. Para
pasukan Jawa berkoalisi dengan pasukan Dharmasraya Jambi yang dikomandoi Panglima Kebo Anabrang dan
pembantunya Panglima Indrawarman seorang keturunan Melayu-Minangkabau, mereka memusatkan kedudukan di sekitar muara Sungai Asahan
(Wibawa, 2001:14-15). Sebelum bergerak ke Nagur, pasukan Indrawarman
awalnya menaklukkan daerah Siak, Rokan, dan Kandis di Riau. Kemudian
pada tahun 1289 baru perhatian mereka mengarah ke wilayah Andalas
(Sumatera Barat), terus Mandailing, Panai, hingga sampai ke Asahan.
Pasukan mereka dibagi ke dalam beberapa divisi atau batalyon, sebagian
tetap bertahan di Asahan, selebihnya menuju Haru, Kampai, Tamiang,
Perlak, Samudera Pasai, dan Lamuri. Jejak-jejak daerah yang dilintasi
oleh ekspedisi Pamalayu ini dicatat dengan lengkap pada kitab
Negarakertagama (Desawarnana). Di tengah mengemban tugas, di luar dugaan
mereka di Singosari terjadi pemberontakan yang dilancarkan oleh
Jayaktawang Raja Kediri dibantu puteranya Ardharaja yang menjadi menantu
Kertanegara. Peluang ini dimanfaatkan Jayakatwang untuk menggulingkan
kedudukan Kertanegara karena pada saat itu sebagian besar senopati
(panglima) dan pasukan-pasukan Singosari terlibat dalam ekspedisi
Pamalayu, sehingga benteng pertahanan di lingkungan istana Singosari
sangat lemah. Mendengar pemberontakan yang terjadi, Kebo Anabrang lalu
mengimbau sebagian besar pasukannya agar kembali ke pulau Jawa, Panglima
Indrawarman diperintahkan agar tetap bertahan di Sumatera Timur guna
menjaga stabilitas daerah-daerah koloni yang berhasil mereka taklukkan.
Kerajaan
Pasai turut mengembangkan pengaruhnya ke Sumatera Timur, kelemahan
Nagur dijadikan peluang untuk menyerang Nagur, menghadapi invasi Pasai
ini Nagur benar-benar kewalahan, sejumlah wilayah kekuasaan Nagur di
bagian pesisir berhasil direbut. Pada pertempuran ini panglima Nagur
dengan keberaniannya terlebih dahulu memasuki wilayah Pasai, pasukannya
tertinggal di belakang, akibatnya pasukan Pasai dengan mudah mengalahkan
panglima Nagur, dia kemudian terdesak sampai ke jurang di tepi laut dan
terjerumus ke dalamnya. Pasukan Pasai mengira dia sudah mati, namun
ternyata dia masih hidup, mereka lalu pergi meninggalkannya. Untuk menyelamatkan dirinya panglima ini
kemudian meniup Salohap untuk mengundang sekelompok hewan agar
datang membantunya, tidak lama kemudian datanglah seekor penyu yang
membawanya ke tepi pantai, kambing hutan membawanya dengan mendekapkan
tubuh sang panglima pada perutnya, dan ular sawa melilitnya lalu
membawanya ke atas bukit. Sesampainya di bukit, seekor biawak juga
datang membantu untuk menunjukkan jalan, kemudian disusul seekor harimau
membawanya melewati para musuh, dan terakhir seekor burung tuldik
yang bertugas mengacaukan perhatian para musuh agar jejak panglima
tersebut tidak diketahui. Berkat jasa besar yang diberikan sekelompok
hewan ini sehingga mendasari keturunan Nagur dari golongan Damanik
Malayu dipantangkan memakan penyu, kambing hutan, ular sawa, biawak,
harimau, dan burung tuldik.
Gambar
14-15: Penulis bersama Kepala Museum Simalungun Bapak Drs. Jomen Purba
berdiri dekat batu catur peninggalan Raja Nagur di Museum Simalungun,
Kota Pamatang Siantar
Setelah
berhasil selamat, perang kembali meletus namun tidak berselang lama,
pihak Nagur dan Pasai memutuskan berdamai, pada masa inilah salah
seorang keturunan Nagur ikut serta ke Pasai mendampingi perjalanan
mereka. Panglima Nagur ini kemudian menikah dengan puteri Pasai dan
membentuk pemerintahan baru di sekitar Bireuen meluas hingga ke Pidie
yang tunduk pada Pasai. Panglima Nagur yang berangkat ke Aceh ini adalah
keturunan dari panglima Nagur yang berperang melawan pasukan Raja Chola
tahun 1025 di Pulau Batu Beranak. Keluarganya menitipkannya di Sokkur
dan lahir di sana, akhirnya dia juga tumbuh menjadi seorang panglima
menghadapi pasukan Pasai. Berbeda dengan penjelasan Nurdin Damanik dan
Kadim Morgan Damanik, keduanya mengatakan di tengah pergolakan antara
Nagur dan Pasai, salah seorang keturunan Nagur yang dikenal dengan Marah
Silou pergi mengundurkan diri ke arah selatan Nagur yaitu Tapanuli
Selatan menunggu keadaan aman. Dia berencana ingin mendirikan Kerajaan
Nagur kembali, tetapi tidak berhasil karena keadaan di Selat Malaka
tidak stabil, di mana terjadi perebutan kekuasaan antara Sriwijaya dan
Haru sehingga tidak memungkinkan beroperasinya pelabuhan Sang Pang To di
Perdagangan. Dia lalu pergi melanglangbuana ke Aceh, di hulu sungai
Pasai daerah Pidie dia membentuk pemerintahan baru yang tetap berinduk
pada Kerajaan Nagur yang ada di Simalungun (1200-1285). Dalam buku
Tarich Aceh dan Nusantara karangan HM Zainuddin (1961) disebutkan pada
tahun 1394 M Laksama Pasai yaitu Rabath Abdul Kadir Syah dari Nagur di
Pedir (Pidie) melakukan kudeta dan menyerang Pasai, dia berhasil
membunuh Sultan Zainal Abidin Malik Az-Zahir. Laksamana Nagur ini
kemudian menggantikan kedudukan sebagai penguasa Samudera Pasai bergelar
Maharaja Nagur Rabath Abdul Kadir Syah, dia memerintah selama enam
tahun (1394-1400). Raja inilah yang berjasa mempertahankan Samudera
Pasai ketika diserang oleh Majapahit tahun 1377-1378. Akibat gejolak
ini, sejumlah keturunan bangsawan Pasai yang enggan tunduk dibawah
kekuasaannya kemudian pergi meninggalkan Pasai menuju pesisir barat
Aceh, di tempat ini mereka mendirikan sebuah pemukiman bernama Kuala
Daya. Ali Hasjmy dalam bukunya berjudul "Wanita Aceh" selanjutnya
mengisahkan, sang laksamana Nagur ini kemudian dibunuh oleh perwira
bawahannya, Syahbandar Pasai bernama Arya Bakoy. Setelah membunuh
Laksamana Nagur, dia lalu meminang janda Sultan Zainal Abidin
Malik-Az-Zahir dan menjadi ayah tiri Ratu Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu.
Keberadaan Nagur di Aceh ini pertama kali diteliti oleh Gerrit Pieter
Rouffaer (1860-1920), menurutnya Nagur di Aceh termasuk bagian dari
Nagur di Simalungun.
Pasca runtuhnya Pasai tahun 1521 oleh serangan Portugis, Kesultanan Aceh bangkit dan berniat menguasai wilayah Sumatera Timur. Bangsa Portugis datang pertama kalinya ke nusantara dan berhasil menaklukkan Malaka tahun 1511, kejatuhan Malaka ini menjadi pintu masuknya kolonialisasi Eropa di kawasan nusantara. Pada masa inilah, Kerajaan Nagur melakukan kontak perdagangan dengan Portugis. Pada tahun 1539 untuk pertama kalinya Aceh melancarkan gerakan reunifikasi ke seluruh Sumatera Timur, sasaran ekspansinya di antaranya Nagur. Pada peperangan ini, Portugis turut mengerahkan bala tentaranya membantu Nagur dan juga menyediakan persenjataan dan amunisi. Sebagaimana hasil dokumentasi Ferdinand Mendez Pinto yang sudah diuraikan di atas, pihak Aceh sempat mengalami kekakalahan menghadapi kekuatan pasukan Nagur yang bersenjatakan panah beracun. Namun kemenangan ini tidak berlangsung lama, karena bala bantuan dari Turki dan Minangkabau datang membantu memperkuat pasukan Aceh. Wilayah Nagur yang berada di Aceh berhasil diduduki, yaitu Jakur dan Lingua. Akibat mengalami kekalahan yang sangat berat, Nagur kemudian menyerah dan dengan resmi mengaku tunduk pada Aceh. Sejak itu Aceh sepenuhnya menguasai wilayah Sumatera Timur.
J.
Tideman dalam bukunya Simeloengoen: het land der Timoer-Bataks in zijn
vroegere isolatie en zijn ontwikkeling tot een deel van het
cultuurgebied van de Oostkust van Sumatra hal. 52-53, dia mengisahkan
tentang salah seorang raja Nagur yang sangat gemar bermain catur. Di
mana ketika dia terjebak dalam peperangan dan musuh sudah mendekat,
bahkan sudah diperingatkan akan ancaman musuh tetapi dia tetap
memperhatikan permainan caturnya. Hanya ungkapan “syah...syah” yang
keluar dari mulutnya. Ketika musuh menyerbu bentengnya, dia akan dibunuh
apabila tidak menyerahkan batangan emas hasil judinya. Demi
keselamatannya, hasil judi tersebut kemudian dia serahkan kepada pihak
musuh sehingga mereka saling berebut untuk mendapatkannya, di tengah
kondisi ini dia pergi meloloskan diri. Dari sini diketahui bahwa
permainan catur sudah lama dikenal orang Simalungun, pada zaman dahulu
untuk memindahkan potongan-potongan buah catur diserahkan kepada para
budak. Di seberang Bah Sawa menjulang Gunung Datas, sekelompok bukit
dengan puncak daratan, gunung ini menjadi saksi bisu kisah permainan
catur antara Tuan Batangiou dan Tuan Silou Malaha dari Nagur. Keduanya
sepakat bermain catur di Buntu Parsaturan dekat Gunung Datas. Pada hari
yang disepakati mereka bertemu, masing-masing disertai anak buah yang
berjumlah cukup banyak. Dalam permainan ini, keduanya mempertaruhkan 12
orang budak, dalam sehari hanya tiga atau empat kali mereka melakukan
permainan bahkan pernah juga hanya dua atau tiga kali. Tanpa disadari,
permainan ini berlangsung satu tahun lamanya dan Tuan Silou Malaha
akhirnya kalah dibuat Tuan Batangiou. Tetapi Tuan Silou Malaha tidak
terima atas kekalahan itu, dia tidak mau membayar taruhan kepada Tuan
Batangiou justru dia kembali ke Silou Malaha di dusun Bahal Gajah dekat
Siantar.
Tuan Batangiou kemudian
berusaha meminta ganti rugi lewat sejumlah warga Silou Malaha dan
membawa mereka ke Batangiou. Karena tidak menemukan penyelesaian,
akibatnya meletuslah perang. Tuan Batangiou memiliki Bodil Pamuras
(sejenis senjata api dengan Tunam, bahan pembuat mesiu yang banyak
ditemukan di makam kaum bangsawan Simalungun). Peperangan ini
berlangsung selama setahun, kuda Tuan Batangiou terluka parah dan
menjadi pincang. Karena itu tempat ini disebut Huda Sitajur, ketika
musuh mendekati benteng Tuan Batangiou, Huda Sitajur sudah tidak bisa
lagi berfungsi seperti yang diharapkan. Oleh karena itu, seorang budak
bernama Si Jalak Lenteng membawa kuda buruan bernama “Huda Bunga-Bunga”.
Bersama kuda ini dia membawa lari Tuan Batangiou ke Siantar, namun
keberuntungan tidak berpihak pada mereka, mereka berhasil tertangkap dan
terbunuh. Sebelum kematiannya, Si Jalak Lenteng terus berusaha
menembaki musuh dengan Bodil Pamuras, meskipun senjata itu tidak berisi
peluru maupun mesiu, namun dengan penuh keberanian dia berteriak “Dengar
kami, kami masih memiliki sedikit mesiu dan juga peluru. Apabila ada
yang maju, mereka akan tertembak; dia tidak akan bersuara kecuali bumi
yang memiliki tubuhku dan angin memiliki jiwaku, hanya nyamuk yang
datang dan rayap yang merayapiku, saya akan mati bila waktunya tiba”. Di
tengah kericuhan itu, warga Batangiou lantas memilih meninggalkan
kampung mereka termasuk penduduk yang mendiami Gunung Datas menuju Onggo
Sipoldas Panei.
Bukti Arkeologis Tentang Nagur
Pada
saat penggalian dan penjelajahan yang dilakukan Tim Komunitas Jejak
Simalungun yang diketuai Sultan Saragih bersama Hendry Damanik dan
Franswell Fabo Sumbayak terhadap situs Nagur di desa Sokkur Raya Kahean,
Simalungun. Didampingi Tuan Subirman Damanik, mereka berhasil
mendokumentasikan sejumlah situs Nagur seperti Liang Bokkou yang pada
zaman dahulu menjadi tempat hunian penduduk Nagur sebelum mengenal
pembuatan rumah, mereka belum mengenal sistem pertanian hanya memakan
tumbuh-tumbuhan dan berburu binatang dan ikan di sekitar Unong Sidamanik
jaraknya 20 meter dari lokasi goa. Ada juga Liang Sigundaba atau Liang
Hamateian, tempat penyimpanan abu jenazah 46 keturunan Raja Nagur. Jalan
masuk dari mulut gua sekitar 90 x 90 centimeter. Lorong ini sepanjang 5
meter, setelah itu ditemukan ruang gua berukuran lebih kurang 4 x 3
meter dengan ketinggian ke langit-langit sekitar 2 meter, tidak jauh
dari situ mereka kembali menemukan lorong sebesar 1 x 90 centimeter
sepanjang 6 meter. Di kebun Parbatu (dekat Tebing Tinggi) terdapat dua
gua peninggalan Nagur yang bernama Liang Tanggiripan Tunggal dan Liang
Tanggiripan Boruboru. Selain itu ada juga situs batu nisan peninggalan
Nagur, situs Nagur banyak yang hilang akibat penggusuran yang dilakukan
oleh pendirian perkebunan dan pabrik-pabrik yang dimulai sejak zaman Belanda hingga masa kemerdekaan.
Gambar
16: Liang Bokkou, merupakan tempat tinggal dari penduduk Nagur sebelum
mengenal pembuatan rumah, mereka belum mengenal sistem pertanian hanya
memakan tumbuh-tumbuhan dan berburu binatang dan ikan di sekitar Unong
Sidamanik jaraknya 20 meter dari lokasi goa.
Jasad para penguasa Nagur, mulai dari Darayad Damadik hingga 45 keturunan sesudahnya ditempatkan dalam peti kayu bernama Batang Tahuran.
Peti jenazah ini terbuat dari kayu gelondongan berbentuk bulat yang
dilubangi dengan pahat, usai jenazah dimasukkan ke dalam peti lalu
diletakkan dalam posisi miring di sebuah gubuk yang telah dipersiapkan.
Posisi sebelah kaki lebih rendah dan di bagian ujung terdapat lobang
yang dihubungkan dengan sebilah bambu sebagai selang, bagian bawah
dihubungkan dengan lobang ke tanah. Posisi kepala diletakkan lebih
tinggi, pada lobang yang dihubungkan dengan bambu lalu dihubungkan ke
ruang perapian di bagian bawah agar asap dapat masuk ke dalam peti
jenazah. Sesuai kesepakatan jenazah itu kemudian dibiarkan dalam peti
hingga beberapa waktu, setelah jasadnya menjadi kerangka lalu
dipindahkan ke dalam Batang Tahuran berukuran + 2 hasta lalu ditempatkan di bagian depan rumah dekat pintu masuk (luluan). Pihak keluarga kembali berembug untuk memindahkan kerangka tersebut ke dalam Batang Tahuran Batu
(peti batu yang telah dilubangi dengan pahat) untuk ditempatkan di
dalam Liang Silaon yang berada di Sokkur. Prosesi terakhir, setelah
seluruh tulang belulangnya remuk menjadi abu, abu tersebut lalu
dibungkus dengan kulit kayu gaharu (alim) oleh saudari ayahnya (amboru) untuk dimasukkan ke dalam goa kering (Liang Nakorah)
di Liang Sigundaba. Gua ini merupakan tempat pemujaan bagi leluhur
Nagur generasi awal. Selain ini ada lagi sebuah gua bernama Liang
Sigundaba Parpogeian yang menjadi lokasi pemujaan para panglima dan
hulubalang. Wafatnya Raja Nagur generasi ke 46 menjadi akhir dari
kejayaan Nagur, seiring dengan itu runtuhlah bilik-bilik tempat
penyimpanan kerangka dalam goa kering di Liang Silaon, maka kerangka
tujuh generasi sesudahnya tidak lagi ditempatkan dalam goa kering
melainkan hanya ditaruh dalam Batang Tahuran Batu. Upacara adat (horja bolon) yang diselenggarakan sekali dalam 7 tahun, terakhir diadakan di penghujung abad 19 Masehi.
Gambar
17: Liang Sigundaba atau Liang Hamateian, tempat penyimpanan abu
jenazah 46 keturunan Raja Nagur. Jalan masuk dari mulut gua sekitar
90x90 centimeter. Lorong ini sepanjang 5 meter. Setelah itu akan
ditemukan ruang gua berukuran lebih kurang 4x3 meter dengan ketinggian
ke langit-langit sekitar 2 meter, setelah itu kembali menemui lorong
sebesar 1x 90 centimeter sepanjang 6 meter.
Di
Sorba Jahei ditemukan kepingan batu nisan berbentuk trisula dekat
sebuah makam di kawasan perkebunan P.T. Good Year, terdapat ukiran pinarmombang
pada trisula ini yang melambangkan mahaguru perwujudan dari Dewa
Ganesha yang mampu mengatasi berbagai masalah di tengah masyarakat.
Ukiran bagian bawah adalah jombut uou melambangkan burung
merak yang mewakili Dewa Kumara (dewa perang dan penolak bala) yang
berarti bentuk penghormatan dan penghargaan. Bila dilihat dari
bentuknya, patung ini sepertinya lebih tua dari situs peninggalan Buddha
yang ada di Portibi Padang Lawas Utara. Di wilayah ini pada zaman
dahulu menjadi benteng pertahanan (hubuan) Kerajaan Nagur, benteng pertahanan ini dikelilingi oleh parit yang dibentuk dengan cara menaburkan serbuk racun Sibiangsa, tanah akan longsor dengan sendirinya bila ditaburi serbuk ini hanya pintu gerbang (horbangan)
yang tidak ditaburi serbuk sibiangsa. Di kawasan ini ditemukan banyak
kuburan batu berusia tua dan juga ukiran aksara kuno, aksara ini berbeda
dengan aksara Simalungun yang kita kenal sekarang ini dan kemungkinan
usia aksara ini lebih tua. Selain itu di sekitar patung dan kuburan batu
tersebut terdapat sejumlah peluru umbalang (sejenis alat pelontar yang diayun).
Kemudian
kompleks megalithik batu gajah peninggalan agama Buddha yang telah
diteliti oleh tim arkeologi Medan yang diperkirakan berasal dari abad 5
Masehi. Situs ini berada di dusun Pamatang desa Nagori Dolog Kecamatan
Dolog Panribuan Kabupaten Simalungun yang diapit dua aliran sungai, Bah
Kisat dan Bah Sipinggan. Pada masa Kerajaan Nagur, kompleks ini menjadi
tempat pelaksanaan upacara pemujaan roh leluhur. Untuk mempermudah
menuju setiap undakan maka dibuatlah tangga, bentuk-bentuk binatang
tertentu memiliki makna simbolik masing-masing. Sedangkan ceruk-ceruk di
dinding dan sekitar batu agasan diperkirakan merupakan tempat peletakan
sesaji atau persembahan. Jenis-jenis binatang yang dipahatkan adalah
binatang yang hidup di daerah sekitar situs, yaitu gajah, harimau, dan
ular. Bangunan berundak terdiri dari unsur pahatan di atas permukaan
batu berupa relief, patung, dan kubur. Di lokasi yang sama terdapat juga
situs Batu katak, Batu Ulog, Batu Losung, dan Batu Karang yang
seluruhnya berjumlah 1 buah. Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda
ditetapkan sebagai daerah larangan atau Natuurmonument pada tahun 1924,
surat bersertifikat Zelfbestuur Besluit 1924 No. 24 tanggal 16 April
1924. Pada sertifikat diterangkan luas area 0,80 ha, pihak pemerintah
telah menetapkan daerah tersebut menjadi pusat Cagar Alam dan saat ini
menjadi wilayah kerja Seksi Wilayah Konservasi II Rantau Prapat, Balai
KSDA Sumatera Utara II.
Relik-relik
peninggalan Nagur lainnya, masih dapat dijumpai berupa konstruksi tua
bekas kerajaan Nagur di Pamatang Kerasaan, yang telah dilakukan
ekskavasi oleh para arkeolog (Holt 1967:26; Tideman, 1922:51). Hasil
ekskavasi yang dilakukan Asisten Residen Simalungun J. Tideman di
sekitar Buntu Parsaturan di aliran kanan sungai Bah Sawa (daerah Panei)
arah hulu dari Panei, dia menemukan sebuah patung batu dalam sikap duduk
(patung itu kini berada di Balai Pengadilan Pematang Siantar). Demikian
juga di desa Bah Bolak juga ditemukan bidak batu kembar yang merupakan
istri dan anak raja Nagur (Holt 1967:26;Tideman 1922:51). Kedua Artefak
ini masih tersimpan rapi di Museum Simalungun di Pematang Siantar.
Keberadaan patung batu catur ini mengingatkan permainan catur yang
pernah dilakukan oleh Tuan Sahkuda Bolag dengan Tuan Batangiou dan juga
antara Tuan Silou Malaha dengan Tuan Batangiou. Adapun Tuan Sahkuda
Bolag dan Tuan Silou Malaha adalah para pembesar Kerajaan Nagur.
Penutup
Berdasarkan
uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Kerajaan Nagur adalah
salah satu kerajaan kuno yang pernah berjaya di Aceh dan Sumatra Utara
yang diperintah secara dinasti oleh golongan marga Damanik dari suku
Simalungun. Hingga hari ini belum diketahui secara pasti kapan
berdirinya kerajaan ini, namun yang pasti pada abad 6 kerajaan ini sudah
mengadakan kontak perdagangan dengan Tiongkok. Eksistensi Nagur selalu
mengemuka dari zaman ke zaman hingga masuknya era kolonialisme Belanda,
perjalanan sejarahnya secara apik direkam oleh para penjelajah dan
pengelana asing sehingga pemberitaan mengenai Nagur hingga hari ini
dapat kita ketahui. Ditambah adanya tradisi lisan mengenai Nagur yang
berkembang di kalangan masyarakat Simalungun semakin memperkokoh
keyakinan kita akan eksistensi kerajaan ini. Penulis berkeyakinan
kerajaan ini merupakan kerajaan tertua di pulau Sumatera yang berdiri
jauh sebelum lahirnya Kerajaan Sriwijaya di Sumatera Selatan. Namun,
sayangnya selama ini eksistensinya kurang begitu terekspos akibat
kurangnya penggalian arkeologis dan juga ekskavasi ke lokasi peninggalan
kerajaan tersebut. Penulis berharap tulisan ini dapat menambah
pengetahuan baru bagi mereka yang ingin mengetahui tentang Nagur dan
juga menjadi perhatian bagi para sejarawan dan arkeolog untuk menelusuri
lebih mendalam mengenai keberadaan kerajaan Nagur. Dan kiranya tulisan
ini dapat semakin membangkitkan kesadaran warga Simalungun akan
ketinggian peradaban leluhurnya. Khusus kepada pemerintah Kabupaten
Simalungun, penulis berharap dengan tulisan ini mereka semakin peduli
terhadap situs-situs Nagur yang saat ini banyak terbengkalai dan
menyadari bahwa Nagurlah yang menjadi tonggak awal terbentuknya
Kabupaten Simalungun.
Daftar Pustaka:
Battuta, Ibnu. 1957. Travels in Asia and Africa, 1325-1354. Translated by H.A.R. Gibb. London: Routledge & Kegan Paul Ltd.
Damanik, Amin dan Damanik, Jaramen. 1976. Sidamanik (Turiturianni Oppung Nai Horsik). Pamatang Siantar
Damanik, Jahutar. 1977. Jalannya Hukum Adat Simalungun. Pematang Siantar: PD Aslan.
Dunn, Rose E. 1995. Petualangan Ibnu Battuta, Seorang Musafir Muslim Abad ke-14. Edisi 1. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Groeneveldt, 2009. W.P. Nusantara Dalam Catatan Tionghoa. Jakarta: Komunitas Bambu.
Hasymy, A. 1981. Sejarah dan Berkembangnya Islam Di Indonesia (Kumpulan Prasaran Pada Seminar Di Aceh). Medan: PT. Alma'arif.
Mills, J.V.G. 1970. Ying-yai Sheng-lan: The Overall Survey of the Ocean's Shores 1433. Cambridge: Cambridge University Press.
Muljana, Slamet. 2006. Sriwijaya (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS.
Mulyana, Slamet. 2005. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, Yogyakarta: LKIS.
Parlindungan, M.O. 2007. Tuanku Rao. Yogyakarta: LKIS.
Pinto, F.M. 1692. The Voyages and Adventures of Ferdinand Mendez Pinto, (English translation by Henry Cogen). London: J. Macook.
Purba, M.D, Letkol. 1986. Lintasan Sejarah Kebudayaan Simalungun. Medan.
Purba Tambak, T.B.A. 1984. Sejarah Simalungun. Pematang Siantar: Percetakan HKBP.
Putro, Brahma. 1981. Karo Dari Jaman Ke Jaman, Jilid I. Medan: Yayasan Massa.
Sangti, Batara. 1977. Sejarah Batak. Balige: Karl Sianipar Company
Vlekke, Bernard H. M. 1943. Nusantara a History of the East Indian Archipelago. Cambridge: Harvard University Press.
Zainuddin, H.M. 1961. Tarich Aceh dan Nusantara. Medan: Pustaka Iskandar Muda.