(Sebuah Folklore Dari Simalungun Hataran)
Oleh: Masrul Purba Dasuha
Pada zaman dahulu berdiamlah suatu kelompok marga Damanik Barotbot di lingkungan Kerajaan Bandar, mereka mendiami suatu tempat bernama Taran Manik. Mereka merupakan penduduk awal sebelum kehadiran marga Damanik Bariba dari Kerajaan Siantar dan sisa-sisa keturunan Nagur. Eksistensi mereka terdesak setelah kehadiran Tuan Bonas Mahata Damanik putera Tuan Na Martuah Damanik, Raja Siantar yang mendirikan Kerajaan Bandar. Selama ini hubungan antara mereka berjalan baik dan harmonis, rakyat Barotbot patuh dan tunduk terhadap kekuasaan Raja Bandar, namun belakangan muncul pemimpin baru di tengah-tengah mereka yang sangat mendambakan kekuasaan yang dikenal dengan julukan Tuan Barotbot. Untuk menarik simpati rakyatnya, ia lalu mengusung propaganda "Damanik Rampogos adalah penduduk asli lebih berhak sebagai penguasa daripada pendatang" dan menghasut mereka agar pro kepadanya dan sama-sama melakukan makar mengkudeta Raja Bandar. Gerakan ini akhirnya kian mendapat dukungan penuh dari rakyatnya, akan tetapi konspirasi ini belum tercium oleh pihak kerajaan. Meski mereka sama-sama dari golongan marga Damanik, namun hal itu tidak menyurutkan langkah Tuan Barotbot untuk merencanakan pengkhianatan, dia bersama rakyatnya tetap tidak rela tanahnya dikuasai pihak lain. Untuk memuluskan langkahnya, ia berniat membunuh Raja Bandar. Bersama rekan-rekannya, rencana makar pun dirancang, yaitu dengan mengadakan perjamuan kepada Raja Bandar. Ia lalu menyuruh anggotanya untuk menyampaikan pesan kepada raja tentang acara perjamuan, tanpa ada kecurigaan dengan senang hati Raja Bandar menyetujui niat baik dari Tuan Barotbot. Pada perjamuan itu, Tuan Barotbot akan membubuhkan racun pada makanan yang akan disantap raja, di benaknya bila raja mati maka kekuasaan akan dengan mudah ia peroleh.
Segala persiapan untuk melangsungkan acara dilakukan dengan sungguh-sungguh berikut tipu daya untuk membunuh Raja Bandar. Tuan Barotbot memanggil seorang tukang daging (parjuhut) dan melakukan kesepakatan rahasia dengannya. Di atas jembatan Bah Pamujian, tidak begitu jauh dari istana raja (rumah bolon), Tuan Barotbot menyuruh Parjuhut agar menaburkan racun ke dalam makanan yang akan disantap raja. Ia berkata: "Tirtiri ma holi sibiangsa on hubagas panganonni rajatta ai..! sapah na ipalit ma holi baen tandani". Racun pembunuh itu bernama Sibiangsa, sejenis racun yang sangat berbahaya dan mematikan yang biasa digunakan untuk meleburkan tanah. Tanpa mereka sadari ternyata percakapan mereka didengar oleh seorang pria bermarga Saragih yang berada di bawah jembatan tersebut. Pria ini mengidap penyakit kulit yang disebut purupuruon, kala itu ia sedang membersihkan tubuhnya di sungai Bah Pamujian. Oleh penduduk setempat, pria ini digelari Si Malangu yang berarti orang yang berbau tidak sedap. Karena penyakit yang diidapnya, ia selalu dihardik dan dicerca oleh penduduk dan dianggap manusia yang tidak berharga. Setelah selesai membersihkan diri, Si Malangu lalu memberanikan diri pergi menuju istana untuk menemui Raja Bandar dan menceritakan niat jahat dari Tuan Barotbot.
Sesampainya di halaman istana, Si Malangu langsung dihalau oleh para pengawal istana, kehadirannya menimbulkan kemarahan mereka, namun mereka tidak sampai memukulnya. Si Malangu tetap tidak menyerah, ia terus saja memohon agar diperkenankan bertemu dengan raja. Para pengawal lalu bertanya padanya: “Lahou mangaha do ho hujon o Malangu? Hambus ko hunjon, ulang dohor-dohor ho hu rumah bolon on!". Si Malangu menjawab: "Lahou manjuppahi rajatta do au lo ambia". Para pengawal tersebut tetap saja melarang dan menghalaunya dan berkata: "Babahmin ma, lahou manjuppahi raja nim, ise gakni ho ase pag ho manjuppahi raja? Ulang be buei hatamu ijin, hambus ma ho hunjon Malangu!... Sedo ijon iananmu, ulang soppat hutoppaskon holi babahmin". Si Malangu tetap bersikeras dan tidak mau mengindahkan larangan mereka. Mendengar keributan di luar, sang raja lantas memanggil salah seorang pengawal untuk memberitahukan keadaan yang terjadi, pengawal lalu berkata: "Amba Janami, dong si Malangu i balui. Nini gan lahou pajuppah pakon Janami, dong gan na porlu lahou sahapkononni". Raja pun menjawab: "Anggo sonai suruh ma ia hubagas", pengawal tersebut akhirnya memperkenankan Si Malangu untuk masuk. dengan menundukkan tubuhnya perlahan Si Malangu menaiki tangga istana menuju ke hadapan sang raja sembari bersimpuh. "Aha do nai na mambaen ho ase roh kujon ale Malangu?" tanya raja. "Amba ale janami 3x... lang janami... lang", sahut Si Malangu. Raja kembali bertanya: “Patugah ma ale Malangu! Ulang pala mabiar ho. Aha do nai na lahou patugahonmu bakku?". Dengan diliputi rasa takut, ia terdiam sejenak dan termangu-mangu sambil bersimpuh sembari berkata: "Amba ale janami 3x..., sonon ge ale Janami, sanggah itoruhni hitei ai au paliaskon akkulakku, hutangar Tuan Barotbot lahou pamanganhon Janami pakon Sibiangsa". Mendengar ucapan Si Malangu, sang raja sangat terkejut namun ia tidak panik karena ia menganggap itu hanya omong kosong Si Malangu saja. Sang raja lalu berkata: "Ai ra dong na pag mambaen sonai bakku lo ambia...? Seng tongon ai ambia". Si malangu kembali meyakinkan sang raja dan berkata: "Amba ale Janami 3 x, tongon do ai ale Janami, tongon do ai.... ale Janami”. Ia menjelaskan: "Sapah na ipalit ma holi tandani panganon na inahi sibiangsa ai, ale Janami". Raja pun mulai yakin meski sangat terkejut, akan tetapi ia berusaha untuk tidak panik. "Tupa ma bai tugahtugahmai o Malangu, anggo sonai mulak ma ho!", ujar raja kepada si Malangu.
Si Malangu dengan menunduk mengundurkan diri dari hadapan Raja Bandar. Karena kuatir akan keselamatannya, ia lalu pergi menjauh ke dalam hutan. Sang raja lalu bertitah agar penjagaan di istana lebih diperketat, para hulubalang pun turun memeriksa kesiapan dari para pengawal dan prajurit bagian pengamanan. Bersama dengan para pembesar kerajaan (Harajaan), yaitu Tuan Nagodang, Tuan Rumah Suah, dan Tuan Kahaha serta para Parbapaan Bandar yaitu Tuan Bandar Sahkuda, Tuan Mariah Bandar, Tuan Naga Bandar, dan Tuan Bandar Tongah. Sang raja lalu menceritakan kisah yang didengarnya dari Si Malangu mengenai rencana jahat dari Tuan Barotbot. Mereka sangat terkejut dan sama sekali tak menyangka Tuan Barotbot berani melakukan itu. Mereka lalu menganjurkan agar sang raja tetap saja mengikuti jamuan makan yang ditawarkannya untuk membuktikan kebenaran cerita dari Si Malangu. Raja pun menyetujuinya dan meminta mereka agar berwaspada akan berbagai kemungkinan ancaman yang akan terjadi. Waktu perjamuan makan pun sudah dekat,
Tuan Barotbot bersama para pengawalnya dari kampung barotbot bergegas menuju ke istana Raja Bandar yang berjarak sekitar 15 km dari kediaman mereka. Sembari menanti kehadiran Tuan Barotbot, di istana sudah berkumpul para pembesar kerajaan, mulai dari Harajaan, Raja Goraha, Parbapaan, Partuanon, Pangulu, Guru Huta, Puanglima, Parsaholat, Gamot, dan keluarga kerajaan seperti puang bolon, panak boru, dan para dayang-dayang. Kerumunan rakyat bandar memadati halaman istana raja bandar untuk menyaksikan acara tersebut. Tidak lama kemudian, Tuan Barotbot pun tiba bersama pasukannya, pihak kerajaan lalu menyambut kedatangan mereka seperti biasa. Acara perjamuan pun siap untuk dilaksanakan, penjagaan dan kewaspadaan para pengawal istana juga sudah disiagakan. Berbagai jenis makanan dan minuman sudah tersaji, tukang daging yang bertugas menyiapkan makanan yang mengandung racun sibiangsa itu juga sudah menempatkannya di meja raja.
Kini waktunya untuk menikmati hidangan, Raja Bandar bersama Tuan Barotbot duduk satu meja, Tuan Barotbot lalu mempersilakan raja agar mulai mencicipi makanan sembari memutar meja agar piring yang mengandung makanan beracun tersebut berhenti di depan Raja Bandar. tidak mau kalah dengan Tuan Barotbot, raja yang sudah mengetahui niat jahatnya berusaha menghindari piring makanan yang mengandung racun tersebut. Ia bisa mengenalinya dengan tanda yang ditaruh di bawah piring. Demikian juga Tuan Barotbot, ia berusaha mengelak saat makanan itu berhenti di depannya. Demikianlah berulang-ulang makanan yang mengandung racun Sibiangsa itu selalu saja berhenti di depan Tuan Barotbot. Demi menjaga rasa malu dan takut kedoknya terungkap, makanan beracun terpaksa harus disantapnya. Racun tersebut seketika langsung bereaksi dalam tubuh Tuan Barotbot. Ia lalu mohon diri kepada sang raja hendak kembali ke kampung Barotbot. Dengan perasaan penuh rasa malu dan kecewa berat karena rencana busuknya gagal, Tuan Barotbot bersama pasukannya kembali tanpa hasil. Racun yang mestinya dimakan raja, justru malah dimakannya sendiri. Senjata pembunuh yang dibuatnya justru membunuh dirinya sendiri. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, Keadaan itulah yang menimpa tuan barotbot. Di tengah perjalanan, tubuhnya pun mulai sempoyongan, di tengah jalan racun itu dimuntahkannya, tanah tempat muntahan tersebut meledak dan membentuk lubang besar. Dalam kondisi demikian, ia tetap berusaha melanjutkan perjalanan, hingga mendekati kediamannya ia kembali memuntahkan racun itu dan kembali membentuk lubang besar. Tidak lama kemudian, ia pun terjerembab jatuh dari kudanya ke dalam lubang tempat muntahan tadi dan meninggal dalam keadaan yang sangat mengenaskan. Para pengawalnya tidak mampu berbuat apa-apa atas kematian pemimpin mereka, mereka hanya bisa bersedih dan menyesali tindakan mereka yang terlalu gegabah sehingga akhirnya merenggut nyawa satu-satunya pemimpin mereka.
Tidak lama kemudian, kabar kematian Tuan Barotbot terdengar sampai ke telinga Raja Bandar. Dengan penuh rasa syukur, sang raja mengucapkan rasa syukur kepada para dewa karena sudah melindunginya dari para pengkhianat. Para pembesar dan keluarga kerajaan juga sangat bahagia atas keselamatan raja mereka. Raja lalu menyuruh para pengawalnya agar membawa Si Malangu menghadapnya, untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya karena telah membongkar rencana busuk dari Tuan Barotbot. "Anggo nang podas ipatugah ko bakku tahitahini Tuan Barotbot ai domma matei au ambia", ucap raja bandar kepada Si Malangu. Atas jasanya, raja lalu mengangkatnya sebagai pejabat kerajaan yang baru bergelar Tuan Si Malangu yang posisinya langsung di bawah raja. Berkat kejadian ini statusnya pun terangkat, karirnya pun menanjak dengan cepat. Kehidupannya perlahan membaik dan penyakitnya disembuhkan oleh tabib kerajaan. Sejak itu, ia tidak lagi jadi cemoohan masyarakat, tetapi jadi sosok yang disegani. Raja kemudian bersama dengan para pembesar kerajaan berembuk membahas tindakan pengkhianatan yang telah dilakukan Tuan Barotbot, hukuman apa yang pantas dijatuhkan kepada rakyat Barotbot, sebab gerakan pengkhianatan ini mendapat dukungan dari rakyatnya. Raja Bandar yang masih menyimpan kemarahan, lalu memutuskan untuk menghukum mati mereka semua. Tuan Nagodang menolak keputusan tersebut, karena dinilai tidak berperikemanusiaan. Ia lalu menyarankan agar rakyat Barotbot dikurung dalam sebuah kandang besar bersama dengan kerbau liar. Hukuman itu dianggap lebih tepat, dalam kandang itu mereka akan beradu dengan sekumpulan kerbau, mereka akan berjuang untuk tetap hidup. Bagi yang mampu menyelamatkan diri akan hidup dan bagi yang tak mampu akan mati. Bagi mereka yang hidup dibiarkan bebas, Raja Bandar pun menyetujui hukuman tersebut.
Ia memerintahkan kepada panglima kerajaan agar mengatur rencana pelaksanaan hukuman. Sejumlah pasukan berkuda kemudian bergegas menuju kampung Barotbot, kandang berukuran besar pun dibuat. Dengan disaksikan Raja Bandar, rakyat Barotbot lalu diarak masuk ke dalamnya. Di dalam kandang tersebut mereka saling beradu dengan sekumpulan kerbau liar. Satu persatu rakyat Barotbot mati terbunuh oleh keganasan kerbau-kerbau tersebut, sebagian ada yang berhasil selamat lalu melarikan diri. Setelah itu pemukiman rakyat Barotbot pun dibumihanguskan. Melihat peristiwa itu, Raja Bandar merasa puas, kemarahannya mulai reda. Ia bersama para pembesar lalu meninggalkan tempat itu dan kembali ke istana. Kampung Taran Manik kini sudah tidak ada lagi dan sudah berubah jadi area perladangan, tidak jauh dari tempat ini terdapat kampung bernama Pamorhatan. Mereka yang selamat dari hukuman berpencar ke berbagai tempat dan terus menyimpan dendam terhadap Raja Bandar karena telah membunuh keluarga dan saudara mereka. Dendam ini terus menerus melekat hingga anak cucu mereka. Hingga meletusnya Revolusi Sosial 3 Maret 1946, di antara keturunan rakyat Barotbot ini ada beberapa orang yang ikut terlibat aksi pembunuhan dan penculikan keluarga Raja Bandar. Menurut mereka pada saat itulah waktu yang tepat untuk membalaskan dendam leluhur mereka. Salah seorang keturunan mereka bernama Bahrum Damanik pernah menjadi Walikota Tanjung Balai (1975-1980), sementara dari keturunan Si Malangu ada yang pernah menjadi anggota DPRD Sumatera Utara dan juga anggota DPRD Simalungun.
Narasumber:
Tuan Kaliasan Damanik Bariba putera Tuan Satia Bisara Damanik Bariba (Nagodang Bandar).
Oleh: Masrul Purba Dasuha
Pada zaman dahulu berdiamlah suatu kelompok marga Damanik Barotbot di lingkungan Kerajaan Bandar, mereka mendiami suatu tempat bernama Taran Manik. Mereka merupakan penduduk awal sebelum kehadiran marga Damanik Bariba dari Kerajaan Siantar dan sisa-sisa keturunan Nagur. Eksistensi mereka terdesak setelah kehadiran Tuan Bonas Mahata Damanik putera Tuan Na Martuah Damanik, Raja Siantar yang mendirikan Kerajaan Bandar. Selama ini hubungan antara mereka berjalan baik dan harmonis, rakyat Barotbot patuh dan tunduk terhadap kekuasaan Raja Bandar, namun belakangan muncul pemimpin baru di tengah-tengah mereka yang sangat mendambakan kekuasaan yang dikenal dengan julukan Tuan Barotbot. Untuk menarik simpati rakyatnya, ia lalu mengusung propaganda "Damanik Rampogos adalah penduduk asli lebih berhak sebagai penguasa daripada pendatang" dan menghasut mereka agar pro kepadanya dan sama-sama melakukan makar mengkudeta Raja Bandar. Gerakan ini akhirnya kian mendapat dukungan penuh dari rakyatnya, akan tetapi konspirasi ini belum tercium oleh pihak kerajaan. Meski mereka sama-sama dari golongan marga Damanik, namun hal itu tidak menyurutkan langkah Tuan Barotbot untuk merencanakan pengkhianatan, dia bersama rakyatnya tetap tidak rela tanahnya dikuasai pihak lain. Untuk memuluskan langkahnya, ia berniat membunuh Raja Bandar. Bersama rekan-rekannya, rencana makar pun dirancang, yaitu dengan mengadakan perjamuan kepada Raja Bandar. Ia lalu menyuruh anggotanya untuk menyampaikan pesan kepada raja tentang acara perjamuan, tanpa ada kecurigaan dengan senang hati Raja Bandar menyetujui niat baik dari Tuan Barotbot. Pada perjamuan itu, Tuan Barotbot akan membubuhkan racun pada makanan yang akan disantap raja, di benaknya bila raja mati maka kekuasaan akan dengan mudah ia peroleh.
Segala persiapan untuk melangsungkan acara dilakukan dengan sungguh-sungguh berikut tipu daya untuk membunuh Raja Bandar. Tuan Barotbot memanggil seorang tukang daging (parjuhut) dan melakukan kesepakatan rahasia dengannya. Di atas jembatan Bah Pamujian, tidak begitu jauh dari istana raja (rumah bolon), Tuan Barotbot menyuruh Parjuhut agar menaburkan racun ke dalam makanan yang akan disantap raja. Ia berkata: "Tirtiri ma holi sibiangsa on hubagas panganonni rajatta ai..! sapah na ipalit ma holi baen tandani". Racun pembunuh itu bernama Sibiangsa, sejenis racun yang sangat berbahaya dan mematikan yang biasa digunakan untuk meleburkan tanah. Tanpa mereka sadari ternyata percakapan mereka didengar oleh seorang pria bermarga Saragih yang berada di bawah jembatan tersebut. Pria ini mengidap penyakit kulit yang disebut purupuruon, kala itu ia sedang membersihkan tubuhnya di sungai Bah Pamujian. Oleh penduduk setempat, pria ini digelari Si Malangu yang berarti orang yang berbau tidak sedap. Karena penyakit yang diidapnya, ia selalu dihardik dan dicerca oleh penduduk dan dianggap manusia yang tidak berharga. Setelah selesai membersihkan diri, Si Malangu lalu memberanikan diri pergi menuju istana untuk menemui Raja Bandar dan menceritakan niat jahat dari Tuan Barotbot.
Sesampainya di halaman istana, Si Malangu langsung dihalau oleh para pengawal istana, kehadirannya menimbulkan kemarahan mereka, namun mereka tidak sampai memukulnya. Si Malangu tetap tidak menyerah, ia terus saja memohon agar diperkenankan bertemu dengan raja. Para pengawal lalu bertanya padanya: “Lahou mangaha do ho hujon o Malangu? Hambus ko hunjon, ulang dohor-dohor ho hu rumah bolon on!". Si Malangu menjawab: "Lahou manjuppahi rajatta do au lo ambia". Para pengawal tersebut tetap saja melarang dan menghalaunya dan berkata: "Babahmin ma, lahou manjuppahi raja nim, ise gakni ho ase pag ho manjuppahi raja? Ulang be buei hatamu ijin, hambus ma ho hunjon Malangu!... Sedo ijon iananmu, ulang soppat hutoppaskon holi babahmin". Si Malangu tetap bersikeras dan tidak mau mengindahkan larangan mereka. Mendengar keributan di luar, sang raja lantas memanggil salah seorang pengawal untuk memberitahukan keadaan yang terjadi, pengawal lalu berkata: "Amba Janami, dong si Malangu i balui. Nini gan lahou pajuppah pakon Janami, dong gan na porlu lahou sahapkononni". Raja pun menjawab: "Anggo sonai suruh ma ia hubagas", pengawal tersebut akhirnya memperkenankan Si Malangu untuk masuk. dengan menundukkan tubuhnya perlahan Si Malangu menaiki tangga istana menuju ke hadapan sang raja sembari bersimpuh. "Aha do nai na mambaen ho ase roh kujon ale Malangu?" tanya raja. "Amba ale janami 3x... lang janami... lang", sahut Si Malangu. Raja kembali bertanya: “Patugah ma ale Malangu! Ulang pala mabiar ho. Aha do nai na lahou patugahonmu bakku?". Dengan diliputi rasa takut, ia terdiam sejenak dan termangu-mangu sambil bersimpuh sembari berkata: "Amba ale janami 3x..., sonon ge ale Janami, sanggah itoruhni hitei ai au paliaskon akkulakku, hutangar Tuan Barotbot lahou pamanganhon Janami pakon Sibiangsa". Mendengar ucapan Si Malangu, sang raja sangat terkejut namun ia tidak panik karena ia menganggap itu hanya omong kosong Si Malangu saja. Sang raja lalu berkata: "Ai ra dong na pag mambaen sonai bakku lo ambia...? Seng tongon ai ambia". Si malangu kembali meyakinkan sang raja dan berkata: "Amba ale Janami 3 x, tongon do ai ale Janami, tongon do ai.... ale Janami”. Ia menjelaskan: "Sapah na ipalit ma holi tandani panganon na inahi sibiangsa ai, ale Janami". Raja pun mulai yakin meski sangat terkejut, akan tetapi ia berusaha untuk tidak panik. "Tupa ma bai tugahtugahmai o Malangu, anggo sonai mulak ma ho!", ujar raja kepada si Malangu.
Si Malangu dengan menunduk mengundurkan diri dari hadapan Raja Bandar. Karena kuatir akan keselamatannya, ia lalu pergi menjauh ke dalam hutan. Sang raja lalu bertitah agar penjagaan di istana lebih diperketat, para hulubalang pun turun memeriksa kesiapan dari para pengawal dan prajurit bagian pengamanan. Bersama dengan para pembesar kerajaan (Harajaan), yaitu Tuan Nagodang, Tuan Rumah Suah, dan Tuan Kahaha serta para Parbapaan Bandar yaitu Tuan Bandar Sahkuda, Tuan Mariah Bandar, Tuan Naga Bandar, dan Tuan Bandar Tongah. Sang raja lalu menceritakan kisah yang didengarnya dari Si Malangu mengenai rencana jahat dari Tuan Barotbot. Mereka sangat terkejut dan sama sekali tak menyangka Tuan Barotbot berani melakukan itu. Mereka lalu menganjurkan agar sang raja tetap saja mengikuti jamuan makan yang ditawarkannya untuk membuktikan kebenaran cerita dari Si Malangu. Raja pun menyetujuinya dan meminta mereka agar berwaspada akan berbagai kemungkinan ancaman yang akan terjadi. Waktu perjamuan makan pun sudah dekat,
Tuan Barotbot bersama para pengawalnya dari kampung barotbot bergegas menuju ke istana Raja Bandar yang berjarak sekitar 15 km dari kediaman mereka. Sembari menanti kehadiran Tuan Barotbot, di istana sudah berkumpul para pembesar kerajaan, mulai dari Harajaan, Raja Goraha, Parbapaan, Partuanon, Pangulu, Guru Huta, Puanglima, Parsaholat, Gamot, dan keluarga kerajaan seperti puang bolon, panak boru, dan para dayang-dayang. Kerumunan rakyat bandar memadati halaman istana raja bandar untuk menyaksikan acara tersebut. Tidak lama kemudian, Tuan Barotbot pun tiba bersama pasukannya, pihak kerajaan lalu menyambut kedatangan mereka seperti biasa. Acara perjamuan pun siap untuk dilaksanakan, penjagaan dan kewaspadaan para pengawal istana juga sudah disiagakan. Berbagai jenis makanan dan minuman sudah tersaji, tukang daging yang bertugas menyiapkan makanan yang mengandung racun sibiangsa itu juga sudah menempatkannya di meja raja.
Kini waktunya untuk menikmati hidangan, Raja Bandar bersama Tuan Barotbot duduk satu meja, Tuan Barotbot lalu mempersilakan raja agar mulai mencicipi makanan sembari memutar meja agar piring yang mengandung makanan beracun tersebut berhenti di depan Raja Bandar. tidak mau kalah dengan Tuan Barotbot, raja yang sudah mengetahui niat jahatnya berusaha menghindari piring makanan yang mengandung racun tersebut. Ia bisa mengenalinya dengan tanda yang ditaruh di bawah piring. Demikian juga Tuan Barotbot, ia berusaha mengelak saat makanan itu berhenti di depannya. Demikianlah berulang-ulang makanan yang mengandung racun Sibiangsa itu selalu saja berhenti di depan Tuan Barotbot. Demi menjaga rasa malu dan takut kedoknya terungkap, makanan beracun terpaksa harus disantapnya. Racun tersebut seketika langsung bereaksi dalam tubuh Tuan Barotbot. Ia lalu mohon diri kepada sang raja hendak kembali ke kampung Barotbot. Dengan perasaan penuh rasa malu dan kecewa berat karena rencana busuknya gagal, Tuan Barotbot bersama pasukannya kembali tanpa hasil. Racun yang mestinya dimakan raja, justru malah dimakannya sendiri. Senjata pembunuh yang dibuatnya justru membunuh dirinya sendiri. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, Keadaan itulah yang menimpa tuan barotbot. Di tengah perjalanan, tubuhnya pun mulai sempoyongan, di tengah jalan racun itu dimuntahkannya, tanah tempat muntahan tersebut meledak dan membentuk lubang besar. Dalam kondisi demikian, ia tetap berusaha melanjutkan perjalanan, hingga mendekati kediamannya ia kembali memuntahkan racun itu dan kembali membentuk lubang besar. Tidak lama kemudian, ia pun terjerembab jatuh dari kudanya ke dalam lubang tempat muntahan tadi dan meninggal dalam keadaan yang sangat mengenaskan. Para pengawalnya tidak mampu berbuat apa-apa atas kematian pemimpin mereka, mereka hanya bisa bersedih dan menyesali tindakan mereka yang terlalu gegabah sehingga akhirnya merenggut nyawa satu-satunya pemimpin mereka.
Tidak lama kemudian, kabar kematian Tuan Barotbot terdengar sampai ke telinga Raja Bandar. Dengan penuh rasa syukur, sang raja mengucapkan rasa syukur kepada para dewa karena sudah melindunginya dari para pengkhianat. Para pembesar dan keluarga kerajaan juga sangat bahagia atas keselamatan raja mereka. Raja lalu menyuruh para pengawalnya agar membawa Si Malangu menghadapnya, untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya karena telah membongkar rencana busuk dari Tuan Barotbot. "Anggo nang podas ipatugah ko bakku tahitahini Tuan Barotbot ai domma matei au ambia", ucap raja bandar kepada Si Malangu. Atas jasanya, raja lalu mengangkatnya sebagai pejabat kerajaan yang baru bergelar Tuan Si Malangu yang posisinya langsung di bawah raja. Berkat kejadian ini statusnya pun terangkat, karirnya pun menanjak dengan cepat. Kehidupannya perlahan membaik dan penyakitnya disembuhkan oleh tabib kerajaan. Sejak itu, ia tidak lagi jadi cemoohan masyarakat, tetapi jadi sosok yang disegani. Raja kemudian bersama dengan para pembesar kerajaan berembuk membahas tindakan pengkhianatan yang telah dilakukan Tuan Barotbot, hukuman apa yang pantas dijatuhkan kepada rakyat Barotbot, sebab gerakan pengkhianatan ini mendapat dukungan dari rakyatnya. Raja Bandar yang masih menyimpan kemarahan, lalu memutuskan untuk menghukum mati mereka semua. Tuan Nagodang menolak keputusan tersebut, karena dinilai tidak berperikemanusiaan. Ia lalu menyarankan agar rakyat Barotbot dikurung dalam sebuah kandang besar bersama dengan kerbau liar. Hukuman itu dianggap lebih tepat, dalam kandang itu mereka akan beradu dengan sekumpulan kerbau, mereka akan berjuang untuk tetap hidup. Bagi yang mampu menyelamatkan diri akan hidup dan bagi yang tak mampu akan mati. Bagi mereka yang hidup dibiarkan bebas, Raja Bandar pun menyetujui hukuman tersebut.
Ia memerintahkan kepada panglima kerajaan agar mengatur rencana pelaksanaan hukuman. Sejumlah pasukan berkuda kemudian bergegas menuju kampung Barotbot, kandang berukuran besar pun dibuat. Dengan disaksikan Raja Bandar, rakyat Barotbot lalu diarak masuk ke dalamnya. Di dalam kandang tersebut mereka saling beradu dengan sekumpulan kerbau liar. Satu persatu rakyat Barotbot mati terbunuh oleh keganasan kerbau-kerbau tersebut, sebagian ada yang berhasil selamat lalu melarikan diri. Setelah itu pemukiman rakyat Barotbot pun dibumihanguskan. Melihat peristiwa itu, Raja Bandar merasa puas, kemarahannya mulai reda. Ia bersama para pembesar lalu meninggalkan tempat itu dan kembali ke istana. Kampung Taran Manik kini sudah tidak ada lagi dan sudah berubah jadi area perladangan, tidak jauh dari tempat ini terdapat kampung bernama Pamorhatan. Mereka yang selamat dari hukuman berpencar ke berbagai tempat dan terus menyimpan dendam terhadap Raja Bandar karena telah membunuh keluarga dan saudara mereka. Dendam ini terus menerus melekat hingga anak cucu mereka. Hingga meletusnya Revolusi Sosial 3 Maret 1946, di antara keturunan rakyat Barotbot ini ada beberapa orang yang ikut terlibat aksi pembunuhan dan penculikan keluarga Raja Bandar. Menurut mereka pada saat itulah waktu yang tepat untuk membalaskan dendam leluhur mereka. Salah seorang keturunan mereka bernama Bahrum Damanik pernah menjadi Walikota Tanjung Balai (1975-1980), sementara dari keturunan Si Malangu ada yang pernah menjadi anggota DPRD Sumatera Utara dan juga anggota DPRD Simalungun.
Narasumber:
Tuan Kaliasan Damanik Bariba putera Tuan Satia Bisara Damanik Bariba (Nagodang Bandar).
0 komentar:
Post a Comment