Oleh: Masrul Purba Dasuha, S.Pd
Purba
merupakan salah satu marga dalam suku Karo yang berinduk pada marga
Karokaro, marga ini membedakan diri dengan marga Purba yang ada di
Simalungun maupun di Toba, meski asal usul leluhurnya dahulu datang dari
Simalungun, namun di antara keturunannya sudah banyak yang tidak
mengetahui hal itu dan inilah yang menyebabkan mereka tidak merasa punya
hubungan dengan Purba Simalungun apalagi dengan Purba Toba. Marga
inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya kampung Kaban Jahe dan
Berastagi serta kampung-kampung lain di sekitarnya. Di antara
keturunan Purba Karo yang terkenal adalah Bakal Purba yang bergelar Sibayak Pa
Mbelgah dan seorang lagi yaitu Sibayak Pa Pelita, keduanya berasal dari keturunan Purba kesain Rumah Kaban
Jahe, selain mereka ada Narsar Purba seorang ahli catur pada zaman
kolonial dan Batiren Purba yang merupakan kepala sekolah pertama orang
Karo di Bataksche Timmer Winkel di Kabanjahe pada tahun 1933. Perlu
diketahui bahwa Sibayak Pa Pelita dahulu masih sering berkunjung ke
Pamatang Purba, karena ia masih mengingat tanah leluhurnya di
Simalungun. Akibat sering berkunjung ke Simalungun, ternyata menjadi
jalan baginya bertemu dengan pendamping hidupnya yaitu salah seorang
puteri Simalungun boru Purba Pakpak, yang sebenarnya adalah saudari semarganya
sendiri.
.
Gambar 1: Pa Mbelgah Purba sekitar tahun 1910-1918
Di daerah Berastagi tanah Karo sekarang terdapat sebuah kampung bernama Buluh Duri, di tempat ini terdapat tujuh mata air bening yang tidak jauh dari Lau
Gendek dan masih dianggap keramat oleh masyarakat sekitar.
Menurut cerita yang berkembang, di lokasi ini pada
zaman dahulu merupakan tempat pembuangan seorang putra raja. Alkisah
pada zaman dahulu, di Simalungun terdapat sebuah kerajaan bernama
Purba dengan rajanya bernama Tuan Baringin marga Purba Pakpak. Semenjak
putera bungsunya lahir, raja ini sering menderita sakit, sudah banyak dukun
yang mencoba mengobatinya namun penyakitnya tidak kunjung sembuh.
Akhirnya didatangkanlah tujuh orang dukun terkenal sangat sakti berasal
dari negeri Pakpak yang bergelar Guru Pakpak Pitu Sedalanen untuk
mengobatinya. Dengan menggunakan kesaktian mereka, para Guru Pakpak ini
kemudian melakukan pemeriksaan. Dari hasil pemeriksaan, diketahui bahwa
putera bungsu raja adalah sumber penyakit dan malapetaka yang terjadi
selama ini, dalam istilah Simalungun disebut Anak Panunda. Untuk
menghindari malapetaka yang berkepanjangan, sang raja lalu memerintahkan
agar putera bungsunya itu segera dibunuh.
Namun,
para Guru Pakpak tersebut berpura-pura memenuhi perintah raja, mereka
lalu pergi menyelamatkan dan membawanya dalam sebuah keranjang ke tengah hutan belantara. Mereka kemudian mendirikan sebuah gubuk kecil dan meletakkan keranjang
tersebut di dalamnya, pada keranjang itu terdapat bambu kecil yang bertuliskan "Anak ini
adalah anak Raja Purba dari Simalungun". Setelah itu, para Guru Pakpak meninggalkan putera raja itu sendirian. Tetapi
sebelum mereka pergi, para Guru Pakpak ini lebih dahulu meletakkan
panah, pedang, dan pisau di gubuk tersebut sebagai bekal bagi putera
raja tersebut setelah beranjak remaja sebagai alat perlindungan. Mereka
juga menancapkan tongkat-tongkat sakti mereka di tujuh tempat di
sekitar gubuk. Dari ketujuh tempat itu terpancarlah tujuh mata air bening.
Dengan kesaktian mereka, Guru Pakpak Pitu Sedalanen menumbuhkan pula
rumpun bambu berduri mengelilingi gubuk sehingga tempat ini dinamakan Buluh Duri.
Gambar 2: Bakal Purba yang bergelar Pa Mbelgah, salah seorang Sibayak Kabanjahe
Tanpa mereka sadari, hutan
belantara tersebut ternyata masuk area perladangan milik marga Karokaro
Kaban, saat ini bernama Raja Berneh dekat Raya Berastagi. Melihat seorang bayi di ladangnya, marga Kaban ini sangat terkejut,
ia pun merasa anak ini adalah anugerah Tuhan baginya yang barangkali
kelak bisa mendatangkan rezeki. Anak itu lalu diangkat menjadi anaknya
kebetulan dia tidak memiliki anak laki-laki. Setelah beberapa tahun putera
Raja Purba berada di tempat pengasingan, ia pun tumbuh menjadi seorang
pemuda yang tampan dan gagah berani. Pada suatu hari, dia pergi berburu dengan bersenjatakan sebuah sumpit, dalam
perburuan itu ia melihat seekor burung yang bulunya sangat cantik
berwarna-warni. Ia lalu mengejar burung itu, namun burung itu selalu mampu mengelak ketika ia ingin menangkapnya. Burung itu akhirnya menghantarkannya bertemu dengan seorang gadis cantik jelita yang sedang duduk dekat sebuah mata air sambil mengeringkan
rambutnya yang terurai panjang. Pemuda itu sangat terkejut melihat seorang gadis cantik berada sendirian di tengah hutan, namun di balik itu dalam hatinya terselip perasaan gembira karena sudah bertahun-tahun lamanya tidak bertemu dengan sesama manusia. Dengan hati berdebar-debar, ia lalu menghampiri gadis itu sembari menyapanya.
Sambil
tersenyum gadis itu menjawab sapaannya dengan sebuah pertanyaan, ia ingin mengetahui apa yang melatarbelakangi pemuda itu bisa sampai ke tempatnya. Dengan penuh kelembutan, pemuda itu pun menjelaskan maksud
kedatangannya karena mengejar seekor burung. Selanjutnya, gadis itu menanyakan banyak hal
mengenai dirinya. Semua pertanyaan gadis itu dijawab derngan baik oleh si pemuda.
Dengan demikian sang gadis akhirnya mengetahui bahwa pemuda tersebut berasal dari Simalungun dan putera seorang raja bermarga Purba. Setelah cukup lama berduaan, gadis itu lantas mengajaknya menuju ke kediamannya. Tempat tinggal gadis itu berada dalam sebuah gua besar yang letaknya tidak jauh dari mata air tempat
gadis itu ditemukan. Saat berada di pintu gua, pemuda itu sangat terkejut dan hendak melarikan diri karena terdapat seekor ular besar di hadapannya. Gadis itu lalu menahannya agar tidak pergi meninggalkan gua dan ia kembali terkejut ketika menyaksikan burung yang beberapa waktu lalu dikejarnya sedang bertengger di dekat ular itu.
Gambar 3: Keluarga besar Pa Mbelgah Purba pada 21 Februari 1918
Keheranan pemuda itu kian bertambah ketika mendengar ular itu berkata mempersilakannya masuk, akhirnya ia memberanikan diri memasuki gua tempat kediaman mereka. Gadis itu pun menghidangkan aneka buah-buahan untuk santapan sang pemuda. Karena ular dan burung itu terus
memperhatikannya, maka ia menjadi kebingungan. Melihat hal itu gadis itu lalu memberitahukan kepadanya bahwa ular besar itu adalah ibunya
dan burung yang bulunya berwarna-warni adalah ayahnya. Selanjutnya,
dijelaskan pula oleh si gadis bahwa ayahnya yang berupa burung itu
memang sengaja memancing perhatian si pemuda agar terus mengejarnya
sehingga keduanya dapat bertemu.
Mendengar
penjelasannya, pemuda itu bertanya mengenai tujuan ayahnya berbuat demikian. Gadis itu menjawab bahwa kedua orang tuanya ingin agar puterinya bisa menikah dengan pemuda itu. Lantas gadis itu pun bertanya pada sang pemuda, apakah ia bersedia
memenuhi keinginan kedua orangtuanya. Si pemuda memenuhi keinginannya, tidak lama kemudian keduanya pun menikah. Setelah
itu, sang mertua lalu menyuruh mereka agar pergi mencari tempat menetap
di perkampungan manusia. Pemuda tersebut lalu mengajak
puteri ular itu menemui ayah angkatnya marga Kaban, ayahnya sangat
gembira melihatnya telah memiliki pendamping, ia lalu memberikannya
sebidang tanah kepada mereka sebagai tempat tinggal. Posisi tanah yang menjadi kediaman mereka berada di sebelah hilir
kampung marga Kaban, oleh sebab itu dinamakan Kaban Jahe. Ia pun mendirikan sebuah gubuk (Karo: barungbarung) dan tinggal bersama
isterinya, puteri ular itu. Hingga kini keturunannya dipantangkan mengganggu atau membunuh ular, karena didasari keyakinan mereka tentang puteri ular tersebut.
Gambar 4: Narsar Purba, seorang ahli catur Karo pada masa kolonial,
foto ini antara tahun 1914-1919
Keturunannya kemudian mendirikan
perkampungan lainnya di sekitar kampung utama (Kaban Jahe) seperti Katepul, Samura, Ketaren,
Berhala, Sumbul, Kaban, Raya, Berastagi, Lau Gumba, Peceren, Daulu, dan
Ujung Aji. Selain itu, Lau Cih dan Pancur Batu juga termasuk kampung
yang mereka dirikan. Demikianlah asal usul Karokaro Purba di
tanah Karo di Urung
Sepuluh Dua Kuta.
Shalman Purba salah seorang keturunan Purba Rumah Kaban Jahe kepada
penulis mengatakan setelah pihak kerajaan menitahkan untuk membunuh
putera Raja Purba tersebut karena menyandang status Anak Panunda yang
kemudian berhasil diselamatkan oleh Guru Pakpak Pitu Sedalanen. Putera Raja
Purba itu kemudian diangkat menjadi murid selama 7 tahun, setelah itu
barulah ia melakukan perjalanan sendiri menuju tanah Karo dan tiba di
Deleng Singkut. Di sana ia bertemu dengan satu keluarga umang yang
memiliki seorang puteri yang cantik dan kemudian menjadi isterinya,
keduanya lalu membuka perkampungan yang dinamakan Kaban Jahe.
Menurutnya kisah tentang burung dan ular itu hanyalah cerita rekaan yang sengaja dibuat lalu disampaikan kepada semua orang yang ditemuinya termasuk kepada
keturunannya, tujuannya adalah untuk menutupi identitas sebenarnya
bahwa ia adalah keturunan langsung dari Raja Purba. Perjalanannya
mengejar seekor burung yang akhirnya mempertemukannya dengan seorang
gadis hanyalah sebuah simbol dari leluhurnya Pangultopultop yang datang
dari tanah Pakpak hingga menjadi raja di tanah Purba di Simalungun. Sementara ular
disimbolkan sebagai proses kelahiran kembali bahwa ia telah mati sebagai
Purba Pakpak di Simalungun dan terlahir kembali sebagai Purba Karo di
tanah Karo dan menyandang marga Karokaro mengikuti marga setempat yaitu
Karokaro Kaban.
Daftar Pustaka:
1. Sitepu, Tabir,
Drs. 1993. Sastra Lisan Karo. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
2. Putro, Brahma. 1981. Karo Dari Jaman Ke Jaman, Jilid I. Medan: Yasasan Massa.
3. Neumann, J.H. 1972. Sejarah Batak Karo: Sebuah Sumbangan. Jakarta: Bhratara.
4. Lubis, Pangaduan, Z. 1996. Cerita Rakyat Dari Sumatera Utara 2. Jakarta: Grasindo.