Oleh: Masrul Purba Dasuha, S.Pd
(Telah Diterbitkan Di Majalah Sauhur Edisi IX Tahun 2008)
Pengantar 
Bahasa
  Simalungun  merupakan media tutur bagi komunitas suku yang  mendiami  
beberapa daerah  di kabupaten dan kota di Sumatera Utara,  meliputi  
Kabupaten Simalungun  dan Kota Pematang Siantar sebagai wilayah   
sentral, Kabupaten Serdang  Bedagai dan Kota Tebing Tinggi, Deli   
Serdang dan Kota Lubuk Pakam,  sebagian Asahan, dan Batu Bara. Bahasa   
Simalungun sebagai bahasa ibu  memiliki peranan penting dalam memaknai  
 kepribadian orang Simalungun  atau memanifestasikan segala sesuatu yang
   berkaitan dengan Simalungun,  baik secara abstrak maupun konkrit.
Petrus
  Voorhoeve (1955) dalam  uraiannya tentang bahasa Batak  menyatakan,  
bahasa Batak dibagi ke dalam 2  rumpun, yaitu rumpun utara  (Pakpak,  
Karo, dan Alas) dan selatan (Toba  dan Mandailing-Angkola).  Dari kedua 
 rumpun itu, bahasa Simalungun tidak  termasuk ke dalam salah  satunya, 
 tetapi ia, jelas Voorhoeve, berdiri di  antara keduanya, utara  maupun 
 selatan. Pada penelitian lanjutan yang  dilakukan Adelaar (1981),  ia  
menyatakan bahasa Simalungun sejatinya  berasal dari rumpun selatan,   
yang kemudian memisahkan diri (tidak  diketahui penyebabnya) sebelum   
bahasa Toba dan Mandailing-Angkola  terbentuk. Dari uraian ini penulis  
 menyimpulkan bahasa Simalungun lebih  tua usianya dibanding ketiga   
bahasa tersebut, terbukti bahasa Simalungun  telah berwujud sebelum ketiga bahasa Batak lainnya terbentuk. Selaras dengan itu, Uli Kozok  (1999: 14) menyatakan  
 jika ditilik dari persebaran bahasa dan aksara  Batak, bahasa dan 
aksara   Simalungun menurutnya jauh lebih tua dibanding  bahasa dan 
aksara  Batak  yang lain.
Dalam perkembangannya bahasa 
 Simalungun terus  mengalami dinamisasi  seiring dengan dinamika hidup 
yang  dilalui  masyarakat Simalungun.  Beragam fenomena hidup dan 
pergolakan  budaya  yang berkepanjangan mulai  dari konflik sosial, 
perpindahan  penduduk  (migrasi), pernikahan, dan  proses asimilasi 
mengakibatkan  pergeseran  demi pergeseran terjadi  secara 
berangsur-angsur tanpa ada  unsur  kesengajaan. Konflik sosial di  
Simalungun pada zaman dahulu  bukanlah  suatu keniscayaan, kenyataan  
sejarah telah membuktikan Kerajaan  Raya  pada masa Raja Rondahaim  
Saragih dengan bantuan Partahi pernah   memerangi Kerajaan Sidamanik  
hingga menghanguskan jasad Raja Itok (Tuan Na  Hu  Langit) dan menewaskan  
sejumlah kerabat lainnya. Seorang penyumpit   burung (pangultop) dari  
tanah Pakpak dengan kecerdikannya berhasil   merebut tahta Pertuanan  
Purba dari tangan Tuan Simalobong Purba Dasuha.  Pertikaian sesama 
saudara ditunjukkan   oleh Raja Rubun kepada saudaranya Tuan Suha Bolag, juga 
perselisihan antara  Purba Sidadolog dengan Sidagambir.
Faktor
 pemicu   terjadinya konflik sosial di tengah masyarakat  Simalungun 
umumnya   ditengarai oleh adanya ketidakadilan,  ketidakseimbangan, 
kecemburuan,   dan diskriminasi, hal ini ternyata  sudah membudaya dan 
menyatu dalam   sendi-sendi kehidupan mereka sejak  berabad-abad lamanya
 dengan beragam   peran dan perilaku yang mereka  lakoni. Di samping 
konflik sosial,   migrasi dan eksodus besar-besaran  dahulu pernah pula 
terjadi, hal ini   diakibatkan mewabahnya penyakit  sampar (sejenis 
kolera) di  tengah-tengah  mereka yang kala itu dianggap  sebagai 
penyakit yang  sangat menakutkan  dan sulit untuk terobati.  Sebagai 
solusi mereka  kemudian memutuskan  mengungsi ke luar daerah, ada  yang 
bertolak ke  pulau Samosir, Humbang,  Silindung, dan ke Toba.  Kelompok 
lain ada pula  yang merantau ke tanah  Karo, Deli, Serdang,  Padang, 
Bedagai, Asahan,  dan Batubara hingga sampai  ke pesisir Selat  Malaka. 
Ketika sampai di  perantauan mereka lalu  berbaur dengan  masyarakat 
setempat, penyerapan  dan perpaduan budaya pun  tak terelakkan  hingga 
beregenerasi. Ketika  penyakit epidemik itu  berakhir, sebagian  orang 
Simalungun kemudian  kembali ke kampung halaman  mereka, namun  tidak 
sedikit pula yang tetap  bertahan di tanah  perantauan. Akibat dari  
eksodus ini, banyak  perubahan yang terjadi pada  tatanan kehidupan  
orang Simalungun mulai  dari pola hidup, praktik adat  istiadat,  
identitas marga, penggunaan  bahasa, dan ideologi.
Beranjak
 dari fenomena di  atas  merupakan pemicu lahirnya ragam  bahasa 
berbentuk dialek dalam  bahasa  Simalungun. Adapun ragam dialek  yang 
dimaksud yaitu dialek Sin  Raya, Sin  Dolog, Sin Panei, Sin Purba,  dan 
Sin Bandar. Dialek Sin Raya  dituturkan  oleh masyarakat yang  
berdomisili di Kecamatan Raya dan Raya  Kahean,  dialek Sin Dolog  
dituturkan di Kecamatan Dolog Silou dan Bangun  Purba.  Sementara untuk 
 dialek Sin Panei dituturkan di Kecamatan Panei,   Panombeian Panei, dan 
 Siantar. Dialek Sin Purba dituturkan di Kecamatan   Purba, Haranggaol  
Horisan,  Silimakuta, dan Pamatang Silimakuta. Terakhir
 dialek Sin  Bandar dituturkan oleh masyarakat di Kecamatan   Bandar, 
Pamatang  Bandar, Bandar Huluan, dan Bandar Masilam serta meluas   
sampai ke  Kecamatan Gunung Malela dan  Gunung Maligas, di mana keduanya
   dahulu  merupakan daerah Pertuanan (landscape) dari Distrik Siantar, 
  Dolog  Batu Nanggar (Distrik Panei), dan Bosar Maligas (Distrik Tanoh 
  Jawa).  Sebagaimana telah dikemukakan pada tulisan terdahulu (Sauhur, 
  Edisi  I-II Tahun 2007), dari sekian dialek yang menempati posisi sebagai tolok 
ukur   dan  acuan standard berbahasa Simalungun adalah dialek Raya, 
mengapa?    Karena dialek Raya diakui sebagai bahasa yang terbentengi 
dari pengaruh    bahasa di sekelilingnya seperti bahasa Karo, Toba, 
Mandailing-Angkola,    Melayu, dan juga Jawa.
Dialek Bandar
Sebagaimana
  uraian di atas, sentra penutur dialek Bandar ini mendiami   daerah 
yang  secara topografis berada di daerah dataran rendah  (hataran)  dan 
hilir  (kaheian/jahei) dengan  kehidupan sosial   
masyarakat yang kerap mengadakan kontak dengan  masyarakat Melayu di   
perbatasan Simalungun–Asahan. Komunikasi di antara  mereka sudah   
berlangsung selama ratusan tahun, sehingga tidak menutup  peluang   
terjadinya transformasi budaya dan ideologi, seperti halnya di   
Kecamatan  Bandar Masilam sebagian besar masyarakat Simalungun berbicara
   dengan  bahasa Melayu. Fenomena itu tidaklah mengindikasikan adanya  
gap  dengan  komunitas Simalungun yang lain, terutama mereka yang   
berdomisili di  daerah bagian atas (huluan), kenyataan sejarah   
membuktikan Bandar  dahulunya merupakan suatu kerajaan yang sejajar   
posisinya dengan  kerajaan Simalungun lainnya seperti Dolog Silou, Panei,   
Tanoh Jawa, Siantar,  Purba, Silimakuta, dan Raya. Dalam tatanan adat  
 pernikahan, Bandar  merupakan “Anak Boru” dari Kerajaan Raya, karena   
secara organisatoris  yang berhak memangku kedudukan sebagai raja di   
Kerajaan Bandar mesti  dilahirkan dari Puang Bolon boru Saragih yang   
berasal dari Kerajaan  Raya.
Jika
  dilakukan  perbandingan dengan pelbagai dialek Bahasa Simalungun  yang
  ada, agaknya  dialek Bandar lebih dekat kemiripannya dengan dialek  
Raya  baik ditinjau  dari logat, intonasi (langgam) maupun kosa kata.  
Dari  perbandingan kosa  kata antara keduanya terlihat secara jelas  
kemiripan  dan ketidakmiripan.  Namun, bila dilampirkan secara detail  
seluruh  kosa kata pada kedua  dialek, dihasilkan persentase kemiripan  
lebih  menonjol ketimbang  ketidakmiripan. Pemakaian kosa kata ini  
menyebar di  beberapa titik  daerah, adapun sebagai basis pengguna 
dialek  ini yaitu  mereka yang  berdomisili di Kecamatan Pamatang 
Bandar, yang  dahulu  merupakan ibukota  dari Kerajaan Bandar. 
Masyarakat penutur  dialek  bandar, mengakui banyak  kosa kata yang 
mengalami perubahan dari  bentuk  aslinya, dan tidak  sedikit pula kosa 
kata yang dahulu sering   digunakan, namun kini sudah  jarang dipakai.
Pemakaian
 kata ganti   kepunyaan (posesif) -ni dan -si,  lalu fonem akhir h, g, 
d, b, ui, ou,   ei masih konsisten terdapat dalam  bahasa Simalungun Sin Bandar. 
Selain itu, dialek   Sin Bandar juga mengenal aksara  khusus nya, 
penggunaan aksara ini   sangat akrab digunakan dalam  komunikasi, secara
 teoretis aksara ini   diletakkan pada kata kerja dasar  (infinitif) 
yang diawali huruf s dan   didahului dengan imbuhan maN- dan  paN- 
seperti pada kata manungkun   menjadi manyungkun, manisei—manyisei,  
manuan—manyuan   manerleng—manyerleng. Untuk kata yang berimbuhan paN-  
terlihat pada   kata panungkun—panyungkun, panisei—panyisei,  
panuan—panyuan,   panerleng—panyerleng. Bila merujuk pada aksara  
Simalungun yang   jumlahnya 19 huruf (surat sappuluh siah) aksara ini  
memang ada   ditemukan, namun dalam praktik komunikasi hampir tidak 
pernah    digunakan, barangkali hanya dialek Sin Bandar saja yang 
mengenal    penggunaan aksara ini.
Berkaitan dengan seni sastra, 
dialek Bandar   mengenal cukup banyak  kesusasteraan baik dalam bentuk 
lisan maupun   tulisan, di antaranya ada  yang digubah ke dalam bentuk 
nyanyian seperti   Doding Mananggei (di luar  Bandar menyebutnya dengan 
Taur-taur  Simbandar)  dan Inggou Simbandar.  Ada pula yang yang 
disajikan dalam  bentuk prosa  (turiturian) seperti  turiturian Bah 
Tobu, Tuan Simalango,  Keramat Kubah,  Pak Boru Na Martuah  dan masih 
banyak cerita rakyat  yang lain. Di Bandar  juga ditemukan  beberapa 
peninggalan dalam bentuk  tulisan, di antaranya  Pustaha  Parmongmong 
Bandar Sakuda, pustaha ini  terakhir diwarisi oleh  Tuan Alip  Damanik 
Bariba.
Pengaruh  dan Latar Belakang
Pada
  era dewasa ini pemakaian dialek  Bandar sebagai bahasa  komunikasi  
secara perlahan telah mengalami  pergeseran, sebagian besar  masyarakat 
 lebih senang menggunakan bahasa  Indonesia dan sebagian lagi  ada yang 
 lebih gemar berbahasa Jawa, hal ini  terjadi disebabkan  derasnya  
pengaruh komunitas suku Jawa yang  populasinya lebih besar  ketimbang  
suku Simalungun, keadaan ini  mendeskripsikan bahwa komunitas   
Simalungun di daerah ini mengalami  himpitan berat yang sudah terlanjur 
  basah sulit untuk dibebaskan.  Hakikatnya jika melihat pada situasi  
saat  ini pengguna bahasa Simalungun  khususnya dialek Sin Bandar hanya 
  tinggal segelintir saja jumlahnya  bila dibandingkan dengan mereka 
yang   sudah beralih (salih) ke bahasa  lain.
Selain 
itu, dialek Bandar  juga banyak dipengaruhi bahasa Toba,  pada  daftar 
perbandingan kosa  kata di atas terlihat adanya beberapa   kemiripan 
kosa kata. Keberadaan   komunitas suku Toba di daerah Bandar   jumlahnya
 juga cukup signifikan  dan pengaruh bahasa mereka secara   otomotis 
juga sulit dibendung, namun  karena perbedaan keyakinan ideologi   di 
antara kedua komunitas  pergaulan di antara mereka pun tidak   seutuhnya
 berjalan efektif, meski  mereka hidup berdampingan. Masuknya   imigran 
Toba ke Simalungun  terutama ke Bandar diawali sejak melemahnya   
kekuatan Raja Bandar  membendung arus imigrasi kaum pendatang, sehingga 
  memicu meledaknya  perpindahan penduduk secara besar-besaran baik yang
   datang dari  Tapanuli Utara maupun Tapanuli Selatan. Hal ini sudah   
berlangsung  lama, namun derasnya gelombang migrasi ini terjadi pada 
masa    kepemimpinan Raja Bandar ke-6, Tuan Sawadim Damanik. Lemahnya 
kekuatan    Raja Bandar tidak lain disebabkan taktik politik kaum 
Kolonial Belanda    (Devide et Impera), di mana menjadikan mereka (para 
Raja Bandar)   sebagai  boneka yang bisa diatur dan dikelabui demi 
tercapainya tujuan   mereka,  pihak kolonial.
Strategi 
kolonial ini ternyata berjalan  mulus, dan  akhirnya pasca  
diproklamirkannya Kemerdekaan Indonesia,   berbondong-bondong masyarakat
  Simalungun menentang dan meruntuhkan   kedaulatan para raja dengan  
mengusung isu feodalisme dan anti-kolonial   dengan sebutan Revolusi  
Sosial. Kerajaan Bandar yang kala itu sudah   dipangku oleh Tuan  
Distabulan Damanik ternyata tak luput dari ancaman,   dengan bantuan  
sekelompok orang Toba, ia berhasil menyelamatkan diri.   Atas bantuan 
 mereka, Distabulan kemudian menghadiahkan kepada   mereka beberapa  
bidang tanah untuk dijadikan pemukiman.
Terkait  
eksistensi Suku  Tapanuli di Simalungun, khususnya di Bandar,   
keberadaan mereka ternyata  mendapat tantangan dan kecaman yang besar   
dari suku pribumi  (Simalungun) mereka tidak begitu saja mau menerima   
kehadiran mereka,  suku Tapanuli, terbukti tidak sedikit dari mereka   
yang dijadikan sebagai  budak belian para raja dan kelompok masyarakat  
 biasa (paruma). Untuk  meredam hal ini, maka banyak dari mereka yang   
berafiliasi dengan orang  Simalungun, menyembunyikan jati diri asli   
mereka dan mengaku sebagai  orang Simalungun. Di antara marga-marga   
Tapanuli yang berafiliasi dengan  marga Simalungun di wilayah kedaulatan
   kerajaan Bandar, yaitu Silalahi  (Simandalahi), Sipayung, Tambunan   
(Tambun), Manurung, Sitorus, Sirait,  Butar-Butar (Sidabutar), dan   
Sinurat. Marga-marga ini umumnya menyatukan  diri ke dalam sub marga   
Sinaga.
Berbagai pergolakan yang terjadi  merupakan penyebab dasar
  lumpuhnya  kekuatan Simalungun, sehingga  berimplikasi pada  
ketidakpercayaan diri  untuk mempertahankan apa yang  menjadi hak  
mereka. Sebagai contoh  seorang Simalungun akan menjadi Toba  bila  
bergaul dengan orang Toba,  demikian juga ia akan menjadi Karo bila   
sering berhubungan dengan orang  Karo, begitulah seterusnya. Proses   
penyatuan diri yang kerap dilakukan  orang Simalungun ke dalam komunitas
   lain, secara otomatis akan  menghapuskan jati diri mereka sebagai  
orang  Simalungun, barangkali ia  akan merasa enggan berbicara dalam  
bahasa  Simalungun, berbudaya ala  Simalungun, dan lebih lanjut ia pun  
akan  dengan mudahnya mengganti  marganya dengan marga dari komunitas  
yang ia  masuki. Sungguh  memilukan…!!!
Simpulan
Dari
  sekelumit uraian di atas disimpulkan  bahwa Bahasa Simalungun  
mengenal  beberapa dialek yang tersebar di  seluruh Kabupaten Simalungun
  bahkan  menembus sampai ke luar.  Masing-masing dialek satu sama lain 
 memiliki  perbedaan, bahkan dalam  melakukan komunikasi antar silang  
dialek  mereka tidak saling memahami.  Di wilayah Bandar yang secara  
geografis  berbatasan dengan daerah Melayu  Asahan-Batubara, komunikasi 
 dalam  bahasa Simalungun masih tetap eksis  digunakan, namun demikian  
pengaruh  bahasa Melayu sedikit banyak turut  mewarnai perkembangannya, 
 itu  terlihat dari kosa kata (leksikal) dan  sistem bunyi (fonetik) 
yang   terdapat di dalamnya. Selain itu dialek Sin  Bandar juga mendapat
   pengaruh dari bahasa Toba dan Jawa. Maka bukanlah  suatu pemandangan 
  yang mengherankan bila di beberapa titik di wilayah  Bandar dijumpai  
 sekelompok masyarakat yang lebih aktif menggunakan  bahasa Toba atau   
Jawa ketimbang bahasa Simalungun.
Pergolakan  sosial-politik dan  
budaya yang menyelimuti suku  Simalungun selama  berabad-abad sangat  
berperan dalam menggilas dan  melumpuhkan kebudayaan  Simalungun, hal  
ini berimplikasi buruk pula  terhadap perkembangan  bahasa. Kepribadian 
 mereka yang selalu bertimbang  rasa dan merasa  terisolir yang kerap  
diperankan orang Simalungun  mengakibatkan diri dan  apa yang mereka  
miliki praktis terabaikan.