Oleh: Masrul Purba Dasuha, S.Pd
Pendahuluan
Babi
adalah binatang yang paling diminati oleh suku Batak saat ini bahkan
dianggap sebagai binatang pujaan, bila ditinjau dari aspek historisnya
tradisi mengkonsumsi babi ternyata baru mulai membudaya pasca masuknya
kolonial Belanda. Babi awalnya adalah makanan favorit pihak kolonial
Belanda, kegemaran mereka dalam mengkonsumi babi kemudian mereka bawa ke
tanah Batak. Pada zaman dahulu dalam budaya Batak, babi tidak pernah
menjadi binatang piaraan, karena binatang ini hidup secara liar di
hutan. Binatang yang sering dipelihara oleh masyarakat Batak pada zaman
dahulu adalah kerbau, lembu, kuda, kambing, dan ayam. Pada saat menjajah
Tapanuli Utara, Belanda menjadikan babi sebagai santapan mereka, karena
mereka hidup di tengah masyarakat Batak lantas mereka ikuti terbiasa
mengkonsumsi binatang ini tersebut sehingga belakangan menjadi
kebutuhan. Posisi daging kerbau, ayam, dan kambing serta ikan dari Danau
Toba perlahan kurang diminati. Dalam upacara adat dan kegiatan ritual
Batak, terbukti babi sebagai sajian dan itu diterapkan dalam kehidupan
komunitas Parbaringin, Parmalim, dan juga Parhabonaron di Simalungun. Di
komplek ritual seperti Parsaktian Pusuk Buhit dan cagar alam Dolog
Tinggi Raja sangat dipantangkan untuk membawa babi sebagai bekal makanan
bagi para pengunjung.
Selama
ini penulis sering bertanya dalam hati mengapa babi tidak pernah
populer dalam cerita rakyat Batak, binatang yang umum dikisahkan dalam
cerita rakyat Batak adalah kerbau, kambing, kuda, harimau, burung, ayam,
kucing, lembu, rusa, ular, gajah, anjing, dan ikan emas. Makanan
tradisional suku Simalungun, Pakpak, dan Karo adalah ayam, sedang pada
suku Toba yaitu ikan emas. Dalam cerita rakyat Simalungun dikisahkan
bahwa leluhur Purba Pakpak dari Tuntung Batu, Dairi sampai ke tanah
ulayat Purba Dasuha karena berburu seekor burung, demikian juga leluhur
Purba Girsang yang datang dari Lehu Dairi, demi mengejar seekor rusa
juga membawanya sampai ke tanah ulayat marga Sinaga di Naga Mariah
Silimakuta. Fenomena yang sama juga dialami Tuan Sindar Lela, leluhur
Purba Tambak, karena mengejar seekor burung menjadi jalan baginya
bertemu dengan saudarinya Puteri Hijau di tepi sungai Petani dekat Deli
Tua.
Demikian
juga, Tuan Pining Sori yang menjadi leluhur Saragih Garingging memiliki
seekor kerbau bernama Si Nangga Lutu, bersama kerbaunya ia pergi
melanglangbuana dari Ajinembah menuju tanah Simalungun hingga sampai ke
Raya Simbolon. Di antara keturunan marga Saragih yang disebut dengan
Simaronggang, ada yang menjadikan burung enggang sebagai binatang
peliharaannya. Leluhur Saragih Sumbayak pada zaman dahulu konon memiliki
seekor anjing kesayangan bernama Huring Parburu. Di antara keturunan
marga Damanik pada zaman dahulu ada yang bersahabat dengan seekor
harimau. Nyaris seluruh nenek moyang suku Batak khususnya Simalungun,
mereka hidup bergaul secara akrab dengan sejumlah binatang, bahkan tidak
jarang di antara binatang tersebut menjadi juru penyelamat di kala
tuannya mengalami ancaman dan kesulitan. Di kalangan etnis Toba
khususnya marga Simanjuntak melegenda kisah seekor kerbau yang
mengakibatkan perpecahan di kalangan mereka, sejak itulah awal munculnya
Simanjuntak Horbou Jolo dan Simanjuntak Horbou Pudi.
Dari
uraian singkat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa sejak zaman dulu babi
tidak pernah dijadikan sebagai binatang peliharaan apalagi binatang
kesayangan. Meski babi sudah sejak lama hidup dan berkembang di tanah
Batak, namun dia tidak pernah menjadi konsumsi pokok nenek moyang suku
Batak seperti yang terjadi saat ini. Dia hanya dikonsumsi pada kondisi
mendesak di tengah minimnya bahan makanan. Hal inilah yang mendasari
sehingga babi tidak pernah melegenda dalam kearifan lokal suku Batak.
Kita
tidak pernah berpikir, menyadari, dan juga merenung bahwa banyak hal
dalam kehidupan budaya kita adalah hasil rancangan atau design dari
pihak kolonial untuk memecah persatuan dan kesatuan di antara suku Batak
di Sumatera Utara ini, merekalah yang membuat garis-garis batas wilayah
suku Batak dan juga melegitimasi penamaan etnis Batak berdasarkan
budaya dan bahasanya. Untuk memuluskan politik adu domba mereka, antara
etnis Minang, Melayu, dan Aceh didesign agar terpisah dengan Batak dan
dibangun sebuah opini agar mereka saling membenci. Karena urusan lambung
hubungan antara sesama etnis Batak yang berbeda keyakinan menjadi
renggang dan saling menjauh dan fakta ini sudah berlangsung selama
ratusan tahun.
KERBAU DAN BABI DALAM PERSPEKTIF ILMIAH
Sejarah Kerbau
Kerbau
(bubalus bubalis) merupakan jenis hewan yang termasuk famili bovidae
dan sudah dikenal sejak masa prasejarah, terbukti dari beberapa fragmen
tulang dan giginya yang ditemukan pada ekskavasi beberapa situs di
Indonesia. Di Sumatera situs-situs yang mengandung temuan tersebut
antara lain situs Gua Togindrawa, Nias dan Situs Bukit Kerang Pangkalan,
Aceh Tamiang. Di kedua situs yang merupakan situs mesolitik itu
menunjukkan adanya pengkonsumsian jenis hewan famili bovidae. Kemudian
di daerah lain yaitu pada situs megalitik juga ditemukan bagian gigi
kerbau (bovidae) pada kubur batu (phandusa) di Bondowoso, pada dolmen di
situs Telagamukmin, Lampung Utara, serta tulang-tulang hewan ini di
bawah menhir di Wonogiri (Sukendar, 1990 : 215). Kerbau dewasa dapat
memiliki berat sekitar 300 kg hingga 600 kg. Kerbau liar dapat memiliki
berat yang lebih, kerbau liar betina dapat mencapai berat hingga 800 kg
dan kerbau liar jantan dapat mencapai berat hingga 1200 kg. Berat
rata-rata kerbau jantan adalah 900 kg dan tinggi rata-rata di bagian
pundak kerbau adalah 1,7 m. Salah satu ciri yang membedakan kerbau liar
dari kerbau peliharaan untuk ternak adalah bahwa kerbau peliharaan
memiliki perut yang bulat. Dengan adanya percampuran keturunan antara
kerbau-kerbau antara populasi yang berbeda, berat badan kerbau dapat
bervariasi. Klasifikasi kerbau masih belum pasti, beberapa autoritas
mengelompokkan kerbau sebagai suatu spesies Bubalus bubalis dengan tiga
subspesies yaitu :
1. Kerbau liar (bubalus bubalis arnee) moyang bagi kerbau sungai.
2. Kerbau sungai (bubalus bubalis bubalis) yang berasal dari Asia Selatan.
3. Kerbau rawa (bubalus bubalis carabanesis) dari Asia Tenggara.
Dapat
dikatakan bahwa kerbau merupakan binatang yang mempunyai nilai penting
dalam kehidupan masyarakat dari dulu hingga kini. Melalui data
ekofaktual yang ditemukan di situs-situs mesolitik kemungkinan jenis
hewan tersebut hidup liar di hutan Indonesia. Hewan tersebut diburu dan
dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan makanan manusia pada masa itu.
Kemudian pada masa yang lebih muda bersamaan dengan terjadinya migrasi
manusia pada masa neolitik dan perundagian, ketika manusia sudah hidup
menetap domestikasi hewan dan tumbuhan juga dikembangkan. Migrasi
tersebut juga membawa religi yang dikenal dengan pendirian
bangunan-bangunan megalitnya sekitar 2500 SM -- 1500 SM -- awal Masehi.
Pendirian bangunan megalit tersebut juga disertai upacara-upacara
berkaitan dengan pemujaan roh-roh leluhur, atau berkaitan dengan
kematian dengan melaksanakan pemotongan hewan-hewan kurban diantaranya
kerbau. Berbagai tinggalan arkeologis di situs-situs megalit Sumatera
Selatan, Jawa Timur, dan Lampung menggambarkan pemanfaatan maupun
pembudidayaan kerbau. Masa yang sama jika dibandingkan dengan
pembudidayaan kerbau di luar Indonesia seperti di daratan Lembah Indus,
India (4500 tahun yang lalu), Cina (3500 tahun yang lalu), dan Mesir
(800 tahun yang lalu) (Aziz,1999:3).
Kerbau
Sumatera tidak banyak berbeda dengan kerbau Benggala. Sekalipun
termasuk famili bovidae anatomi hewan ini berbeda dengan sapi, kukunya
lebih lebar, dan tanduknya berbentuk bujursangkar atau gepeng melengkung
ke belakang. Umumnya tanduk sedatar dengan kening dan tidak membentuk
sudut seperti terdapat pada sapi. Ekor kecil menggantung sampai ke bawah
lutut, kecil, dan berjumbai di ujungnya. Lehernya besar dan berotot
sehingga penampakan gelambir hanya sedikit terlihat atau tidak sama
sekali (Marsden,1999:81). Kerbau merupakan hewan domestikasi yang sering
dikaitkan dengan kehidupan masyarakat bermatapencaharian di bidang
pertanian. Kerbau digunakan sebagai sarana transportasi (kendaraan),
untuk membantu mengolah lahan pertanian, dan kotorannya dapat dijadikan
pupuk (Gunadi,2000:60). Domestikasi kerbau dikaitkan dengan kebutuhan
hewan itu dalam jumlah banyak untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya
seperti tersebut di atas, juga dikonsumsi atau digunakan sebagai hewan
kurban pada upacara adat.
Secara
khusus domestikasi kerbau di Sumatera Utara belum diketahui, namun
melalui tinggalan arkeologis dan menjadi karya seni jenis hewan ini
sering dijumpai pada tinggalan-tinggalan budaya megalitik/tradisinya
dalam bentuk patung, relief, maupun lukisan. Pada punden berundak di
Situs Batu Gaja, Simalungun menunjukkan adanya domestikasi binatang
tersebut. Menilik kondisi situs ini, maka diperkirakan bahwa pemanfaatan
kerbau di Sumatera Utara sudah dikenal sejak budaya megalitik
berkembang di wilayah ini. Letak bangunannya pada tempuran dua buah
sungai mengingatkan pada konsep yang sering diterapkan dalam pembangunan
bangunan suci Hindu - Buddha. Situs tersebut merupakan situs megalitik
yang kemungkinan berkembang pada masa yang hampir sama ketika pengaruh
Hindu - Buddha berkembang di Padang Lawas sekitar abad ke 11-14 Masehi.
Bagi
masyarakat yang hidup dengan tradisi megalitik seperti Batak, kerbau
menjadi salah satu binatang yang memiliki derajat tinggi dalam kehidupan
sosial budaya Batak. Tidak hanya untuk dikonsumsi, organ tubuh binatang
ini dijadikan ornamen seni pada rumah tradisional Batak. Ornamen kerbau
pada masyarakat Batak merupakan lambang yang memiliki sifat sakral dan
profan. Sifat sakralnya diketahui melalui ornamen kerbau pada tinggalan
megalitik yang berkaitan dengan kubur batu, merupakan lambang kendaraan
(wahana) bagi arwah menuju ke dunia arwah. Ornamen kerbau juga
melambangkan kesuburan dikaitkan dengan kehidupan masyarakat pendukung
megalitik bermatapencaharian di bidang pertanian. Selain itu ornamen
kerbau sering digambarkan pada rumah-rumah adat masyarakat Batak di
Sumatera Utara. Seperti pada rumah adat masyarakat Batak Simalungun
terdapat ornamen yang disebut Pinar Uluni Horbou yaitu berupa kepala
kerbau yang dibentuk dari ijuk dan tanduknya dari tanduk kerbau asli.
Pada masyarakat Simalungun kerbau merupakan lambang kesabaran,
keberanian, kebenaran, dan sebagai penangkal roh jahat
(Sipayung,dkk.,1994:18). Demikian halnya dengan masyarakat Batak Karo
juga mengenal ornamen sejenis berupa kepala kerbau berwarna putih yang
terbuat dari ijuk dan tanduk kerbau asli. Ornamen tersebut diletakkan
pada bagian ujung atapnya yang mengarah ke dua penjuru mata angin
(timur--barat) jika memiliki 2 ayo-ayo (hiasan atap), atau empat penjuru
mata angin (utara--timur—selatan--barat) jika memiliki 4 ayo-ayo.
Ornamen itu melambangkan keperkasaan dan penjaga keselamatan dari
serangan roh-roh jahat (Ginting & Sitepu,1994:18). Demikian halnya
dengan masyarakat Batak Toba pada ujung puncak atap bagian depan rumah
adat (sopo) dihiasi dengan motif Ulu palung (hiasan raksasa) yang
menggunakan tanduk kerbau. Hiasan tersebut merupakan lambang penjaga
keselamatan dari gangguan hantu. Khusus pada rumah raja, susunan tanduk
kerbau ditempelkan pada dinding bagian dalam sopo yang menandai
kekuasaan raja, sekaligus menggambarkan telah dilaksanakannya pesta
besar (mangalahat horbo = memotong kerbau). Selain itu juga dikenal
ornamen lain yang mirip kerbau yang disebut dengan Sijonggi (lembu
jantan) yang merupakan lambang keperkasaan (Hasanuddin, dkk.,1997:5,12).
Konsep
ornamen yang digunakan pada rumah adat terutama rumah adat Batak
terdapat kesamaan pandangan, yaitu secara mistis dikaitkan dengan
lambang penjaga keselamatan dari roh jahat dan lambang kepemimpinan
seperti keperkasaan/keberanian. Sedangkan makna kerbau bersifat profan
tergambar dari pandangan masyarakat bahwa kerbau merupakan hewan kurban
yang memiliki nilai paling tinggi dibandingkan hewan lain seperti babi.
Hal ini relevan dengan standar yang berlaku pada beberapa suku, di mana
kuantitas tanduk kerbau yang disematkan pada rumah adat melambangkan
tingginya kedudukan sosial (prestise) dan kekuasaan/kepemimpinan
pemiliknya. Banyaknya kerbau yang disembelih pada suatu upacara adat,
menggambarkan kemampuan keluarga atau tingginya status sosial seseorang
di masyarakat. Hal itu tergambar secara simbolis pada banyaknya tanduk
kerbau yang dipajang pada rumah adat. Kepemilikan kerbau menandakan
prestise seseorang, semakin kaya dan tinggi status seseorang ditandai
seberapa banyak jumlah kerbau yang dimilikinya. Dalam acara peminangan,
kerbau biasa dijadikan sebagai mas kawin (sinamot). Pada masyarakat
Batak dikenal upacara kematian seperti sayur matua dan mangongkal holi
(menggali tulang)–memindahkan tulang dari kubur primer ke kubur
sekunder. Bagian dari rangkaian upacara tersebut biasanya dilaksanakan
pesta syukuran adat yang disertai dengan pemotongan kerbau. Sebelum
disembelih, kerbau diikat pada tiang yang disebut borotan,
serta diiringi dengan tarian tortor. Kemudian setelah kerbau disembelih
dagingnya dibagikan pada kerabat yang mengikuti upacara, berupa jambar
juhut (Simatupang, 2005:63–65).
Demikian
halnya pada upacara perkawinan, horja bius (acara penghormatan terhadap
leluhur), dan pendirian rumah adat. Kerbau juga disembelih; selain
sebagai hewan korban, juga sebagai pelengkap adat dalam pembagian jambar
(Wiradnyana & Somba, 2005:20). Pada pembagian pembagian jambar
juhut (hewan kurban) terdapat aturan tertentu yang disebut ruhut
papangan (Sihombing,1986 dalam Simatupang, 2005:88), yaitu:
a. Kepala (ulu) dan osang 3 untuk raja adat.
b. Leher (rungkung atau tanggalan ) untuk pihak boru.
c. Paha dan kaki (soit ) untuk pihak dongan sabutuha.
d. Punggung dan rusuk (panamboli ) & somba-somba untuk pihak hula-hula.
e. Bagian belakang (ihur-ihur) untuk pihak suhut.
Selain
itu, kerbau memiliki banyak fungsi di antaranya sebagai binatang yang
membantu untuk mengolah sawah, penghasil susu, penghasil daging,
penghasil pupuk, sebagai tabungan jangka panjang, sebagai bahan tekstil
(industri), dan terakhir kerbau berfungsi sebagai alat transportasi.
Peranan
kerbau dalam kegiatan pertanian dapat dikaitkan dengan perkembangan
sistem pertaniannya. Sistem pertanian yang dikenal semula pada masa
prasejarah adalah pertanian lahan kering (perladangan), kemudian
dkembangkan sistem pertanian lahan basah (persawahan). Menurut Brandes
bahwa penanaman padi di sawah telah dikenal di Indonesia sejak sebelum
pengaruh kebudayaan India menyebar di Indonesia (Brandes,1889 dalam
Ferdinandus,1990:426). Penanaman padi dengan sistem perladangan
diperkirakan dikenal di Indonesia jauh sebelumnya sekitar 2500 -- 1500
SM, yaitu bersamaan masuknya kebudayaan megalitik tua di Indonesia
(Geldern,1945:138--141). Pendapat lain menyebutkan bahwa penanaman padi
dengan sistem pengairan dikenal di Indonesia diduga pada jaman logam
(Marschall,1969 dalam Suryanto,1990:413). Bukti pendapat ini di beberapa
situs tingkat perundagian ditemukan beberapa alat-alat besi yang
diperkirakan digunakan pada kegiatan itu. Misalnya, dalam kubur peti
batu di situs Kawengan, Kidangan, dan Gunungmas di Bojonegoro dan situs
Gunungsigro di Tuban, Jawa Timur. Alat-alat yang ditemukan adalah kapak,
beliung, ujung tombak, mata sabit dan mata pisau (Suryanto,1990:412).
Ditambahkan bahwa sistem persawahan di Bali misalnya, pada tingkat
perundagian telah dilaksanakan di kaki-kaki pegunungan yaitu pada tempat
yang mudah diatur pengairannya (Soejono,1977:322). Dengan demikian pada
jaman logam atau perundagian diperkirakan kerbau telah dimanfaatkan
untuk membantu kegiatan pertaniannya.
Mengenai
perkembangan pertanian, sebelum masuknya pengaruh Hindu-Buddha abad ke
XI–XIV Masehi, kegiatan pertanian sudah dilaksanakan oleh masyarakatnya,
kemudian bersamaan dengan teknologi yang masuk kegiatan itu semakin
berkembang, terutama pada peralatan yang dimanfaatkannya. Kemungkinan
adanya perkembangan teknologi pertaniannya dapat dikaitkan dengan adanya
tradisi pengolahan lahan tanpa menggunakan bajak pada sebagian
masyarakat Sumatera utara, serta pemanfaatan peralatan lebih sederhana
yang digerakkan oleh manusia seperti tenggala roda dan sisir kayu
(Susilowati,2003:49).
Tradisi pengolahan lahan tanpa menggunakan
bajak diketahui masih dilakukan hingga kini oleh sebagian masyarakat di
Barus dan Tapanuli Selatan, yaitu dengan menggiring kerbau (sekitar 8 --
12 ekor) berkeliling pada lahan sawah secara berulang-ulang. Banyaknya
kerbau yang digunakan menggambarkan banyaknya populasi kerbau yang
diternakkan oleh satu keluarga inti di tempat tersebut. Sekalipun tidak
banyak lahan sawah yang diusahakan di Samosir tempat komunitas subetnis
Batak Toba misalnya, populasi kerbau sebagai hewan ternak juga cukup
banyak. Hal ini disebabkan banyaknya kebutuhan kerbau sebagai hewan
kurban yang menyertai upacara adat yang diselenggarakan masyarakatnya.
Sejarah Babi
Pendapat
umum menyatakan bahwa bangsa babi merupakan hewan yang paling awal
dijinakkan, bukan kucing ataupun anjing. Hal ini ditunjukkan dengan
adanya penemuan lukisan dan ukiran babi yang berumur lebih dari 25.000
tahun yang lalu. Asal-usul ternak babi yang dikenal sekarang adalah
keturunan dari dua jenis babi liar; Sus Vittatus dari India timur, Asia
Tenggara, China dan Sus Scrofa dari Eropa yang didomestikasi pada 4900
tahum SM. Hingga kini masih ditemukan 2 (dua ) spesies babi liar ini
hidup bergerombol dan membentuk kelompok besar di hutan Eropa dan India
Timur. Data terakhir menunjukkan bahwa sudah ada 25 sub spesies Sus
Scrofa yang diketahui, dan perkembangannya telah beradaptasi dengan
lingkungan lokal. Babi lokal (indigenous) diberbagai daerah tropis
sekarang ini sulit dijumpai karena pada umumnya telah mengalami grading
up dengan babi ras atau breed eksotik yang berasal dari Ingris, Amerika
dan Skandinavia; karena babi ras ini ternyata lebih cocok untuk daerah
tropis.
Adapun
jenis babi yang ada di Indonesia sangat beragam, mulai dari babi lokal
maupun babi yang didatangkan dari mancanegara (import). Babi asli
Indonesia adalah babi hutan yang masih banyak berkeliaran di
hutan-hutan. Babi yang sekarang ada di Indonesia adalah keturunan babi
hutan dengan ciri khas umumnya; liar, warna hitam dan dipelihara secara
ekstensif, bebas berkeliaran di sekitar perkampungan. Bangsa babi asli
Indonesia adalah babi Bali, babi Karawang, babi Sumba dan babi Nias.
1. Babi Bali
Ciri-ciri:
- Warna hitam dan bulu agak kasar
- Bentuk tubuh dan kepala kecil
- Punggung lentik
- Perut hampir menyusur tanah
- Kaki pendek
- Cungurnya relative pendek
- Telinga kecil dan berdiri tegak
2. Babi Karawang
Ciri-ciri:
- Kepala kecil
- Telinga kecil dan berdiri tegak
- Tulang belakang lemah dan agak panjang
- Perut hampir menyusur ke tanah
- Kaki pendek
- Warna belang, atas hitam dan bagian bawah putih
3. Babi Sumba
Ciri-ciri:
- Warna hitam ( kadang berwarna merah kehitaman )
- Mempunyai bentuk fisik menyerupai babi hutan
- Badan sedang pendek namun dalam
- Bentuk kepala lonjong
- Moncong lancip
- Telinga kecil berdiri
4. Babi Nias
Ciri-ciri:
- Badan sedang
- Kepala lebih pendek dari babi sumba
- Telinga kecil dan berdiri tegak
- Mulut runcing
- Bulu agak tebal terutama pada leher dan bahu
- Warna putih atau belang hitam
Babi Impor
Pada
saat ini ada beberapa babi impor yang didatangkan dari Luar negeri dan
telah berkembang di Indonesia yaitu Babi VDL (Veredeld Duits
Landvarken), Babi Yorkshire dikenal dengan nama Large White, Babi
Tamworth, Babi Saddle Back , Babi Landrace dan Babi Duroc.
1. VDL (Veredeld Duits Landvarken)
Ciri-ciri:
- Kepala besar agak panjang
- Telinga besar panjang, setengah bergantung ke muka sejajar dengan kepala
- Badan besar
- Daging banyak
2. Babi Yorkshire (Large White)
Ciri-ciri:
- Warna putih, kadang-kadang terdapat bercak-bercak dengan pigmen warna hitam
- Telinga tegak
- Kepala/muka berbentuk seperti mangkuk
- Badan besar panjang dalam dan halus
- Efisiensi penggunaan pakan tinggi
- Pertumbuhan cepat
- Mampu menghasilkan karkas yang panjang (31,5 inchi)
3. Babi Tamworth
Babi Tamworth adalah babi penghasil daging bermutu tinggi yang berasal dari Inggris (kota Tamworth).
Ciri – ciri:
- Warna merah tua atau kecoklatan
- Kepala lebar yaitu jarak antara telinga lebar sedangkan bagian bawah runcing
- Moncong agak panjang lurus
- Telinga tegak dan sedang,
- Tulang belakang kuat
- Tubuh besar
- Kaki sedikit panjang
4. Babi Saddleback
Ciri – ciri:
- Warna hitam tetapi bagian bahunya berwarna putih sampai pada kaki
- Kepala sedang dan halus
- Telinga tegak
- Rahang rata
- Punggung berbentuk busur
5. Babi Landrace
Ciri – ciri:
- Warna putih dan bulu halus
- Tubuh panjang
- Telinganya terkulai rebah ke depan
- Induk mempunyai sifat keibuan yang tinggi dan dikenal memberikan anak yang banyak
6. Babi Duroc
Ciri – ciri:
- Berwarna merah sampai kecoklatan dengan berbagai variasinya
- Daun telinga berukuran sedang, agak rebah ke depan dengan dua pertiganya tegak dan sepertiga telinga tegak
Tinjauan Medis
Penelitian
medis banyak menggunakan babi, karena secara anatomi dan fisiologi
(fungsi) mirip hingga 90 persen dengan manusia, walaupun sistemnya
berbeda. Babi adalah pemakan segala (omnivora) seperti manusia di mana
ukuran dan fungsi jantung, ginjal dan pankreas babi mirip manusia. Di
alam liar, babi termasuk hewan pemakan bangkai. Mereka akan memakan apa
saja termasuk juga kotoran, makanan busuk, bangkai, dan bahkan mereka
memakan tumor atau daging lebih yang berasal dari babi lainnya. Sistem
pencernaan babi memang agak mengesankan, tetapi tidak selalu dapat
menyaring zat-zat beracun dari semua yang mereka makan. Sistem
pencernaan babi mampu menyelesaikan proses mencerna makanan hanya dalam
waktu 4 jam, sehingga racun yang mereka makan akan disimpan di dalam
lemak. Racun tersebut mungkin tidak berbahaya bagi babi, tetapi bagi
kami, itu hal yang berbeda. Berdasarkan penyelidikan sebuah Consumer
Reports, dari 200 sampel daging babi mentah, 69 persen telah
terkontaminasi, mengandung bakteri berbahaya seperti Yersinia
Enteroclitica yang dapat menyebabkan penyakit serius. Ground pork bahkan
lebih buruk, mengandung kontaminan lain seperti Ractopamine [1] yang
merupakan obat terlarang yang dicekal di China dan Eropa. Menurut
laporan tersebut, "Kami menemukan Salmonella, Staphylococcus Aureus,
atau Listeria Amonocytogenes, yang merupakan penyebab utama dari
penyakit bawaan makanan [2], dalam 3 sampai 7 persen sampel. Dan 11
persen mengandung Enterococcus, yang menunjukkan adanya kontaminasi
tinja dan dapat menyebabkan masalah seperti infeksi saluran kemih."
Babi juga merupakan sarangnya berbagai parasit yang dapat menular
langsung ke tubuh manusia seperti Taenia Solium, yaitu parasit usus yang
dapat menimbulkan infeksi dan menyebabkan hilangnya nafsu makan, serta
terdapat juga virus seperti Hepatitis E dan Trichinella. Jika perutnya
telah penuh atau makanannya telah habis, ia akan memuntahkan isi
perutnya dan memakannya lagi, untuk memuaskan kerakusannya. Ia tidak
akan berhenti makan. Memakan kotoran apa pun di depannya, entah kotoran
manusia, hewan atau tumbuhan, bahkan memakan kotorannya sendiri, hingga
tidak ada lagi yang bisa dimakan di hadapannya. Kadang ia mengencingi
kotorannya dan memakannya kembali jika berada di hadapannya,. Ia memakan
sampah busuk dan kotoran hewan. Babi adalah hewan mamalia satu-satunya
yang memakan tanah, memakannya dalam jumlah besar dan dalam waktu lama
jika dibiarkan.
Lemak
punggung babi tebal, babi memiliki back fat (lemak punggung) yang
lumayan tebal. Konsumen babi sering memilih daging babi yang lemak
punggungnya tipis, karena semakin tipis lemak punggungnya, dianggap
semakin baik kualitasnya. Sifat lemak punggung babi adalah mudah
mengalami oxidative rancidity, sehingga secara struktur kimia sudah
tidak layak dikonsumsi. Daging babi karena banyak mengandung lemak,
meskipun empuk dan terlihat begitu lezat, namun sangat sulit dicerna.
Selain itu, daging babi menyebabkan banyak penyakit : pengerasan pada
urat nadi, naiknya tekanan darah, nyeri dada yang mencekam (angina
pectoris), dan radang pada sendi-sendi. Penelitian ilmiah modern di dua
negara Timur & Barat, yaitu Cina dan Swedia. Cina, dan Swedia
(mayoritas penduduknya sekuler) menyatakan: "Daging babi merupakan
penyebab utama kanker anus dan kolon. Persentase penderita penyakit ini
di negara yang penduduknya memakan babi, meningkat secara drastis,
terutama di negara-negara Eropa, dan Amerika, serta di negara-negara
Asia (seperti Cina dan India). Sementara di negara-negara Islam,
persentasenya amat rendah, sekitar 1/1000. Hasil penelitian ini
dipublikasikan pada 1986, dalam Konferensi Tahunan Sedunia tentang
Penyakit Alat Pencernaan, yang diadakan di Sao Paulo.
Babi
banyak mengandung parasit, bakteri, bahkan virus yang berbahaya,
sehingga dikatakan sebagai Reservoir Penyakit. Gara-gara babi, virus
Avian Influenza jadi ganas. Virus normal AI (Strain H1N1 dan H2N1) tidak
akan menular secara langsung ke manusia. Virus AI mati dengan pemanasan
60oC lebih-lebih bila dimasak hingga mendidih. Bila ada babi, maka
dalam tubuh babi, Virus AI dapat melakukan mutasi dan tingkat
virulensinya bisa naik hingga menjadi H5N1. Virus AI Strain H5N1 dapat
menular ke manusia. Virus H5N1 ini pada Tahun 1968 menyerang Hongkong
dan membunuh 700.000 orang (diberi nama Flu Hongkong). Sekitar tahun
2001 pernah terjadi para dokter Amerika berhasil mengeluarkan cacing
yang berkembang di otak seorang perempuan, setelah beberapa waktu
mengalami gangguan kesehatan yang ia rasakan setelah mengkonsumsi
makanan khas meksiko yang terkenal berupa daging babi. Sang perempuan
menegaskan bahwa dirinya merasa capek-capek (letih) selama 3 pekan
setelah makan daging babi. Telur cacing tersebut menempel di dinding
usus pada tubuh sang perempuan tersebut, kemudian bergerak bersamaan
dengan peredaran darah sampai ke ujungnya, yaitu otak.
Dan
ketika cacing itu sampai di otak, maka ia menyebabkan sakit yang ringan
pada awalnya, hingga akhirnya mati dan tidak bisa keluar darinya. Hal
ini menyebabkan dis-fungsi yang sangat keras pada susunan organ di
daerah yang mengelilingi cacing itu di otak. Penyakit-penyakit "cacing
pita" merupakan penyakit yang sangat berbahaya yang terjadi melalui
konsumsi daging babi. Ia berkembang di bagian usus 12 jari di tubuh
manusia, dan beberapa bulan cacing itu akan menjadi dewasa.
Jumlah
cacing pita bisa mencapai sekitar "1000 ekor dengan panjang antara 4 -
10 meter", dan terus hidup di tubuh manusia dan mengeluarkan telurnya
melalui BAB (buang air besar). DR Murad Hoffman, Daniel S Shapiro, MD,
seorang Pengarah Clinical Microbiology Laboratories, Boston Medical
Center, Massachusetts, dan juga merupakan asisten Profesor di Pathology
and Laboratory Medicine, Boston University School of Medicine,
Massachusetts, Amerika menyatakan terdapat lebih dari 25 penyakit yang
bisa dijangkiti dari babi, di antaranya:
-Anthrax
-Ascaris suum
-Botulism
-Brucella suis
-Cryptosporidiosis
-Entamoeba polecki
-Erysipelothrix shusiopathiae
-Flavobacterium group IIb-like bacteria
-Influenza
-Leptospirosis
-Pasteurella aerogenes
-Pasteurella multocida
-Pigbel
-Rabies
-Salmonella cholerae-suis
-Salmonellosis
-Sarcosporidiosis
-Scabies
-Streptococcus dysgalactiae (group L)
-Streptococcus milleri
-Streptococcus suis type 2 (group R)
-Swine vesicular disease
-Taenia solium
-Trichinella spiralis
-Yersinia enterocolitica
-Yersinia pseudotuberculosis
Daftar Pustaka:
Gunadi.
Kerbau di Beberapa Suku Bangsa Indonesia: Suatu Tinjauan Antropologi
Ekonomi. Ujung Pandang: Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Propinsi
Sulawesi Selatan dan Tenggara. 2000
Hasanuddin,
Samaria Ginting, dan Lisna Budi Setiati. Ornamen (Ragam Hias) Rumah
Adat Batak Toba. Medan: Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Sumatera
Utara. 1997
Marsden, William. Sejarah Sumatra, diterjemahkan oleh A.S Nasution dan Mahyuddin Mendim. Bandung: Remaja Rosdakarya. 1999
Sipayung,
Hernauli dan Lingga, Andreas. Ragam Hias (Ornamen) Rumah Tradisional
Simalungun. Medan: Museum Negeri Propinsi Sumatera Utara. 1994
Sukendar,
Haris. Seni Lukis Prasejarah antara Estetika dan Religius, dalam:
Kebudayaan No. 10. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1996
Wiradnyana,
Somba, dan Nani. Fungsi dan Makna Kerbau dalam Tradisi Megalitik di
Sebagian Wilayah Indonesia. Makassar: Balai Arkeologi Makassar. 2005