Oleh: Masrul Purba Dasuha, S.Pd
Pengantar
Nagur merupakan suatu kerajaan kuno (ancient kingdom)
 yang pernah berdiri di Sumatera Utara sebagai awal dimulainya periode 
sejarah di kalangan masyarakat Batak Timur yang sering disebut
 orang Hataran atau Simalungun. Menurut penuturan Tuan Subirman Damanik 
tinggal di Durian Banggal Kecamatan Raya Kaheian (sesuai keterangan yang
 diperolehnya dari naskah kuno Nagur, naskah ini terbakar tahun 1958 
pada masa pemberontakan PRRI gelombang kedua). Terbentuknya kerajaan ini
 diawali sejak kehadiran seorang tokoh kesatrya dari India bersama para 
pengikutnya, mereka berasal dari golongan bangsa Munda yang datang dari 
sekitar dataran tinggi Chota Nagpur sebelah timur India meliputi negara 
bagian Jarkhand, Chhattisgarh, Benggala Barat, Bihar, dan Odisha (dulu 
Orissa), hingga daerah Assam. Pustaha Nagur menyebut tokoh kesatrya 
tersebut dengan Darayad Damadik, gelar lainnya adalah Narama. Dia adalah seorang penganut Hindu 
Waisnawa pemuja Dewa Wisnu. Bahkan gelar yang disandangnya diambil dari 
nama Dewa Narayan yang dalam mitologi Hindu adalah nama lain dari Dewa 
Wisnu. Dalam bahasa Sanskerta "Naara" berarti air atau entitas hidup dan
 "Ayana" adalah tempat istirahat, karena itu disebut "Naarayana" yang 
berarti tempat istirahat bagi semua entitas hidup. Hubungan dekat 
Narayana dengan air menjelaskan penggambaran Narayana dalam seni Hindu 
sedang berdiri atau duduk di samudera. Pengejawantahan penting dari 
Narayana adalah "Maha Menjadi yang merupakan dasar dari semua orang". Di
 Simalungun, gelar Narayan ditambah dengan Namanik sehingga 
penyebutannya menjadi Narayan Namanik yang bermakna "Naibata parsimada tondui pakon sipaulak tondui" (Dewa pemilik entitas hidup dan pengembali entitas hidup).
 Rakyat Nagur meyakini bentuk kepala Narayan seperti kepala burung 
enggang dan tubuhnya dibalut dengan jubah putih. Oleh rakyat Nagur, 
burung enggang diyakini sebagai reinkarnasi dari Narayan Namanik. Pada 
zaman dahulu, Narayan Namanik biasa dipanggil untuk menghidupkan orang 
yang baru meninggal (siluk matei) agar hidup kembali, dengan membaca mantera (tabas) yang berbunyi: "Narayan Namanik, roh ma ham sipaulak tondui" sebanyak 1.200 kali. Setelah orang yang meninggal itu hidup kembali, sebagai tebusan ditanamlah pisang sitabar jantan di pinggir halaman dan pisang unsim
 jantan di pinggir ladang. Usia kehidupannya tergantung dari usia pisang
 yang ditanam tersebut, bila pisang itu mati, maka manusia itupun akan 
ikut mati. Pada ujung lidah Darayad ditumbuhi sejumlah bulu sehingga dia
 sulit untuk menyebut huruf "N", dia pun menyebut Narayan Namanik dengan
 Darayad Damadik. Nama ini kemudian menjadi gelar baginya dan Damadik 
perlahan mengalami perubahan bunyi menjadi Damanik.
Gambar
 1: Peta negara India, dataran tinggi Chota Nagpur yang terletak di 
sebelah timur India merupakan tempat kedudukan bangsa Munda yang menjadi
 asal Darayad Damanik. 
Tuan 
Subirman Damanik menceritakan bahwa sang Darayad Damadik meninggalkan 
India akibat terjadi rodi membangun sebuah istana dan 
tempat pemujaan (parsinumbahan) yang mempekerjakan manusia dan juga kawanan hewan. Para hewan diperintah untuk mengangkut bebatuan dari 
Mesir untuk diboyong ke India, proses pembangunan istana dan tempat pemujaan ini 
akhirnya berujung konflik. Untuk menghindari pertikaian yang terjadi, 
Darayad Damadik lantas memilih meninggalkan tanah kelahirannya, beserta 
isteri tercintanya seorang puteri Mongol dan para pengikutnya, mereka 
pun pergi meninggalkan India, dengan menaiki sebuah kapal besar mereka 
mengarungi samudera luas. Kapal mereka kemudian terdampar di pesisir 
Selat Malaka, mereka lalu mendaratkan kapal mereka di daerah Pagurawan (Pargurouan)
 masuk Kabupaten Batubara sekarang. Dari tempat ini, dia beserta 
rombongannya perlahan masuk ke pedalaman melalui sungai Suka - Laut 
Tadur - Liang Tanggiripan (Parbatu/Tebing Tinggi) - Sorba Jahei terus ke
 hulu melalui Bah Balandei - Mariah Nagur - Dolog Simbolon - Sorba Dolog
 - Dolog Simarsolpah - Raya - Dolog Bah Rubei - Dolog Tinggi Raja - 
Parti Malayu - Dolog Siandorasi - Partibi Ganjang - Saran Tolbak dan 
akhirnya mereka sampai di Nagori Banua Sokkur. Tidak lama kemudian empat
 orang puteranya dari India datang menyusul, namun salah seorang saudari
 mereka tetap berada di India karena sudah menikah. Mereka berangkat 
dari India disertai tiga orang teman mereka, yaitu Naraga (Sinaga), 
Narasi (Purba), dan Narasag (Saragih). Setelah beberapa lama berdiam di 
Sokkur, ketiganya kemudian menikah dengan cucu Darayad Damadik. Dari 
sini diketahui bahwa Darayad Damadik merupakan perintis jalan (si rottos dalan)
 bagi kehadiran leluhur marga Sinaga, Purba, dan Saragih ke tanah 
Simalungun. Di samping sebagai pemimpin, Darayad Damadik juga memiliki 
kemampuan di bidang pengobatan (partambaran), selain mengobati kaum manusia dia juga mampu mengobati penyakit yang diidap hewan. Dia memiliki sebuah alat tiup yang disebut Salohap
 terbuat dari bambu yang berfungsi sebagai alat untuk mengundang hewan 
yang hidup di darat maupun di air untuk datang kepadanya. Meskipun dia 
bersahabat dengan sejumlah hewan, namun dia lebih serasi memelihara 
ayam, sementara Naraga dan kedua temannya Narasi dan Narasag lebih cocok
 memelihara gajah, kerbau, dan anjing.
Darayad
 Damadik mengakhiri masa hidupnya didampingi isterinya ketika melakukan 
pertapaan di Liang Sigundaba, sepeninggalnya sosoknya dipuja dan menjadi
 tokoh yang dikeramatkan. Pengkultusan terhadap sosok Darayad Damadik 
ini berkaitan dengan konsep Hindu-Buddha yang mengenal istilah 
"dewaraja", di mana seorang raja dipuja dan dianggap memiliki sifat 
kedewaan (keilahian) yang bersumber dari Dewa Siwa atau Dewa Wisnu. 
Bentuk pemujaan ini kemudian berkembang luas di Asia Tenggara yang 
diperkenalkan oleh para pengembara dari India. Konsep dewaraja dibentuk 
melalui ritual keagamaan yang dilembagakan dalam pranata kerajaan 
bercorak Hindu-Buddha di Asia Tenggara. Hal ini memungkinkan raja untuk 
mengklaim dirinya memiliki wewenang ilahiah yang bisa digunakan untuk 
memastikan legitimasi politik, mengelola tatanan sosial, menata aspek 
ekonomi, dan agama. Hal ini juga digunakan untuk menjaga ketertiban 
sosial, memuliakan raja sebagai dewa hidup yang pastinya menuntut 
pelayanan dan pengabdian maksimal dari rakyatnya. Seiring dengan itu, 
sistem kasta sebagaimana yang diterapkan di India turut diperkenalkan 
untuk menata masyarakat berdasarkan kelas sosialnya. Konsep ini juga 
terkait dengan Cakrawartin, istilah yang digunakan dalam agama Dharma 
(Hindu-Buddha) untuk merujuk kepada seorang penguasa jagat yang ideal, 
seorang maharaja yang bijaksana dan welas asih kepada seluruh makhluk di
 dunia. Sepeninggal sang raja biasanya didirikan monumen maupun patung 
yang bertujuan untuk menghormati dan memuliakan sang raja yang telah 
wafat. Secara politik, gagasan ini merupakan suatu upaya pengesahan atau
 justifikasi kekuasaan raja dengan memanfaatkan sistem keagamaan.
Catatan Tentang Nagur
Nama
 Nagur berasal dari perpaduan kata "Na + Agur" yang berarti gelar bagi 
seorang pemimpin yang gagah berani, benar, adil, dan bijaksana. Namun 
sejumlah sejarawan ada juga yang mengkaitkan nama Nagur dengan Chota 
Nagpur dan juga kota Nagore yang ada di India. Kerajaan ini berdiri 
ratusan tahun kemudian sepeninggal Darayad Damadik, terbentuknya 
kerajaan ini diawali oleh perpaduan sejumlah kampung yang pada suku 
Simalungun dibagi ke dalam beberapa bagian meliputi huta, nagori, dan urung. Pasca berdirinya kerajaan, dipilihlah suatu lokasi sebagai pusat kerajaan yang disebut dengan pamatang. Nama Nagur pertama kali masuk dalam catatan sejarah yaitu pada almanak (annals)
 Dinasti Sui (581-618 M) salah satu kekaisaran di Tiongkok penerus dari 
Dinasti Jin dan peletak dasar bagi kejayaan Dinasti Tang sebagai 
penggantinya. Almanak tersebut meriwayatkan tentang transaksi 
perdagangan bilateral antara Nagur dengan Dinasti Sui di perairan sungai
 Bah Bolon dekat Kota Perdagangan. Sebagaimana hasil penelitian Sutan 
Martuaraja Siregar, guru sejarah di Normaal School Pematang Siantar, dia
 melihat Nagur sebagai sebuah Kerajaan Batak yang didirikan orang 
Simalungun dan menjadi pusat penyembahan berhala (Priests Kingdom of 
Batak Pagan). Dengan adanya budidaya rambung merah (Sim: balata/Latin: 
Ficus Elastica) yang dikembangkan masyarakat Nagur, sehingga mengundang 
bangsa Tiongkok dari Dinasti Sui untuk membeli hasil sumber daya alam 
Nagur yang dibutuhkan sebagai kedap air (water-tight) bagi kapal-kapal 
dagang mereka. Pada waktu itulah pihak Tiongkok mendirikan kota 
pelabuhan Sang Pang To di tepi Sungai Bah Bolon, sekitar 3 Kilometer 
dari kota Perdagangan sekarang. Mereka banyak meninggalkan batu-batu 
bersurat di pedalaman Simalungun yang kini telah lenyap akibat 
penggusuran oleh pembukaan perkebunan dan pabrik-pabrik pada zaman 
Belanda. Tidak jauh dari tempat ini, ada satu lokasi yang pada zaman 
dahulu jadi tempat ritual pemujaan roh leluhur bernama Dolog Sinumbah, 
sebelum kehadiran Belanda di tempat ini terdapat banyak kuil dan candi 
Buddha, ada satu situs candi yang berhasil diselamatkan pada waktu 
penggusuran oleh pihak Belanda sewaktu mendirikan pabrik dan perkebunan 
(situs candi ini kini disimpan oleh keluarga marga Purba di Medan).
Gambar
 2: Penulis saat berada di desa Nagur Kecamatan Tanjung Beringin Serdang Bedagai, letaknya tepat di bibir pantai timur Sumatera 
Utara. 
Seorang
 nakhoda Persia, Buzurug bin Shahriyar Al-Ramhurmuzi saat lawatannya ke 
pulau Sumatera pada tahun 955 M mencatat adanya suatu kerajaan bernama 
Nakus yang mengacu pada Nagur. Keterangan lainnya juga datang dari Marco
 Polo (1271-1295), seorang pengembara dari Venesia, Italia pada tahun 
1292 pernah mengunjungi sejumlah pulau di pesisir Sumatera, di antaranya
 adalah Dagroian yang tidak lain adalah Nagur, yang letaknya berada di 
Pidie (Aceh) sekarang. Marco Polo menceritakan kebiasaan masyarakat 
Dagroian yang kanibal dan larut dengan praktik genosida. Masyarakatnya 
benar-benar primitif dan penyembah berhala. Kemudian pada awal abad ke 
13 M, Zhao Rugua mencatat sebuah negeri bernama Pa-t’a di bawah kuasa 
Sriwijaya. Antara Pa-t’a dan Bata sudah diterima umum ada kaitannya 
dengan Batak. Batak yang dimaksud di sini merujuk pada Nagur, karena 
pada masa itu Nagurlah satu-satunya kerajaan Batak. Sementara itu, 
Niccolo de’ Conti seorang pedagang dan penjelajah dari Venesia, Italia 
pada tahun 1430 berkunjung ke Sumatera dan tinggal selama setahun di 
kota Sciamuthera (Samudera Pasai) dan pada tahun 1449 dia pertama 
kalinya menemukan jejak masyarakat benama “Batech”. Dia mengatakan di 
bagian tertentu di pulau Sumatera terdapat sebuah tempat bernama Batech,
 penduduknya memangsa daging manusia. Mereka terus-menerus berperang 
dengan tetangga mereka, tengkorak musuh mereka disimpan sebagai harta 
kemudian menjualnya untuk memperoleh uang. Lain daripada itu, Tomé 
Pires seorang apoteker dan kepala gudang rempah-rempah Portugis di 
Malaka, dalam karya terbesarnya Suma Oriental (Dunia Timur) yang ditulis
 pada tahun 1512-1515. Buku tersebut memberikan banyak informasi 
berharga mengenai keadaan nusantara pada abad ke-16, dia menyebut 
Sumatera dengan Camotora sebuah daerah yang luas dan makmur terdapat 
banyak emas, kapur barus, lada, sutera, kemenyan, damar, madu, minyak 
tanah, belerang, kapas, dan rotan. Selain itu, Sumatera juga memiliki 
banyak padi, daging, ikan, dan bermacam-macam minyak, tuak termasuk 
tampoy yang mirip anggur di Eropa. Dia mengatakan Sumatera adalah 
ibukota dari Pasai. Pires mencatat tiga tempat yang menjadi pusat 
aktivitas para pedagang asing di pesisir timur, yaitu Batta (di selatan 
Pasai) yang memiliki komoditi utama rotan, lalu Aru yang memiliki cukup 
banyak kamper dan kemenyan, dan terakhir Arcat (antara Aru dan Rokan). 
Dia mencatat nama raja yang memerintah di Kerajaan Batak adalah Tomyam 
yang identik dengan nama Tamiang, seperti pernah diberitakan Castanheda 
juga seorang penjelajah dari Portugis bahwa Raja Tamiang adalah menantu 
dari Raja Aru.
Gambar 3: Salah satu surat kabar pada zaman Belanda yang memberitakan tentang Nagur dan kerajaan Simalungun lainnya. 
Selanjutnya
 Duarte Barbosa seorang penulis dan penjelajah dari Portugis pada tahun 
1516, mencatat adanya sebuah kerajaan di sebelah selatan pulau Sumatera 
yang menjadi penghasil utama emas dan di pedalaman lain ada Aru yang 
berdekatan dengan negara Batta, penduduknya kafir yang gemar makan 
daging manusia terutama yang mereka bunuh dalam perang. Diteruskan oleh 
Joao de Barros juga seorang berkebangsaan Portugis pada tahun 1563 
kembali menyebut tentang Batak dalam misi penjelajahannya. Dia adalah 
seorang sejarawan Portugis yang cukup terkemuka. Dalam laporannya dia 
menyebutkan sebuah penduduk pribumi di bagian pulau yang berlawanan 
dengan Malaka yang disebut Battas, mereka memakan daging manusia, sangat
 buas dan merupakan masyarakat yang paling gemar berperang dari seluruh 
negeri yang pernah dia jelajahi. Demikian juga pada saat Augustin de 
Beaulieu seorang jenderal Perancis pada tahun 1619-1622 memimpin 
ekspedisi bersenjata menuju India Timur, dia mengunjungi sejumlah daerah
 sekitar Aceh dan semenanjung Malaya. Dia menyebut sebuah penduduk 
pedalaman yang merdeka dan memiliki bahasa yamng berbeda dengan Melayu. 
Mereka menyembah berhala dan memakan daging manusia, tidak pernah ada 
tahanan yang ditebus tapi dimakan dengan menggunakan lada dan garam. 
Namun, Beaulieu tidak secara spesifik menyebut nama penduduk yang dia 
temui, dia melihat mereka tidak memiliki agama, tetapi sudah mampu 
mengembangkan konsep pemerintahan dan menguasai beberapa negara. Dari 
kriteria dan watak penduduk pedalaman yang digambarkan oleh Beaulieu ini
 jelas mengacu pada suku Batak dan Batak yang dimaksud adalah Simalungun
 yang pada masa itu dibawah kuasa Raja Marompat.
Informasi
 tentang Nagur mengemuka kembali dari laporan 2 orang penerjemah 
Laksamana Cheng Ho (Zheng He), yaitu Ma Huan dan Fei Xin. Armada Cheng 
Ho yang memimpin sekitar 208 kapal datang mengunjungi Pasai 
berturut-turut dalam tahun 1405, 1408, dan 1412, pada masa inilah kedua 
orang penerjemah sekaligus pembantunya merekam keberadaan Nagur yang 
berada di Aceh. Ma Huan dalam bukunya Yingya Shenglan diterbitkan tahun 
1416 menceritakan bahwa Raja Nagur (那孤兒 = Na Ku Erh) dinamakan Raja Muka
 Bertato, menduduki kawasan sebelah barat Sumentala (Samudera Pasai). 
Sementara di sebelah barat Nagur berbatas dengan Litai (黎代) dan Lambri 
(南渤利 = Lan Bo Li), jadi posisi Nagur berada di antara Lidai dan 
Samudera. Wilayah yang mereka duduki hanya terdiri dari satu desa yang 
berada di pegunungan, penduduknya merajah wajahnya dengan tiga panah 
hijau, inilah yang melatarbelakangi munculnya sebutan Raja Muka Bertato.
 Jumlah penduduknya hanya sekitar seribu keluarga, sistem pertanian yang
 dikembangkan relatif kecil jika dibandingkan dengan jumlah penduduknya.
 Jenis tanaman pertanian adalah padi gogo, binatang ternak yang mereka 
usahakan adalah babi, kambing, unggas, dan bebek. Tidak ada produk yang 
diekspor karena merupakan negeri yang relatif kecil. Bahasa dan busana 
yang mereka gunakan sama dengan masyarakat di Samudera Pasai. Dari 
pemetaan yang dilakukan oleh penulis letak dari Nagur ini berada di 
sekitar Pirada (Peudada sekarang) masuk Kabupaten Bireuen Aceh sekarang 
hingga Pidie. Litai, oleh pengelana lain sering juga disebut Lide, 
barangkali yang dimaksud adalah Lingga yang berada di Aceh Tengah.
Sedangkan
 menurut hasil dokumentasi Fei Xin yang dimuat dalam bukunya Xingcha 
Shenglan yang diterbitkan tahun 1436. Nagur merupakan wilayah Negara 
Muka Bertato (花面國 = Hua Mian Guo) berbatasan dengan Sumatera dan meluas 
hingga ke Laut Lambri. Wilayah kedudukannya terletak di daerah 
pegunungan. Di tengah cuaca yang bervariasi, masyarakat Nagur mampu 
mengolah sawah mereka dengan baik sehingga mampu menghasilkan beras 
dengan jumlah memadai. Tidak jauh berbeda dengan keterangan Ma Huan di 
atas, Fei Xin juga mengatakan bahwa para kaum pria memiliki kebiasaan 
merajah wajah mereka dengan gambar bunga beserta hewan. Rambut mereka 
yang panjang dibiarkan terurai, bagian atas tubuh dibiarkan terbuka 
hanya bagian bawah mengenakan sehelai kain. Sementara kaum wanita 
mengenakan sehelai kain berwarna dan rambut bersanggul di belakang. 
Binatang yang mereka ternakkan diantaranya sapi, kambing, unggas, dan 
bebek. Kehidupan mereka berlangsung harmonis, tidak pernah ditemukan ada
 upaya penindasan dari pihak yang kuat terhadap golongan yang lemah. 
Antara kaum bangsawan dengan rakyatnya tidak dibatasi jurang pemisah, 
mereka bersama-sama mengolah lahan demi kemajuan daerah mereka. Tidak 
ada kesombongan dari golongan orang yang kaya terhadap mereka yang 
miskin sehingga tindakan kriminal seperti pembunuhan dan pencurian 
sangat jarang terjadi. Selain memproduksi bahan pangan, tanah subur yang
 mereka duduki juga ditumbuhi sejumlah tanaman wewangian dan bunga 
teratai (tunjung biru). Di kawasan pegunungan banyak terdapat belerang, 
selain itu mereka juga mengembangkan budidaya ulat sutera dan industri 
tembikar, dan lain sebagainya. Pada saat kunjungan ini, Laksmana Cheng 
Ho menyerahkan hadiah dari Kaisar China kepada Raja Nagur dan sejak itu 
pihak Nagur selalu mengirimkan upeti kepada Kaisar China yaitu Lonceng 
Cakra Donya.
Dalam buku Yingya 
Shenglan juga diriwayatkan bahwa Raja Samudera Pasai (蘇門答剌 = Su Men Ta 
La) pernah diserang oleh Raja Nagur dan berhasil terbunuh dengan panah 
beracun. Karena puteranya masih kecil dan belum sah untuk meneruskan 
tahta, maka Ratu Su Men Ta La lantas bersumpah membalas dendam kematian 
suaminya. Ia membuat sayembara yang isinya menyatakan bahwa ia bersedia 
menikah dan memerintah bersama siapa saja yang sanggup membalaskan 
dendamnya. Seorang nelayan tua bersedia mengemban tugas tersebut, dengan
 berani ia memimpin pasukan guna menewaskan raja Nagur. Dengan dibantu 
prajurit Su Men Ta La, nelayan tua ini berhasil membunuh Raja Nagur, 
akibatnya pasukan Nagur mundur dan menyerah kalah. Nelayan ini kemudian 
menikah dengan Ratu Su Men Ta La, keduanya memerintah bersama dengan 
gelar Raja Tua. Pada tahun 1409, ia berangkat ke China untuk menyerahkan
 upeti kepada kaisar China dan kembali ke negerinya pada tahun 1412. 
Putera raja sebelumnya ternyata tidak setuju dengan pengangkatan Raja 
Tua sebagai pengganti ayahnya, ia lantas bersekongkol dengan para 
bangsawan guna menghabisi nyawa Raja Tua. Akibat kematian Raja Tua, 
kemenakannya bernama Su Gan La (蘇幹剌 = Su Gan La) berniat membalas dendam
 kematian pamannya, ia kemudian mengumpulkan para pengikut dan melarikan
 diri ke pegunungan. Tidak lama kemudian pada tahun 1415, Cheng Ho pun 
datang ke tempat ini dan menangkap Su Gan La. Atas bantuan yang 
diberikan Cheng Ho, putera raja merasa sangat berterima kasih dan 
sebagai balas jasa ia kemudian terus menerus mengirim upeti ke Tiongkok.
Gambar
 4-7: Situs megalithik Batu Gajah, sebuah batu yang dibentuk menyerupai 
gajah sebanyak 2 buah, peninggalan agama Buddha ini telah diteliti oleh 
tim arkeologi Medan yang diperkirakan berasal dari abad 5 Masehi. Situs 
ini berada di dusun Pamatang desa Nagori Dolog Kecamatan Dolog Panribuan
 Kabupaten Simalungun.
Indikasi tentang eksistensi Nagur mencuat kembali dari catatan Ferdinand Mendez Pinto (1509-1583), barangkali ia orang Eropa pertama yang pernah pergi ke pedalaman utara Sumatra. Dalam karyanya berjudul Peregrination, ia mencatat kunjungan delegasi raja Batak tahun 1539 kepada kapten Melaka yang baru, Pedro de Faria. Ia melaporkan bahwa raja ini penganut paganisme dan ibukotanya bernama Panayu. Ia juga mengisahkan tentang peperangan sengit antara Aceh di masa pemerintahan Raja Ali alias Sultan Alauddin Riayat Shah Al-Qahhar (1537-1569) dengan seorang Raja Batak (Tuan Anggi Sri Timur Raja) dibantu oleh iparnya yang tampil sebagai panglima perang bernama Aquarem Dabolay (Anggaraim Nabolon Saragih Garingging) dari Partuanon Raya. Peperangan ini berlangsung selama dua babak, pada perang pertama dengan mengandalkan ketangguhan panah beracunnya, Nagur berhasil memukul mundur pasukan Aceh dan mengejarnya hingga sampai ke pegunungan yang dinamai Cagerrendan (Cagar Ardan, pen), di sanalah selama 23 hari pasukan Batak mengepung sisa pasukan Aceh yang masih bertahan. Singkat cerita kedua belah pihak sepakat mengadakan perjanjian damai. Namun tidak berselang 2 setengah bulan, Aceh melanggar perjanjian tersebut dan berniat melakukan pembalasan. Adanya bala bantuan 300 orang Turki menjadikan Aceh semakin bersemangat melawan Raja Batak. Pihak Aceh lalu mensiasati strategi bagaimana agar penyerangan mereka tidak menyebar luas dan diketahui Raja Batak. Lantas dibuatlah suatu dalih bahwa Raja Aceh akan berkunjung ke Pasai, tetapi ternyata tidak ke Pasai melainkan menyerang dua buah kampung Batak bernama Jacur dan Lingua. Dalam penyerangan itu, Aceh berhasil menewaskan 3 orang putra Raja Batak dan tujuh ratus orang hulubalang yang merupakan prajurit terbaik sekaligus orang yang dimuliakan di Kerajaan Batak.
 
Gambar
 8: Situs Batu Hatak, sebuah patung yang dibentuk menyerupai katak. 
Berada di lokasi yang sama dengan situs Batu Gajah di dusun Pamatang 
desa Nagori Dolog Kecamatan Dolog Panribuan Kabupaten Simalungun. 
Penulis
 mengakui tidak banyak orang yang mengetahui kerajaan ini, hal ini 
terjadi akibat kurangnya publikasi dan upaya penelusurannya tidak 
komperehensif dan berlangsung secara berkesinambungan. Pada masa 
kejayaannya, wilayah kekuasaannya terbentang luas mulai dari daerah 
pedalaman Simalungun kemudian meluas ke pesisir Sumatera Timur, mulai 
dari Aceh di utara dan Riau di selatan. Bukti luasnya wilayah Nagur 
ditandai dengan adanya sejumlah tempat yang identik dengan bahasa 
Simalungun dan nama Nagur sendiri juga turut diabadikan untuk meneguhkan
 keberadaan daerah itu adalah bagian dari Nagur. Di tanah Karo, hingga 
saat ini masih bisa ditemukan sebuah kampung bernama Perjuman Nagur yang
 pada zaman dahulu dijadikan lokasi perladangan. Kampung kecil ini 
sekarang masuk desa Bintang Meriah Kecamatan Kuta Buluh, tanah Karo. 
Masih di kecamatan yang sama ada juga kampung bernama Bah Turak dan Bah 
Gorih yang kini beralih menjadi Beturah dan Bagerih, juga Liang Dahar, 
Liang Hajoran, dan Nagori Jahei. Di tanah Pakpak tepatnya di Kecamatan Si
 Empat Nempu ada sebuah kampung bernama Buntu Raja, kampung yang senama 
dengan itu juga terdapat di desa Sitanggor Kecamatan Muara Tapanuli 
Utara. Di Kecamatan Tanjung Beringin Serdang Bedagai, tepat di bibir 
pantai Bedagai ada sebuah kampung bernama Nagur. Barangkali pada zaman 
dahulu tempat ini pernah menjadi dermaga dan pusat perdagangan Nagur. Di
 tanah Simalungun sendiri masih bisa disaksikan ada kampung Nagur Usang,
 Nagur Bayu, Nagur Panei, Nagur Raja (kini berubah jadi Naga Raja), Nagur Laksa, Nagur Panribuan, Mariah Nagur, Nagur Dolog, dan Nagur Bolag. Di Tiga Runggu dan Tiga Dolog juga terdapat sebuah kampung
 bernama Parhutaan Nagur, di Tiga Dolok lokasinya agak jauh masuk ke 
pedalaman. Ada yang menduga kedua tempat ini pernah menjadi pusat 
pemerintahan Nagur. Di provinsi Riau ditemukan banyak nama tempat yang 
berlatar "pamatang" yang berarti badan atau ibukota, ini menjadi salah 
satu indikator yang membuktikan betapa luasnya pengaruh Nagur di zaman 
dahulu. Ada Pematang Peranap, Pematang Pudu, Pematang Reba, Pematang 
Tinggi, Pematang Tebih, dan Pematang Ibul.
Gambar
 9-12: Makam Raja-Raja Nagur dan keturunannya yang diperlihatkan oleh 
Tuan Subirman Damanik disaksikan tim Komunitas Jejak Simalungun. 
Kemajuan dan Perkembangan Nagur
Sebagai
 sebuah kerajaan yang besar dan kuat, Nagur sempat mengalami kejayaan 
selama lebih dari seribu tahun, di masa keemasannya wilayah kekuasaannya
 terbentang luas mulai dari Aceh di utara dan Riau di selatan hingga 
masuk ke pedalaman Danau Toba di barat dan perairan Selat Melaka di 
sebelah timur. Adapun lokasi yang menjadi pusat pemerintahan Nagur (pamatang),
 para peneliti sejarah Simalungun umumnya menyepakati bahwa lokasi awal 
yang menjadi ibukota Kerajaan Nagur berada di sekitar Pamatang Kerasaan 
sekarang masuk Kecamatan Pamatang Bandar tidak jauh dari kota 
Perdagangan, hal ini dibuktikan dengan adanya konstruksi tua bekas 
Kerajaan Nagur dari hasil ekskavasi yang dilakukan oleh para arkeolog 
(Holt 1967:26; Tideman, 1922:51). Sungai Bah Bolon yang berada di hilir 
daerah ini menjadi pelabuhan Nagur, di mananya alirannya terus sampai ke
 Selat Melaka. Lokasi lain yang diindikasikan pernah menjadi pusat 
Kerajaan Nagur adalah Partimalayu, Nagur Usang, Tiga Dolog, Tiga Runggu,
 dan Naga Raja. Tuan Subirman Damanik menjelaskan pada masa Raja Nagur 
terakhir istananya dibangun di tiga tempat, pertama di Parti Malayu yang
 didiami oleh permaisuri yang pertama, kedua di Raya, dan ketiga di 
Mariah Nagur. Biasanya perkampungan Nagur berada tidak jauh dari 
perairan, ada 3 tipikal pemukiman yang wajib didirikan oleh Raja Nagur, 
pertama bernama Silaon yang menjadi lokasi pemujaan kepada para luluhur,
 kedua Sigundaba menjadi tempat pemujaan bagi para panglima (puanglima) dan hulubalang (parsaholat),
 dan ketiga dinamakan Sigintora, lokasi ini dijadikan tempat pemujaan 
para panglima dan hulubalang untuk menghalangi datangnya penyakit dan 
menghalau musuh. Lokasi untuk balai pertemuan dengan para raja 
dipusatkan di Talun Parhuppuyan (Dolog Tinggi Raja).
Pada
 seminar sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara 
yang diadakan di Perlak Aceh Timur tahun 1980, sejarawan Anas Macmud 
menyampaikan makalahnya di hadapan para tokoh ulama dan sejarawan 
lainnya seperti Prof. Dr. Hamka, Prof. Ali Hasjmy, Dr. Ruslan Abdul 
Gani, Tengku Luckman Sinar, SH (budayawan Melayu), Muhammad Said (pendiri Harian Waspada), Dr. Lance Castles, Prof. Dr. Ibrahim Hasan, MBA, Prof. Dr. K. Das Gupta, Prof. Dr. Wan Hussein Azmy, Prof. A. 
Madjid Ibrahim, Abu Hassan Sham, MA, Drs. UU Hamidy, Drs. Zainuddin 
Mard, Timur Jailani, MA, Tengku Abdullah Ujung Rimba, Zainal Arifin 
Sregar, BSc, dan Prof. Ismail Hussein. Dia menceritakan secara singkat 
tentang Nagur sebuah kerajaan pedalaman yang wilayahnya sangat luas dan 
selalu bergandengan dengan Haru dan Pasai. Untuk membuktikan keberadaan 
Nagur, dia menyebutkan nama-nama tempat di Simalungun seperti Nagur 
Usang, Nagur Bayu, Parhutaan Nagur di Tiga Dolog dan Tiga Runggu. Dia 
juga menyinggung tentang Panai, sebuah kerajaan tua yang tercatat dalam "Tanjore Inscription" yang dibuat pada masa Raja Rajendra Chola I dan 
berangka tahun 1030 M. Dalam hubungannya dengan Panai, dia juga 
menyebutkan tentang banyaknya nama Panai di Simalungun.
Pada
 masa kejayaannya, selain dengan Tiongkok, Nagur juga pernah menjalin 
interaksi perdagangan dengan Kerajaan Persia memperdagangkan komoditi 
ular tikar (balun bigou/bidei) untuk dijadikan permadani yang 
dilatih agar bisa terbang dan  membawa dua orang di punggungnya. Ukuran 
ular ini 7 meter dan lebarnya 1,5 x 3 meter. Bukti adanya pengaruh 
budaya Persia ke tanah Simalungun, diantaranya banyaknya ditemukan 
terminologi "bandar", terminologi Persia ini kemudian diabadikan menjadi
 nama pemukiman di Simalungun seperti Mariah Bandar, Marihat Bandar, 
Bandar Masilam, Pamatang Bandar, Nagori Bandar, Bandar Huluan, Bandar 
Kaheian, Bandar Buntu, Bandar Silou, Bandar Jawa, Bandar Tongah, Bandar 
Tinggi, Bandar Siantar, Bandar Hataran, Bandar Manik, Bandar Hinalang, 
Bandar Tongging, Bandar Maruhur, Bandar Nagori, dan Bangun Bandar. Dalam
 Pustaha Parpadanan Na Bolag, Kerajaan Nagur digambarkan sebagai suatu 
kerajaan yang kaya dan jaya, di mana ibu negerinya (pamatang) 
memiliki benteng yang kuat, berpagar besi, pintu gerbangnya disebut 
"layar-layar" terbuat dari "Tumbaga Holing" dan gemboknya terbuat dari 
perak. Sementara Pustaha Parmongmong Bandar Syahkuda seperti yang 
dituturkan Tuan Alep Damanik menyatakan bahwa istana Raja Nagur berada 
di Tolbak Pargambirian.
Pada 
zamannya, daerah Nagur terkenal dengan kekayaan sumber daya alamnya dan 
menjadi komoditi yang sering diperdagangkan kepada kerajaan dan bangsa 
lain dari luar Sumatera, seperti rotan, damar, sena, gaharu, nibung, 
jelutung, merbau, rambung merah (balata), dan juga produsen madu yang berlimpah yang dibudidayakan dengan memanfaatkan pohon rambung merah dan kayu raja (tualang) sebagai sarang lebah madu (huramah). Madu yang diperdagangkan Nagur terbagi dua, ada madu lebah yang terasa manis dan ada juga madu lalat (bonbon) yang terasa asam manis. Sarang madu yang disebut hotihoti juga turut diperdagangkan, sarang madu ini digunakan untuk pembungkus 
obat, logam berharga, dan untuk bahan baku lilin. Tempat penyimpanan 
obat dan barang berharga biasanya ditaruh dalam lubang tanduk atau 
lubang tulang hewan dan bambu (abalabal), setelah di tutup 
rapat bagian luar ditempeli sarang madu. Adapun getah rambung merah 
biasanya digunakan untuk merekatkan kulit kayu gaharu untuk membuat 
kain, getah yang akan diperdagangkan diolah dengan cara batang-batang 
rambung merah dibelah berkeping-keping getahnya dibiarkan mengalir. Tiga
 minggu kemudian karet tersebut dikelupas lalu ditaruh dalam peti, di 
atas getah tersebut diletakkan kayu besar untuk menekannya dan dibiarkan
 selama tiga minggu agar semuanya merekat menjadi satu. Getah rambung 
merah juga diolah untuk jadi minyak tanah dengan cara dicairkan, getah 
damar dimasak dicampur dengan air perasan serai (sanggesangge) dan air perasan buah jarak (dulang)
 yang sebelumnya ditumbuk halus. Setelah getah cair dapat digunakan 
sebagai minyak tanah. Pihak Nagur juga menjual getah dari kayu damar 
yang dibungkus dengan pelepah pinang dan juga sihat (lempengan 
seperti damar yang berasal dari semut biasanya digunakan untuk perekat 
gagang pisau dan obat muntaber). Komoditi alam ini kemudian diangkut 
melalui sungai dan sering memanfaatkan goa yang ada di pinggir sungai 
sebagai gudang dan transit sementara sebelum sampai ke laut. Setelah 
sampai di laut, para saudagar Nagur juga memanfaatkan pulau-pulau kecil 
seperti pulau Batu Beranak dan pulau Pandan sebagai gudang dan juga 
pelabuhan.
Kerajaan Nagur pada zaman dahulu terkenal sebagai tempat mencari penghidupan (pangaldungan)
 bagi para penduduk baik di lingkungan Nagur maupun dari luar Nagur. 
Raja Nagur sangat peduli terhadap kesejahteraan rakyatnya, tidak ada 
penindasan dan kesewenangan dari keluarga bangsawan terhadap golongan 
yang lemah, meski sistem pemerintahan yang dijalankan bersifat feodal, 
namun kebenaran sebagai falsafah hidup tetap menjadi pedoman dalam 
menjalankan pemerintahan. Falsafah hidup "Habonaron Do Bona Hajungkaton 
Sapata" sudah mengejewantah dalam kehidupan orang Simalungun sejak lama.
 Keselarasan hubungan yang diwujudkan dalam penerapan falsafah adat 
"Tolu Sahundulan Lima Saodoran Waluh Sabanjaran" menjadi pilar perekat 
antara rakyat dengan para pemimpinnya. Di bawah kekuasaan Raja Nagur, 
rakyatnya hidup aman, damai, dan sentosa, keselamatan mereka terjamin, 
kekayaan alam melimpah, dan ketersediaan bahan pangan memadai, semua 
inilah yang mendasari rakyat Nagur hidup sejahtera. Raja Nagur juga 
menjalin persahabatan dengan kerajaan-kerajaan tetangga seperti 
Sriwijaya dan Panai, ketika Panglima Indrawarman bersama pasukannya datang ke Simalungun dalam rangka misi ekspedisi Pamalayu, Raja Nagur memanfaatkan jasa para pasukannya dari kalangan suku Jawa
  berjumlah 1.000 orang 
untuk ditugaskan memindahkan bagian hulu sungai Bah Humpawan ke sungai Bah 
Ambalotu. Sebelum melakukan pengerjaan, mereka mengadakan perundingan di Talun Parhuppuyan (Dolog 
Tinggi Raja). Sungai Bah Ambalotu diperbesar bertujuan 
agar dapat mengairi persawahan di sekitar aliran sungai tersebut sampai ke Dolog Masihol. 
Mereka menamakan sungai tersebut dengan Ambalotu mengikuti nama sungai 
Ambalotu di Asahan, anak sungai Silou yang menjadi basis seluruh bala 
tentara Jawa. Peristiwa ini juga mengawali munculnya nama kampung Saribu
 Jawa di Simanabun, Silou Kahean.
Dalam pustaha
 Nagur tercatat sejumlah nama tokoh yang menjadi ingatan di kalangan 
keturunan Nagur, seperti Sang Majadi Damanik, Saduk Dihataran Damanik, 
Sang Mahiou Damanik, Jigou Dihataran Damanik, Sangma Doriangin Damanik, 
dan puteri Anggaraini boru Damanik. Dalam Pustaha Parmongmong Bandar 
Sahkuda dikisahkan bahwa Sang Ni Alam disebut Raja Pasir Samidora 
(Samudera Pasai) menikah dengan puteri Raja Nagur, Sang Majadi Damanik 
yang bernama Sang Mainim, karena isterinya enggan memeluk Islam lalu 
memutuskan pergi meninggalkan Pasai dan kembali ke Kerajaan Nagur. 
Akibatnya meletus perang tanding antara Raja Pasir Samidora dengan Raja 
Nagur. Adapun cabang-cabang marga Damanik yang hidup di zaman Nagur 
adalah Damanik Nagur, Rampogos, Sola, Malayu, Sarasan, Rih, Hajangan, 
Simaringga, Usang, dan Bayu. Kemudian keturunan Damanik yang mendiami 
pulau Samosir kembali hijrah ke tanah Simalungun, seperti Limbong, 
Sagala, Malau, Manik, Ambarita, dan Gurning. Pada masa terjadinya 
pergolakan di lingkungan Kerajaan Nagur, rakyatnya banyak mengungsi ke 
Pulau Samosir untuk menyelamatkan diri, proses migrasi ini terjadi 
sekitar tahun 1200 Masehi. Pendapat ini didukung oleh hasil penggalian 
arkeologi yang diadakan oleh Badan Arkeologi Medan beberapa tahun lalu 
di Sianjur Mulamula, tempat ini oleh orang Toba diyakini sebagai asal 
mula leluhur mereka Si Raja Batak. Dari hasil ekskavasi dan penggalian 
tersebut diketahui ternyata Sianjur Mulamula baru dihuni manusia sekitar
 600 (/+-200) tahun yang lalu. Kepala Balai Arkeologi Medan Ir. Ketut 
Wiradyana, M.Si menegaskan bahwa Pusuk Buhit tidak pernah menjadi tempat
 hunian karena wilayah tersebut dianggap sakral. Hasil temuan ini sudah 
diseminarkan di Universitas Negeri Medan (UNIMED) tanggal 9 Januari 2015
 lalu dengan tema "Telaah Mitos dan Sejarah Asal Usul Orang Batak", 
tampil sebagai pembicara Prof. Dr. Uli Kozok dari University of Hawai, 
Kepala Balai Arkeologi Medan Ir. Ketut Wiradyana, M.Si, dan Guru Besar Antropologi UNIMED Prof. Dr. 
Bungaran Antonius Simanjuntak.
Bangun dan Runtuhnya Nagur
Pada
 abad 13, kerajaan ini mulai mengalami kemunduran pasca berkembangnya 
Kerajaan Haru, Perlak, dan Pasai, persaingan kekuasaan semakin sengit 
dan peperangan juga kian marak. Para penguasa-penguasa baru ini sangat 
berperan dalam merongrongkan Nagur, akibatnya Nagur semakin terpuruk. 
Nagur yang sebelumnya sempat mengalami kelumpuhan akibat serbuan 
Kerajaan Chola dari India Selatan yang datang menyerang ke pulau 
Sumatera selama 2 kali yaitu tahun 1017 dan 1025 Masehi. Seperti yang 
direkam oleh penjelajah asal Maroko, Abu Abdullah Muhammad bin Batuthah 
(1304-1368) yang berkunjung ke Samudera Pasai tahun 1345 Masehi, 
kemudian meneruskan perjalanannya ke Kanton Cina lewat jalur Malaysia 
dan Kamboja. Dia mengisahkan akibat dari agresi Chola terhadap Nagur, 
kerajaan ini menjadi porakporanda yang mengakibatkan daerah taklukannya 
banyak yang memerdekakan diri. Pihak Chola mengetahui bahwa Kerajaan 
Panai yang berpusat di Padang Lawas dan Nagur di Simalungun merupakan 
kerajaan yang kuat dan cukup berpengaruh di pulau Sumatera dan menjadi 
sekutu dari Sriwijaya yang sama-sama penganut agama Buddha. Pada 
prasasti Tanjore, Nagur disebut dengan Nakkawaram, kerajaan yang 
memiliki kebun madu berlimpah. Keturunan Damanik Sola yang berdiam di 
Pulau Batu Beranak saat diserang pasukan Chola, Raja Nagur lalu 
memerintahkan agar membalas serangan itu dengan senjata panah beracun (sior ipuh).
 Pasukan Nagur mengejar bala tentara Chola sampai ke Pulau Pandan, 
mereka yang terjebak di pulau itu tiada seorang pun yang selamat, 
seluruhnya gugur akibat keganasan panah beracun dari pasukan Nagur. 
Keturunan Damanik yang selamat dari serangan Chola ini kemudian dikenal 
dengan Damanik Sola. Pulau Batu Beranak yang menjadi kediaman golongan 
Damanik Sola ini berada di seberang Pagurawan Kabupaten Batubara, dapat 
ditempuh dengan menggunakan kapal ferry. Sekarang pulau ini sudah tidak 
lagi berpenghuni hanya sejumlah pekuburan tua yang bisa kita saksikan di
 tempat ini. Pada masa itu wilayah penyebaran keturunan Nagur sampai ke 
Pulau Berhala yang kini masuk Kabupaten Serdang Bedagai dan juga Pulau 
Pandan yang berada di sebelah utara Kecamatan Tanjung Tiram Kabupaten 
Batubara, kurang lebih 3 jam dari dermaga Tanjung Tiram. Demikian juga 
Pulau Sembilan yang kini masuk daerah Perak Malaysia (Pulau Sembilan 
terdiri dari Pulau Rumbia, Lalang, Saga, Buluh, Samak, Nipis, Agas, 
Miskin dan Nyamuk), hingga Pulau Sarasan dekat Kalimantan yang kini 
masuk Kecamatan Natuna Kepulauan Riau. Pulau Sarasan inilah menjadi 
tempat pelarian golongan Damanik Sarasan sewaktu mereka diburu oleh para
 musuh Nagur.
Untuk menstabilkan 
kedudukannya, wilayah kekuasaan Nagur di sebelah hilir hingga Asahan 
diserahkan kepada panglimanya marga Saragih yang kemudian mendirikan 
Kerajaan Batangiou, peristiwa ini terjadi sekitar abad 12. Raja 
Batangiou ini menikah dengan puteri Nagur dari keturunan Damanik 
Simargolang yang berkuasa di Tanjung Balai (Urung Balei) hingga Pulau 
Raja Asahan. Wilayah kekuasaan Batangiou ke barat berbatasan dengan 
Nagur, ke utara mulai dari Pamatang Tanoh Jawa sampai daerah Batu Bara 
dan ke timur berbatasan dengan Kerajaan Simargolang hingga ke Pantai, 
kerajaan ini memerintah selama sebelas generasi. (Tideman, 1922: 12). 
Wilayah Nagur kian menyusut hanya mencakup Dolog Silou, Raya, Panei, 
Purba, dan Silima Huta (Moolenburg, 1909: 555) terus ke tanah Karo, 
sebagian tanah Pakpak, dan pesisir timur dari Tebing Tinggi sampai 
Langkat. Brahma Putro dalam bukunya Karo Dari Jaman Ke Jaman 
mengemukakan, pada zaman dahulu di tanah Karo terdapat Kerajaan Nagur 
yang diperintah oleh marga Ginting Pase, yang berpusat di Kuta Pase 
dekat Sari Nembah Kecamatan Munte sekarang. Kerajaan ini tunduk dibawah 
kekuasaan Nagur yang berpusat di Tiga Runggu, wilayah kekuasaannya 
meliputi sebelah selatan Lau Biang, dari Tongging sampai Kuta Bangun dan pegunungan Sampe Raya. Di daerah 
pusatnya di Simalungun, muncul penguasa baru yang melepaskan diri dari 
Nagur seperti Kerajaan Manik Hasian yang berpusat di Simanjoloi, 
Kerajaan Jumorlang di Jorlang Huluan, dan Kerajaan Riou (Amin Damanik 
& Jaramen Damanik, 1976 : 11).
Gambar
 13: Situs Nagur berupa nisan, tampak pada foto Hendry Damanik dan 
Franswell Fabo Saragih Sumbayak dari tim Komunitas Jejak Simalungun. Situs Nagur banyak yang 
hilang dan hancur akibat penggusuran yang dilakukan oleh pihak perkebunan. 
Pada tahun 
1275-1295, ekspansi politik Kerajaan Singosari melalui gerakan ekspedisi
 Pamalayu juga turut meluas ke kerajaan Nagur, namun tidak diketahui 
dengan pasti apakah pada masa itu sempat terjadi konflik antara bala 
tentara Singosari dengan rakyat Nagur. Para 
pasukan Jawa berkoalisi dengan pasukan Dharmasraya Jambi yang dikomandoi Panglima Kebo Anabrang dan 
pembantunya Panglima Indrawarman seorang keturunan Melayu-Minangkabau, mereka memusatkan kedudukan di sekitar muara Sungai Asahan 
(Wibawa, 2001:14-15). Sebelum bergerak ke Nagur, pasukan Indrawarman 
awalnya menaklukkan daerah Siak, Rokan, dan Kandis di Riau. Kemudian 
pada tahun 1289 baru perhatian mereka mengarah ke wilayah Andalas 
(Sumatera Barat), terus Mandailing, Panai, hingga sampai ke Asahan. 
Pasukan mereka dibagi ke dalam beberapa divisi atau batalyon, sebagian 
tetap bertahan di Asahan, selebihnya menuju Haru, Kampai, Tamiang, 
Perlak, Samudera Pasai, dan Lamuri. Jejak-jejak daerah yang dilintasi 
oleh ekspedisi Pamalayu ini dicatat dengan lengkap pada kitab 
Negarakertagama (Desawarnana). Di tengah mengemban tugas, di luar dugaan
 mereka di Singosari terjadi pemberontakan yang dilancarkan oleh 
Jayaktawang Raja Kediri dibantu puteranya Ardharaja yang menjadi menantu
 Kertanegara. Peluang ini dimanfaatkan Jayakatwang untuk menggulingkan 
kedudukan Kertanegara karena pada saat itu sebagian besar senopati 
(panglima) dan pasukan-pasukan Singosari terlibat dalam ekspedisi 
Pamalayu, sehingga benteng pertahanan di lingkungan istana Singosari 
sangat lemah. Mendengar pemberontakan yang terjadi, Kebo Anabrang lalu 
mengimbau sebagian besar pasukannya agar kembali ke pulau Jawa, Panglima
 Indrawarman diperintahkan agar tetap bertahan di Sumatera Timur guna 
menjaga stabilitas daerah-daerah koloni yang berhasil mereka taklukkan.
Kerajaan
 Pasai turut mengembangkan pengaruhnya ke Sumatera Timur, kelemahan 
Nagur dijadikan peluang untuk menyerang Nagur, menghadapi invasi Pasai 
ini Nagur benar-benar kewalahan, sejumlah wilayah kekuasaan Nagur di 
bagian pesisir berhasil direbut. Pada pertempuran ini panglima Nagur 
dengan keberaniannya terlebih dahulu memasuki wilayah Pasai, pasukannya 
tertinggal di belakang, akibatnya pasukan Pasai dengan mudah mengalahkan
 panglima Nagur, dia kemudian terdesak sampai ke jurang di tepi laut dan
 terjerumus ke dalamnya. Pasukan Pasai mengira dia sudah mati, namun 
ternyata dia masih hidup, mereka lalu pergi meninggalkannya. Untuk menyelamatkan dirinya panglima ini 
kemudian meniup Salohap untuk mengundang sekelompok hewan agar 
datang membantunya, tidak lama kemudian datanglah seekor penyu yang 
membawanya ke tepi pantai, kambing hutan membawanya dengan mendekapkan 
tubuh sang panglima pada perutnya, dan ular sawa melilitnya lalu 
membawanya ke atas bukit. Sesampainya di bukit, seekor biawak juga 
datang membantu untuk menunjukkan jalan, kemudian disusul seekor harimau
 membawanya melewati para musuh, dan terakhir seekor burung tuldik
 yang bertugas mengacaukan perhatian para musuh agar jejak panglima 
tersebut tidak diketahui. Berkat jasa besar yang diberikan sekelompok 
hewan ini sehingga mendasari keturunan Nagur dari golongan Damanik 
Malayu dipantangkan memakan penyu, kambing hutan, ular sawa, biawak, 
harimau, dan burung tuldik.
Gambar
 14-15: Penulis bersama Kepala Museum Simalungun Bapak Drs. Jomen Purba 
berdiri dekat batu catur peninggalan Raja Nagur di Museum Simalungun, 
Kota Pamatang Siantar 
Setelah 
berhasil selamat, perang kembali meletus namun tidak berselang lama, 
pihak Nagur dan Pasai memutuskan berdamai, pada masa inilah salah 
seorang keturunan Nagur ikut serta ke Pasai mendampingi perjalanan 
mereka. Panglima Nagur ini kemudian menikah dengan puteri Pasai dan 
membentuk pemerintahan baru di sekitar Bireuen meluas hingga ke Pidie 
yang tunduk pada Pasai. Panglima Nagur yang berangkat ke Aceh ini adalah
 keturunan dari panglima Nagur yang berperang melawan pasukan Raja Chola
 tahun 1025 di Pulau Batu Beranak. Keluarganya menitipkannya di Sokkur 
dan lahir di sana, akhirnya dia juga tumbuh menjadi seorang panglima 
menghadapi pasukan Pasai. Berbeda dengan penjelasan Nurdin Damanik dan 
Kadim Morgan Damanik, keduanya mengatakan di tengah pergolakan antara 
Nagur dan Pasai, salah seorang keturunan Nagur yang dikenal dengan Marah
 Silou pergi mengundurkan diri ke arah selatan Nagur yaitu Tapanuli 
Selatan menunggu keadaan aman. Dia berencana ingin mendirikan Kerajaan 
Nagur kembali, tetapi tidak berhasil karena keadaan di Selat Malaka 
tidak stabil, di mana terjadi perebutan kekuasaan antara Sriwijaya dan 
Haru sehingga tidak memungkinkan beroperasinya pelabuhan Sang Pang To di
 Perdagangan. Dia lalu pergi melanglangbuana ke Aceh, di hulu sungai 
Pasai daerah Pidie dia membentuk pemerintahan baru yang tetap berinduk 
pada Kerajaan Nagur yang ada di Simalungun (1200-1285). Dalam buku 
Tarich Aceh dan Nusantara karangan HM Zainuddin (1961) disebutkan pada 
tahun 1394 M Laksama Pasai yaitu Rabath Abdul Kadir Syah dari Nagur di 
Pedir (Pidie) melakukan kudeta dan menyerang Pasai, dia berhasil 
membunuh Sultan Zainal Abidin Malik Az-Zahir. Laksamana Nagur ini 
kemudian menggantikan kedudukan sebagai penguasa Samudera Pasai bergelar
 Maharaja Nagur Rabath Abdul Kadir Syah, dia memerintah selama enam 
tahun (1394-1400). Raja inilah yang berjasa mempertahankan Samudera 
Pasai ketika diserang oleh Majapahit tahun 1377-1378. Akibat gejolak 
ini, sejumlah keturunan bangsawan Pasai yang enggan tunduk dibawah 
kekuasaannya kemudian pergi meninggalkan Pasai menuju pesisir barat 
Aceh, di tempat ini mereka mendirikan sebuah pemukiman bernama Kuala 
Daya. Ali Hasjmy dalam bukunya berjudul "Wanita Aceh" selanjutnya 
mengisahkan, sang laksamana Nagur ini kemudian dibunuh oleh perwira 
bawahannya, Syahbandar Pasai bernama Arya Bakoy. Setelah membunuh 
Laksamana Nagur, dia lalu meminang janda Sultan Zainal Abidin 
Malik-Az-Zahir dan menjadi ayah tiri Ratu Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu. 
Keberadaan Nagur di Aceh ini pertama kali diteliti oleh Gerrit Pieter 
Rouffaer (1860-1920), menurutnya Nagur di Aceh termasuk bagian dari 
Nagur di Simalungun.
Pasca runtuhnya Pasai tahun 1521 oleh serangan Portugis, Kesultanan Aceh bangkit dan berniat menguasai wilayah Sumatera Timur. Bangsa Portugis datang pertama kalinya ke nusantara dan berhasil menaklukkan Malaka tahun 1511, kejatuhan Malaka ini menjadi pintu masuknya kolonialisasi Eropa di kawasan nusantara. Pada masa inilah, Kerajaan Nagur melakukan kontak perdagangan dengan Portugis. Pada tahun 1539 untuk pertama kalinya Aceh melancarkan gerakan reunifikasi ke seluruh Sumatera Timur, sasaran ekspansinya di antaranya Nagur. Pada peperangan ini, Portugis turut mengerahkan bala tentaranya membantu Nagur dan juga menyediakan persenjataan dan amunisi. Sebagaimana hasil dokumentasi Ferdinand Mendez Pinto yang sudah diuraikan di atas, pihak Aceh sempat mengalami kekakalahan menghadapi kekuatan pasukan Nagur yang bersenjatakan panah beracun. Namun kemenangan ini tidak berlangsung lama, karena bala bantuan dari Turki dan Minangkabau datang membantu memperkuat pasukan Aceh. Wilayah Nagur yang berada di Aceh berhasil diduduki, yaitu Jakur dan Lingua. Akibat mengalami kekalahan yang sangat berat, Nagur kemudian menyerah dan dengan resmi mengaku tunduk pada Aceh. Sejak itu Aceh sepenuhnya menguasai wilayah Sumatera Timur.
J. 
Tideman dalam bukunya Simeloengoen: het land der Timoer-Bataks in zijn 
vroegere isolatie en zijn ontwikkeling tot een deel van het 
cultuurgebied van de Oostkust van Sumatra hal. 52-53, dia mengisahkan 
tentang salah seorang raja Nagur yang sangat gemar bermain catur. Di 
mana ketika dia terjebak dalam peperangan dan musuh sudah mendekat, 
bahkan sudah diperingatkan akan ancaman musuh tetapi dia tetap 
memperhatikan permainan caturnya. Hanya ungkapan “syah...syah” yang 
keluar dari mulutnya. Ketika musuh menyerbu bentengnya, dia akan dibunuh
 apabila tidak menyerahkan batangan emas hasil judinya. Demi 
keselamatannya, hasil judi tersebut kemudian dia serahkan kepada pihak 
musuh sehingga mereka saling berebut untuk mendapatkannya, di tengah 
kondisi ini dia pergi meloloskan diri. Dari sini diketahui bahwa 
permainan catur sudah lama dikenal orang Simalungun, pada zaman dahulu 
untuk memindahkan potongan-potongan buah catur diserahkan kepada para 
budak. Di seberang Bah Sawa menjulang Gunung Datas, sekelompok bukit 
dengan puncak daratan, gunung ini menjadi saksi bisu kisah permainan 
catur antara Tuan Batangiou dan Tuan Silou Malaha dari Nagur. Keduanya 
sepakat bermain catur di Buntu Parsaturan dekat Gunung Datas. Pada hari 
yang disepakati mereka bertemu, masing-masing disertai anak buah yang 
berjumlah cukup banyak. Dalam permainan ini, keduanya mempertaruhkan 12 
orang budak, dalam sehari hanya tiga atau empat kali mereka melakukan 
permainan bahkan pernah juga hanya dua atau tiga kali. Tanpa disadari, 
permainan ini berlangsung satu tahun lamanya dan Tuan Silou Malaha 
akhirnya kalah dibuat Tuan Batangiou. Tetapi Tuan Silou Malaha tidak 
terima atas kekalahan itu, dia tidak mau membayar taruhan kepada Tuan 
Batangiou justru dia kembali ke Silou Malaha di dusun Bahal Gajah dekat 
Siantar.
Tuan Batangiou kemudian 
berusaha meminta ganti rugi lewat sejumlah warga Silou Malaha dan 
membawa mereka ke Batangiou. Karena tidak menemukan penyelesaian, 
akibatnya meletuslah perang. Tuan Batangiou memiliki Bodil Pamuras 
(sejenis senjata api dengan Tunam, bahan pembuat mesiu yang banyak 
ditemukan di makam kaum bangsawan Simalungun). Peperangan ini 
berlangsung selama setahun, kuda Tuan Batangiou terluka parah dan 
menjadi pincang. Karena itu tempat ini disebut Huda Sitajur, ketika 
musuh mendekati benteng Tuan Batangiou, Huda Sitajur sudah tidak bisa 
lagi berfungsi seperti yang diharapkan. Oleh karena itu, seorang budak 
bernama Si Jalak Lenteng membawa kuda buruan bernama “Huda Bunga-Bunga”.
 Bersama kuda ini dia membawa lari Tuan Batangiou ke Siantar, namun 
keberuntungan tidak berpihak pada mereka, mereka berhasil tertangkap dan
 terbunuh. Sebelum kematiannya, Si Jalak Lenteng terus berusaha 
menembaki musuh dengan Bodil Pamuras, meskipun senjata itu tidak berisi 
peluru maupun mesiu, namun dengan penuh keberanian dia berteriak “Dengar
 kami, kami masih memiliki sedikit mesiu dan juga peluru. Apabila ada 
yang maju, mereka akan tertembak; dia tidak akan bersuara kecuali bumi 
yang memiliki tubuhku dan angin memiliki jiwaku, hanya nyamuk yang 
datang dan rayap yang merayapiku, saya akan mati bila waktunya tiba”. Di
 tengah kericuhan itu, warga Batangiou lantas memilih meninggalkan 
kampung mereka termasuk penduduk yang mendiami Gunung Datas menuju Onggo
 Sipoldas Panei.
Bukti Arkeologis Tentang Nagur
Pada
 saat penggalian dan penjelajahan yang dilakukan Tim Komunitas Jejak 
Simalungun yang diketuai Sultan Saragih bersama Hendry Damanik dan 
Franswell Fabo Sumbayak terhadap situs Nagur di desa Sokkur Raya Kahean,
 Simalungun. Didampingi Tuan Subirman Damanik, mereka berhasil 
mendokumentasikan sejumlah situs Nagur seperti Liang Bokkou yang pada 
zaman dahulu menjadi tempat hunian penduduk Nagur sebelum mengenal 
pembuatan rumah, mereka belum mengenal sistem pertanian hanya memakan 
tumbuh-tumbuhan dan berburu binatang dan ikan di sekitar Unong Sidamanik
 jaraknya 20 meter dari lokasi goa. Ada juga Liang Sigundaba atau Liang 
Hamateian, tempat penyimpanan abu jenazah 46 keturunan Raja Nagur. Jalan
 masuk dari mulut gua sekitar 90 x 90 centimeter. Lorong ini sepanjang 5
 meter, setelah itu ditemukan ruang gua berukuran lebih kurang 4 x 3 
meter dengan ketinggian ke langit-langit sekitar 2 meter, tidak jauh 
dari situ mereka kembali menemukan lorong sebesar 1 x 90 centimeter 
sepanjang 6 meter. Di kebun Parbatu (dekat Tebing Tinggi) terdapat dua 
gua peninggalan Nagur yang bernama Liang Tanggiripan Tunggal dan Liang 
Tanggiripan Boruboru. Selain itu ada juga situs batu nisan peninggalan 
Nagur, situs Nagur banyak yang hilang akibat penggusuran yang dilakukan 
oleh pendirian perkebunan dan pabrik-pabrik yang dimulai sejak zaman Belanda hingga masa kemerdekaan.
Gambar
 16: Liang Bokkou, merupakan tempat tinggal dari penduduk Nagur sebelum 
mengenal pembuatan rumah, mereka belum mengenal sistem pertanian hanya 
memakan tumbuh-tumbuhan dan berburu binatang dan ikan di sekitar Unong 
Sidamanik jaraknya 20 meter dari lokasi goa. 
Jasad para penguasa Nagur, mulai dari Darayad Damadik hingga 45 keturunan sesudahnya ditempatkan dalam peti kayu bernama Batang Tahuran.
 Peti jenazah ini terbuat dari kayu gelondongan berbentuk bulat yang 
dilubangi dengan pahat, usai jenazah dimasukkan ke dalam peti lalu 
diletakkan dalam posisi miring di sebuah gubuk yang telah dipersiapkan. 
Posisi sebelah kaki lebih rendah dan di bagian ujung terdapat lobang 
yang dihubungkan dengan sebilah bambu sebagai selang, bagian bawah 
dihubungkan dengan lobang ke tanah. Posisi kepala diletakkan lebih 
tinggi, pada lobang yang dihubungkan dengan bambu lalu dihubungkan ke 
ruang perapian di bagian bawah agar asap dapat masuk ke dalam peti 
jenazah. Sesuai kesepakatan jenazah itu kemudian dibiarkan dalam peti 
hingga beberapa waktu, setelah jasadnya menjadi kerangka lalu 
dipindahkan ke dalam Batang Tahuran berukuran + 2 hasta lalu ditempatkan di bagian depan rumah dekat pintu masuk (luluan). Pihak keluarga kembali berembug untuk memindahkan kerangka tersebut ke dalam Batang Tahuran Batu
 (peti batu yang telah dilubangi dengan pahat) untuk ditempatkan di 
dalam Liang Silaon yang berada di Sokkur. Prosesi terakhir, setelah 
seluruh tulang belulangnya remuk menjadi abu, abu tersebut lalu 
dibungkus dengan kulit kayu gaharu (alim) oleh saudari ayahnya (amboru) untuk dimasukkan ke dalam goa kering (Liang Nakorah)
 di Liang Sigundaba. Gua ini merupakan tempat pemujaan bagi leluhur 
Nagur generasi awal. Selain ini ada lagi sebuah gua bernama Liang 
Sigundaba Parpogeian yang menjadi lokasi pemujaan para panglima dan 
hulubalang. Wafatnya Raja Nagur generasi ke 46 menjadi akhir dari 
kejayaan Nagur, seiring dengan itu runtuhlah bilik-bilik tempat 
penyimpanan kerangka dalam goa kering di Liang Silaon, maka kerangka 
tujuh generasi sesudahnya tidak lagi ditempatkan dalam goa kering 
melainkan hanya ditaruh dalam Batang Tahuran Batu. Upacara adat (horja bolon) yang diselenggarakan sekali dalam 7 tahun, terakhir diadakan di penghujung abad 19 Masehi.
Gambar
 17: Liang Sigundaba atau Liang Hamateian, tempat penyimpanan abu 
jenazah 46 keturunan Raja Nagur. Jalan masuk dari mulut gua sekitar 
90x90 centimeter. Lorong ini sepanjang 5 meter. Setelah itu akan 
ditemukan ruang gua berukuran lebih kurang 4x3 meter dengan ketinggian 
ke langit-langit sekitar 2 meter, setelah itu kembali menemui lorong 
sebesar 1x 90 centimeter sepanjang 6 meter. 
Di
 Sorba Jahei ditemukan kepingan batu nisan berbentuk trisula dekat 
sebuah makam di kawasan perkebunan P.T. Good Year, terdapat ukiran pinarmombang
 pada trisula ini yang melambangkan mahaguru perwujudan dari Dewa 
Ganesha yang mampu mengatasi berbagai masalah di tengah masyarakat. 
Ukiran bagian bawah adalah jombut uou melambangkan burung 
merak yang mewakili Dewa Kumara (dewa perang dan penolak bala) yang 
berarti bentuk penghormatan dan penghargaan. Bila dilihat dari 
bentuknya, patung ini sepertinya lebih tua dari situs peninggalan Buddha
 yang ada di Portibi Padang Lawas Utara. Di wilayah ini pada zaman 
dahulu menjadi benteng pertahanan (hubuan) Kerajaan Nagur, benteng pertahanan ini dikelilingi oleh parit yang dibentuk dengan cara menaburkan serbuk racun Sibiangsa, tanah akan longsor dengan sendirinya bila ditaburi serbuk ini hanya pintu gerbang (horbangan)
 yang tidak ditaburi serbuk sibiangsa. Di kawasan ini ditemukan banyak 
kuburan batu berusia tua dan juga ukiran aksara kuno, aksara ini berbeda
 dengan aksara Simalungun yang kita kenal sekarang ini dan kemungkinan 
usia aksara ini lebih tua. Selain itu di sekitar patung dan kuburan batu
 tersebut terdapat sejumlah peluru umbalang (sejenis alat pelontar yang diayun).
Kemudian
 kompleks megalithik batu gajah peninggalan agama Buddha yang telah 
diteliti oleh tim arkeologi Medan yang diperkirakan berasal dari abad 5 
Masehi. Situs ini berada di dusun Pamatang desa Nagori Dolog Kecamatan 
Dolog Panribuan Kabupaten Simalungun yang diapit dua aliran sungai, Bah 
Kisat dan Bah Sipinggan. Pada masa Kerajaan Nagur, kompleks ini menjadi 
tempat pelaksanaan upacara pemujaan roh leluhur. Untuk mempermudah 
menuju setiap undakan maka dibuatlah tangga, bentuk-bentuk binatang 
tertentu memiliki makna simbolik masing-masing. Sedangkan ceruk-ceruk di
 dinding dan sekitar batu agasan diperkirakan merupakan tempat peletakan
 sesaji atau persembahan. Jenis-jenis binatang yang dipahatkan adalah 
binatang yang hidup di daerah sekitar situs, yaitu gajah, harimau, dan 
ular. Bangunan berundak terdiri dari unsur pahatan di atas permukaan 
batu berupa relief, patung, dan kubur. Di lokasi yang sama terdapat juga
 situs Batu katak, Batu Ulog, Batu Losung, dan Batu Karang yang 
seluruhnya berjumlah 1 buah. Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda 
ditetapkan sebagai daerah larangan atau Natuurmonument pada tahun 1924, 
surat bersertifikat Zelfbestuur Besluit 1924 No. 24 tanggal 16 April 
1924. Pada sertifikat diterangkan luas area 0,80 ha, pihak pemerintah 
telah menetapkan daerah tersebut menjadi pusat Cagar Alam dan saat ini 
menjadi wilayah kerja Seksi Wilayah Konservasi II Rantau Prapat, Balai 
KSDA Sumatera Utara II.
Relik-relik 
peninggalan Nagur lainnya, masih dapat dijumpai berupa konstruksi tua 
bekas kerajaan Nagur di Pamatang Kerasaan, yang telah dilakukan 
ekskavasi oleh para arkeolog (Holt 1967:26; Tideman, 1922:51). Hasil 
ekskavasi yang dilakukan Asisten Residen Simalungun J. Tideman di 
sekitar Buntu Parsaturan di aliran kanan sungai Bah Sawa (daerah Panei) 
arah hulu dari Panei, dia menemukan sebuah patung batu dalam sikap duduk
 (patung itu kini berada di Balai Pengadilan Pematang Siantar). Demikian
 juga di desa Bah Bolak juga ditemukan bidak batu kembar yang merupakan 
istri dan anak raja Nagur (Holt 1967:26;Tideman 1922:51). Kedua Artefak 
ini masih tersimpan rapi di Museum Simalungun di Pematang Siantar. 
Keberadaan patung batu catur ini mengingatkan permainan catur yang 
pernah dilakukan oleh Tuan Sahkuda Bolag dengan Tuan Batangiou dan juga 
antara Tuan Silou Malaha dengan Tuan Batangiou. Adapun Tuan Sahkuda 
Bolag dan Tuan Silou Malaha adalah para pembesar Kerajaan Nagur.
Penutup
Berdasarkan
 uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Kerajaan Nagur adalah 
salah satu kerajaan kuno yang pernah berjaya di Aceh dan Sumatra Utara 
yang diperintah secara dinasti oleh golongan marga Damanik dari suku 
Simalungun. Hingga hari ini belum diketahui secara pasti kapan 
berdirinya kerajaan ini, namun yang pasti pada abad 6 kerajaan ini sudah
 mengadakan kontak perdagangan dengan Tiongkok. Eksistensi Nagur selalu 
mengemuka dari zaman ke zaman hingga masuknya era kolonialisme Belanda, 
perjalanan sejarahnya secara apik direkam oleh para penjelajah dan 
pengelana asing sehingga pemberitaan mengenai Nagur hingga hari ini 
dapat kita ketahui. Ditambah adanya tradisi lisan mengenai Nagur yang 
berkembang di kalangan masyarakat Simalungun semakin memperkokoh 
keyakinan kita akan eksistensi kerajaan ini. Penulis berkeyakinan 
kerajaan ini merupakan kerajaan tertua di pulau Sumatera yang berdiri 
jauh sebelum lahirnya Kerajaan Sriwijaya di Sumatera Selatan. Namun, 
sayangnya selama ini eksistensinya kurang begitu terekspos akibat 
kurangnya penggalian arkeologis dan juga ekskavasi ke lokasi peninggalan
 kerajaan tersebut. Penulis berharap tulisan ini dapat menambah 
pengetahuan baru bagi mereka yang ingin mengetahui tentang Nagur dan 
juga menjadi perhatian bagi para sejarawan dan arkeolog untuk menelusuri
 lebih mendalam mengenai keberadaan kerajaan Nagur. Dan kiranya tulisan 
ini dapat semakin membangkitkan kesadaran warga Simalungun akan 
ketinggian peradaban leluhurnya. Khusus kepada pemerintah Kabupaten 
Simalungun, penulis berharap dengan tulisan ini mereka semakin peduli 
terhadap situs-situs Nagur yang saat ini banyak terbengkalai dan 
menyadari bahwa Nagurlah yang menjadi tonggak awal terbentuknya 
Kabupaten Simalungun.
Daftar Pustaka:
Battuta, Ibnu. 1957. Travels in Asia and Africa, 1325-1354. Translated by H.A.R. Gibb. London: Routledge & Kegan Paul Ltd.
Damanik, Amin dan Damanik, Jaramen. 1976. Sidamanik (Turiturianni Oppung Nai Horsik). Pamatang Siantar
Damanik, Jahutar. 1977. Jalannya Hukum Adat Simalungun. Pematang Siantar: PD Aslan.
Dunn, Rose E. 1995. Petualangan Ibnu Battuta, Seorang Musafir Muslim Abad ke-14. Edisi 1. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Groeneveldt, 2009. W.P. Nusantara Dalam Catatan Tionghoa. Jakarta: Komunitas Bambu.
Hasymy, A. 1981. Sejarah dan Berkembangnya Islam Di Indonesia (Kumpulan Prasaran Pada Seminar Di Aceh). Medan: PT. Alma'arif.
Mills, J.V.G. 1970. Ying-yai Sheng-lan: The Overall Survey of the Ocean's Shores 1433. Cambridge: Cambridge University Press.
Muljana, Slamet. 2006. Sriwijaya (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS.
Mulyana, Slamet. 2005. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, Yogyakarta: LKIS.
Parlindungan, M.O. 2007. Tuanku Rao. Yogyakarta: LKIS.
Pinto, F.M. 1692. The Voyages and Adventures of Ferdinand Mendez Pinto, (English translation by Henry Cogen). London: J. Macook.
Purba, M.D, Letkol. 1986. Lintasan Sejarah Kebudayaan Simalungun. Medan.
Purba Tambak, T.B.A. 1984. Sejarah Simalungun. Pematang Siantar: Percetakan HKBP.
Putro, Brahma. 1981. Karo Dari Jaman Ke Jaman, Jilid I. Medan: Yayasan Massa.
Sangti, Batara. 1977. Sejarah Batak. Balige: Karl Sianipar Company
Vlekke, Bernard H. M. 1943. Nusantara a History of the East Indian Archipelago. Cambridge: Harvard University Press.
Zainuddin, H.M. 1961. Tarich Aceh dan Nusantara. Medan: Pustaka Iskandar Muda.